Monday, May 21, 2007

Mengembangkan Karakter Pemimpin Kristen

Mengembangkan Karakter Pemimpin Kristen

Oleh Daniel Ronda[1]

Pendahuluan

Adalah hal yang mustahil memisahkan antara kepemimpinan Kristen dengan karakternya, antara kepemimpinan Kristen dengan kehidupan spiritualitasnya. Ini adalah yang paling penting dan absolut bila hendak menjadi pemimpin Kristen yang efektif. Di dalam gereja, setiap pemimpin gereja yang potensial akan kena diskualifikasi bila tidak menunjukkan kehidupan kerohanian yang baik. Itu sebabnya Yesus memberikan teladan dengan menjadi manusia, agar para pemimpin Kristen memiliki roh seorang hamba Tuhan yang dimampukan dan diperkaya oleh Roh Kudus.[2]

Apalagi bangsa ini sangat membutuhkan pemimpin yang memiliki karakter. Bangsa Indonesia terlalu banyak diliputi skandal, termasuk di dalamnya bidang pemerintahan (yudikatif, legislatif, ekskutif), di dunia olahraga, pendidikan, bahkan gereja juga tidak terbebas dari skandal. Bangsa ini perlu ditolong terutama dalam membangun karakternya, dan kita semua harus berperan di dalamnya.

Pembahasan dalam tulisan ini adalah membahas karakter para pemimpin gereja serta perannya dalam mengembangkan karakter bangsa, paling tidak menjadi teladan. Karakter yang dimaksud, bukan berbicara soal dedikasi dan kekudusan, yang walaupun itu adalah esensial. Tetapi karakter berbicara tentang manusia sebagai ciptaan Allah yang berperan mentransformasi (mengubah) dunia ini.

Keunikan Karakter

Karakter atau pribadi atau oknum adalah suatu istilah yang menunjuk kepada sesuatu yang hidup yang diciptakan Allah menurut gambar dan rupa Allah. Ini adalah yang sangat penting diketahui dalam kepemimpin Kristen karena manusia adalah pribadi yang diciptakan Allah itu memiliki keunikan khusus yang tidak ada duanya di muka bumi ini. Saya adalah saya, di mana tidak ada orang yang bisa menyamakannya. Jadi karakter atau kepribadian setiap kita masing-masing adalah unik, tidak dapat terulang, tidak dapat dikopi orang lain. Inilah yang berharga yang manusia miliki.

Itu sebabnya ketika berbicara tentang mengembangkan karakter pemimpin dan bagaimana dia bisa menjadi teladan, maka bukan berarti menciptakan keseragaman, tetapi pengembangan yang mengikuti model dan teladan dari Allah di dalam pribadi Yesus Kristus. Setiap pemimpin Kristen memiliki keunikan khusus sebagai pribadi di mata Tuhan. Tulisan ini tidak bermaksud menjadikan semua orang seragam, tetapi memperkembangkan pribadi sesuai dengan apa yang Tuhan sudah beri dalam kehidupan setiap orang.

Pemimpin adalah Kunci

Di dalam tren dunia manajemen umum, fokus keberhasilan adalah kepada pemimpin. Peter Drucker (seorang pakar manajemen) berkata, bahwa “Sesungguhnya, para eksekutif yang tidak mengatur dirinya untuk menjadi efektif maka ia tidak akan dapat berharap untuk dapat mengatur rekan atau bawahannya.- Indeed, executives who do not manage themselves for effectiveness cannot possibly expect to manage their associates and subordinates.”[3]

Seorang pemimpin tidak dapat berharap banyak bila hanya mengandalkan perubahan pada orang lain, karena perubahan itu harus terjadi dulu pada diri sang pemimpin. Itu sebabnya kepemimpinan sebagai agen perubahan (agent of changes) harus melihat diri dan karakter yang ada pada dirinya.

Persoalan yang sering dihadapi oleh para pemimpin dewasa ini ada beberapa hal.[4] Pertama, godaan untuk merasa cukup (self-sufficient). Godaan ini adalah para pemimpin merasa dirinya tidak memerlukan orang lain, padahal dia perlu. Dia tidak perlu lagi belajar, tidak perlu bekerjasama dengan orang lain, karena sudah merasa diri cukup dengan gelar kesarjanaan yang diperolehnya. Padahal di dunia sekarang ini saling ketergantungan, kerjasama, jaringan kerja (networking) sangat penting untuk mencapai keberhasilan. Apalagi kita tidak merasa perlu bergantung kepada sang pencipta, yaitu Allah. Secara jelas Yesus berkata bahwa tanpa Aku, kamu tidak akan dapat berbuat apa-apa (Yoh 15:5).

Godaan yang kedua adalah ingin menjadi spektakuler yang biasa disebut dengan mental selebritis (celebrity mentality). Yang dimaksud di sini ingin cepat menjadi terkenal dengan segera, dan bukannya bergantung pada Tuhan tetapi kepada kharisma dan pengaruh diri dan bakatnya. Kecenderungan untuk menjadi cepat terkenal dan berhasil menyebabkan banyak pemimpin muda terjebak ke dalam frustasi, karena ketidakseimbangan antara keinginan dan karakternya yang belum matang di pelayanan.

Godaan yang ketiga adalah keinginan yang berpusat pada diri (self-centered desire) untuk berkuasa. Keinginan ini muncul dalam bentuk ingin menguasai orang-orang, gereja, keuangan. Padahal dalam pelayanan jemaat adalah milik Kristus.

Oleh sebab itu pengembangan karakter bangsa harus dimulai dari diri sendiri yang memiliki hubungan yang akrab dengan Kristus yang adalah pemimpinnya. Ada beberapa karakter yang perlu dikembangkan pada diri terlebih dahulu sebelum dapat mempengaruhi orang lain:

1. Memimpin dengan contoh

Banyak orang yang membicarakannya, tetapi hanya sedikit orang yang benar mengertinya. Banyak orang ingin menjadi teladan, tetapi hanya sedikit yang mencapainya.

Seorang pemimpin Kristen adalah berperan untuk membentuk karakter Kristen, bukan mentransfer pengetahuan teologi atau tahu Alkitab. Sebagai seorang pemimpin gereja atau di pelayanan lainnya, tugasnya adalah pembentukan karakter Kristen.[5]

Bila demikian maka pemimpin sendiri harus memiliki karakter yang bertanggung jawab dan memimpin dengan contoh (leading by example). Ketika kita belajar sejarah gereja, apakah yang kita pelajari sehingga nama-nama dan karya mereka harus kita pelajari? Itu karena para pemimpin memiliki suatu karakter yang agung sehingga layak untuk ditulis sebagai sejarah. Sejarah para tokoh gereja adalah betapa mereka sebagai manusia telah menjadi teladan dalam karyanya yang semuanya bermuara dari karakternya. Nama seperti Paulus, Timotius, Agustinus, Polikarpus, Martin Luther, Calvin, Karl Barth, John wesley (dan banyak nama lainnya tidak disebut di sini), semuanya dicatat karena karakternya dapat menjadi teladan bagi kita. Pertanyaannya adalah apakah sejarah akan memperlakukan kita sama seperti mereka, karena teladan karakter yang kita miliki? Waktu yang akan berbicara karena “time is the most faithful witness to your personality”.

Hal lainnya adalah perintah Paulus meminta calon pemimpin yang dibinanya dalam hal ini Timotius dan Titus untuk bertumbuh dalam tiga hal yaitu kerohanian, kepribadian, dan kemahiran/keterampilan (I Tim 4:12; Tit 2:7-8). Paulus bersikeras bahwa mereka harus menjadi teladan dalam seluruh aspek kehidupan rohani, karakter dan keterampilan mereka dalam mengajar dan mengembangkan karunia rohani mereka.[6]

2. Memimpin dengan integritas

Di dalam sebuah survey di Amerika yang ditujukan kepada kurang lebih 1300 para pimpinan perusahaan dan pejabat di pemerintahan, mereka ditanya kualitas apakah yang paling penting dimiliki untuk dapat sukses menjadi pemimpin. Jawabannya menarik karena secara mayoritas (71%) mereka memilih jawaban sebagai yang terpenting: integritas.[7]

Arti kata integritas adalah keadaan yang sempurna, di mana perkataan dan perbuatan menyatu dalam diri seseorang. Seseorang yang memiliki integritas tidak meniru orang lain, tidak berpura-pura, tidak ada yang disembunyikan, dan tidak ada yang perlu ditakuti. Kehidupan seorang pemimpin adalah seperti surat Kristus yang terbuka (II Kor 3:2).

Beberapa ciri dari intergritas seorang pemimpin Kristen: pertama, hidup sesuai dengan apa yang diajarkan; kedua, melakukan sesuai dengan apa yang dikatakan; ketiga, jujur dengan orang lain; keempat, memberikan yang terbaik bagi kepentingan orang lain atau organisasi daripada diri sendiri; kelima, akan hidup secara transparan.[8]

Integritas sebagai karakter bukan dilahirkan, tetapi dikembangkan secara satu lepas satu di dalam kehidupan kita melalui kehidupan yang mau belajar, keberanian untuk dibentuk Roh Kudus. Itu sebabnya seorang pemimpin terkenal berani berkesimpulan, bahwa karakter yang baik akan jauh lebih berharga dan dipuji manusia dibandingkan dengan bakat atau karunia yang terhebat sekalipun. Kegagalan sebagai pemimpin bukan terletak kepada strategi dan kemampuannya dalam memimpin, tetapi kepada tidak adanya integritas pada diri pemimpin.[9]

Pepatah Melayu berkata, “Semakin tinggi monyet naik ke atas pohon, semakin kelihatan pantatnya yang jelek.” Memang kepemimpinan selalu menjadi sorotan dan ketika seseorang menjadi pemimpin, mulai kelihatan kelemahannya. Tetapi mengembangkan integritas akan menolong kita menghadapi hal ini.

3. Memimpin dengan jiwa dan roh[10]

Yang dimaksud dengan memimpin dengan jiwa dan roh adalah pelayanan kita nantinya bukan hanya soal pekerjaan laksana seorang upahan. Sebagai contoh (ini bukan kisah nyata, tetapi bisa terjadi di kota-kota besar), seorang majelis bertanya kepada gembala dan stafnya “Mengapa Anda sebagai gembala tidak berkunjung?” “Karena tida ada uang transport, apalagi gaji yang kecil ini tidak cukup untuk makan sebulan” jawab mereka. Baiklah, pikir majelis yang kemudian memutuskan memberi uang transport. Ternyata beberapa bulan kemudian perkunjungan tidak jalan dan hanya sesekali, sehingga ditegur kembali. Jawab sang gembala dan staf, “Memang ada uang transport, tetapi waktu tidak cukup, bayangkan untuk perkunjungan satu jemaat diperlukan waktu berjam-jam apalagi naik pete-pete.” Majelis kemudian memutuskan membelikan motor kepada mereka, dan terjadi semangat, tetapi tidak jalan juga setelah beberapa bulan. Ketika ditegur, mereka katakan “Wah, harus buat jadwal Pak majelis, karena kalau tidak kita akan berkunjung tabrakan. Akan ada jemaat yang satu minggu dikunjungi beberapa kali.” Ketika sudah diatur jadwal perkunjungan, ternyata tidak jalan juga perkunjungan. Dengan heran majelis bertanya, “Apa lagi?”. Jawab sang gembala dengan staf, “Wah, Pak kami sudah banyak anak sekarang, dan tidak ada lagi yang menjaga mereka. Jadi saya harus jaga mereka.”

Cerita di atas hanya fiktif, tetapi tujuannya untuk menggambarkan bahwa banyak pemimpin tidak lagi memiliki jiwa dan roh pelayanan. Jawaban para pemimpin di atas masuk akal (rasional), tidak ada yang bisa membantahnya. Tetapi satu yang hilang adalah panggilan pelayanan (sense of calling). Cerita ini menggambarkan betapa kita tidak memiliki hati seorang hamba. Yang ada adalah mental pekerja upahan, yang bekerja munurut standar upah. Tidak ada kecintaan akan pekerjaan dan mau berkorban untuk-Nya.

Kisah tentang Yesus yang membasuh kaki murid-muridNya dalam Yohanes 13 seharusnya menjadi teladan kita. Karena di sana seorang pemimpin adalah berjiwa hamba. Yang dimaksud pemimpin yang memiliki hati hamba adalah pemimpin yang dimotivasi oleh kasih untuk melayani, kasih yang berinisiatif melayani di mana murid-muridNya saling menunggu, dan yang memberikan teladan.

Albert Schweitzer (misionari, musisi, dan humanis agama) pernah berkata tentang arti pelayanan, “Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada pada masa depan Anda, tetapi saya hanya tahu satu hal: di antara kalian yang akan memiliki kebahagiaan adalah mereka yang sungguh mencari dan mendapatkan prinsip bagaimana melayani.”[11]

Pemimpin yang melayani dengan jiwa dan roh akan membentuk karakter dari pemimpin itu menuju ke arah watak Kristus.

Peran Pemimpin Kristen

Bila pemimpin dapat mengembangkan karakter dan pribadinya dengan baik, maka dia akan mampu mempengaruhi orang lain, di mana dia akan berperan dalam pembentukan karakter bangsa. Karakter bangsa apa saja yang bisa kita bentuk dengan profesi kita, sebegai pemimpin Kristen? Ada beberapa bidang yang sangat diperlukan bangsa kita:

1. Pengaturan waktu (time management)

Aplikasi praktis dari kepemimpinan yang dapat menjadi teladan, memiliki integritas dan melayani dengan jiwa dan roh adalah kemampuan untuk dapat menyumbangkan perhatian terhadap pentingnya mengelola waktu dengan efektif dan efisien.

Bangsa kita dikenal dengan bangsa yang santai, “jam karet”, dan tidak pandai menata waktu. Penataan waktu adalah termasuk berbicara tentang bagaimana mengelolanya sehingga kemajuan yang bisa dicapai dalam waktu yang lebih cepat dan tepat.

2. Kerja keras (hard work)

Bekerja keras juga menjadi tantangan bangsa ini, karena seringkali etos kerja sangat lemah. Pemimpin harus memberikan teladan dalam bekerja, karena bekerja adalah panggilan dan ibadah. Bekerja keras harus ditambah dengan bekerja dengan pintar (smart work).

3. Ketekunan (persistence)

Pemimpin perlu mengajarkan jemaat/masyarakat tentang ketekunan dalam bekerja. Keinginan untuk menjadi cepat sukses mungkin akan menjadi masalah, bila tidak memiliki karakter ketekunan untuk menapak karir selangkah demi selangkah.

4. Kejujuran (honesty)

Tanpa kejujuran, pemimpin tidak akan pernah berhasil menggerakkan orang lain, karena inilah yang esensial dalam kehidupan seorang pemimpin. Menjadi transparan menyebabkan ada harga yang harus dibayar seperti menjadi “luka”, tetapi pemimpin yang terbuka akan mendapat banyak pertolongan.

Ketika bangsa ini banyak diliputi dengan ketidakjujuran, gereja harus menjadi pemimpin terdepan dalam menjalankan kejujuran.

5. Bertangung jawab (responsibility)

Sikap bertanggung jawab adalah sikap yang paling penting dalam karakter seorang pemimpin. Winston Churchill berkata, “Harga dari sebuah kebesaran adalah tanggung jawab- the price of greatness is responsibility”. Pemimpin harus bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, kepada pekerjaannya, kepada harta yang diterimanya, dan kepada orang yang dipimpinnya. Dengan demikian ia bisa menularkan prinsip ini kepada jemaatnya.[12]

6. Sikap positif dalam situasi apapun (positive attitude)

Sikap negatif adalah hal yang harus dihindari para pemimpin. Pemimpin Kristen harus menularkan prinsip adanya peluang dalam tantangan yang dihadapi. Bangsa ini sejak lama dilanda krisis, tetapi mungkin krisis yang terbesar adalah tidak memiliki sikap yang positif dalam menghadapi berbagai tantangan. Ilustrasi untuk ini: Seorang pemilik perusahaan sepatu meminta seorang manajernya untuk merintis toko sepatu di suatu tempat. Setelah survey selama dua minggu, maka manajer itu kembali dan menjleaskan bahwa tidak mungkin membuka toko sepatu, karena penduduk di sana tidak ada yang pakai sepatu. Tetapi pemilik perusahaan tidak puas. Dia mengutus satu orang manajer lain untuk mengadakan survey. Dua minggu kemudian datang laporan bahwa kita harus segera membuka pabrik sepatu, karena penduduk di sana tidak ada yang pakai sepatu. Kejadian dan peristiwa sama, namun sikap terhadap keadaan itu berbeda. Pemilik perusahaan sepatu senang dengan sikap positif dan terbukti bahwa membuka toko sepatu di sana membuat usahanya berhasil

Hal di atas menyangkut hal-hal yang bersifat umum. Yang bersifat khusus sebagai komunitas Kristiani adalah perlu ditambah dengan membawa umat Allah menjadi serupa dengan Kristus. Dengan kata lain peran pemimpin gereja adalah membawa umat Allah memiliki watak Kristus. Dan ini adalah proses yang berlangsung seumur hidup manusia.

Refleksi

Peran pemimpin Kristen cukup signifikan pada abad ini, karena dengan era globalisasi ini, identitas yaitu karakter Kristus perlu dipertegas dalam kehidupan kekristenan. Pada sisi lain, pemimpin Kristen dapat memberi kontribusi positif bagi bangsa bila dimulai dari mengembangkan kepemimpinan yang dimulai dari diri dan orang-orang di sekitar kita.



[1] Ketua STT Jaffray Makassar Periode 2006-2011.

[2] Lihat John Maxwell, “How to be a Christlike Servant Leader,” dalam buku Leading with Vision, comp. by Dale Galloway (Kansas City, Miss.: Beacon Hill Press, 1999), 42.

[3] Peter F. Drucker, The Effective Executive (NY: HarperBussines Books, 2002), ix.

[4] Maxwell, “How to be a Christlike Servant Leader”, 42-3.

[5] Bdk. dengan Mary Setiawani & Stephen Tong, Seni Membentuk Karakter Kristen (Jakarta: LRII, 1995), 38.

[6] Dari Bob Jokiman, “Dasar-Dasar Alkitabiah Pengembangan Kepemimpinan” (Jurnal Teologi dan Pelayanan, Vol 4 Nomor 1, April 2003), 87-106.

[7] John C. Maxwell, Developing the Leaders Within You (Nasville: Thomas Nelson, 1993), 173.

[8] Ibid, 173-5.

[9] Ibid, 178.

[10] Saya mendapat pencerahan ide ini dari buku J. Ellsworth Kalas, Preaching from Soul (Nashville: Abingdon Press, 2003).

[11] Maxwell, “How to be a Christlike Servant Leader”, 50.

[12] Maxwell, Developing the Leaders Within You, 170-2.

Monday, May 7, 2007

Berita Penamatan dari ATS

First Graduating Class of International Leaders from Beeson Program

April 30, 2007
Contact: Tina Pugel, Director of Communications (859) 858-2277

For Immediate Release

Wilmore, KY—First Graduating Class of International Leaders from Beeson Program at Asbury Theological Seminary

The first class International leaders will graduate from the Beeson International Center for Biblical Preaching and Church Leadership at Asbury Theological Seminary. This full-scholarship program provides the resources for international leaders to receive a doctor in ministry degree while still maintaining their leadership positions within their country of origin. This first graduating class represents 11 countries from around the world that are in a variety of leadership positions ranging from educators, medical missionaries, administrators and pastors. The conferring of their degrees will be held at the Asbury Theological Seminary graduation services Saturday, May 19, 2007.

Dr. Randy Jessen, dean of the Beeson International Center for Biblical Preaching and Church Leadership states, “This first graduating class of Beeson International Leaders represent a long line of highly effective Christian leaders serving in impact areas around the world. We are blessed by their Asbury connection."

The Beeson International Center for Biblical Preaching and Church Leadership was created in 1991 from the generous gifts of Ralph Waldo Beeson, a successful insurance executive who put God first in everything. Housed within the Beeson Center are two distinct doctoral programs, the North American pastors program and the International Leadership program.

The International Leadership program selects international leaders who cannot leave their ministries for extended study, but still desire to advance in leadership in order to multiply the Church in their home country. Because of our commitment of the belief that ‘the world is our parish,” Asbury Seminary has created this doctoral track exclusively for international leaders. Our mission is to develop strong, international leaders of leaders.

The Beeson International Center for Biblical Preaching and Church Leadership 2007 graduating class*:

  • Emmanuel K. Asare-Kusi, Ghana
  • Andrie Blinkov, Russia
  • Alman (John) Chan, China, Hong Kong
  • Cecil Clements, India
  • Eduardo Drachenburg, Argentina
  • Peter Dogo Korosi, Nigeria
  • Daniel Ronda, Indonesia
  • Nabil Elia Samara, Israel
  • Norival Trindade, Jr., Brazil

*Two additional students will graduate but due to the nature of their country of origin it is necessary to keep their identities confidential.

About Asbury Theological Seminary

Asbury Seminary is a multi-denominational, multicultural graduate school of theology with three campus locations: Kentucky, Florida and Virtual, committed to teaching the unchanging truth of historic Wesleyan Christianity through the most dynamic means available. On the Wilmore campus, Asbury offers a variety of degrees, including the master of arts, master of divinity, master of theology, doctor of missiology, doctor of ministry and doctor of philosophy in intercultural studies, evangelism and biblical studies. The Florida campus is accredited to offer the master of divinity and the master of arts in Christian ministry, counseling and pastoral counseling degrees. The extended learning program allows students to earn one-half of the master of arts or two-thirds of the master of divinity degree on-line. Total current enrollment is approximately 1,700 students, representing 86 denominations and 42 countries.

Diambil dari www.asburyseminary.edu