Friday, April 4, 2008

IMAN DAN PROFESI PENDIDIK

Iman dan Profesi Pendidik

Oleh Daniel Ronda

(Pernah Dimuat dalam SAHABAT GEMBALA)

Latar Belakang Pergumulan Pendidik

Profesi pendidik agama memiliki keistimewaan, karena dia sedang menolong kebutuhan anak didik dalam menemukan panggilan sang juruselamat, Yesus Kristus. Namun saat ini persoalan yang dihadapi pendidik secara umum ada dua hal yaitu pertama, soal finansial yang pas-pasan. Dan yang kedua adalah soal pengembangan diri sebagai seorang profesional yang tidak diperoleh. Padahal tuntutan saat ini adalah sudah semakin kompleks, di mana anak didik sudah semakin pintar karena banyaknya input yang diperoleh dari berbagai media, termasuk internet. Sedangkan guru untuk berlangganan koran yang bermutu saja masih harus pikir-pikir, apalagi harus membeli buku secara rutin. UU Sisdiknas memang menjanjikan anggaran yang menggiurkan untuk pendidikan, dan itu diharapkan akan menyangkut kesejahteraan pendidik juga. Tetapi apakah dapat terealisasi?

Hal lain yang menjadi persoalan para pendidik menyangkut soal imannya adalah sama dengan persoalan para rohaniwan:

1. Para pendidik dianggap serba bisa dan serba tahu.

Citra pendidik secara tradisional dianggap serba mengetahui semuanya dan serba bisa mengerjakan tugas yang di luar bidangnya. Dan ini yang menyebabkan kita bertanya tentang identitas kita.

2. Pendidik dan keluarganya dianggap orang suci dan tidak boleh salah.

Di sini para pendidik (khususnya agama) dianggap memiliki iman yang sempurna, tokoh spiritual yang menjadi teladan. Ia rela menderita karena mereka adalah wakil Kristus di muka bumi ini. Karena itu para pendidik diharapkan tidak boleh menuntut upah atau kesejahteraan, karena seperti Yesus maka dia harus menerima apa adanya. Dan mereka seperti “ikan dalam aquarium” yang diselidiki dan diamati setiap orang.

Tujuan dari Pertemuan

Tujuan yang diharapkan dari konsultasi ini adalah bagaimana:

  1. Kesejahteraan jasmani dan rohani terus dijaga dan diperhatikan.
  2. Mutu pengajaran guru ditingkatkan.
  3. Guru mendapat penghargaan atas profesinya sehingga ketika dianggap berharga, guru akan memberikan yang terbaik bagi anak didiknya, termasuk kepada gereja dan masyarakat.

Solusi Pemecahan

1. Kolegialitas

Penting bagi tiap pendidik menyadari bahwa dia memerlukan teman rohani. Ada teman-teman yang saling mendukung dan menguatkan. Persekutuan di gereja memang ada, namun apakah mereka concern dengan pergumulan yang kita hadapi? Di sini pentingnya suatu paguyuban guru agama Kristen, saling bertukar informasi dan memberikan dorongan satu dengan yang lainnya. Pengalaman penulis dengan para pelukis yang berkumpul bersama ternyata sangat efektif dalam meningkatkan kualitas lukisan mereka. Ilustrasi ini juga bisa dipakai dalam persekutuan di antara para pendidik.

2. Doa, pembacaan Firman Tuhan

Iman pendidik harus dipelihara dalam doa dan pembacaan Kitab Suci. Kelihatan ini basi terdengar, karena sering dipercakapkan. Namun apakah yang menjadi pegangan kita dalam pengharapan yang sekular ini? Ketika dunia menawarkan sesuatu yang materialistis, pegangan kita adalah doa dan Firman Tuhan. Dan itu harus dipraktikkan.

Begitu pula dengan Firman Tuhan harus kita dengar. Memang tanpa baca Alkitab, tidak mungkin kita mengajar, namun yang utama adalah membentuk kita. Bacaan Alkitab seharusnya tidak lantas diterjemahkan dalam jargon moral untuk anak didik, namun yang terutama melawat pemberontakan hati kita.

3. Keterlibatan dalam pelayanan

Adalah kewajiban sang pendidik bukan hanya menjadikan profesi guru sebagai pekerjaan, tetapi suatu panggilan. Dan diharapkan para pendidik terlibat dalam pelayanan di gereja.

4. Pengembangan diri

Pendidikan lanjutan adalah sebuah keharusan. Tanpa pengembangan diri dan menjadikan diri kita knowledge worker, kita akan kehilangan kesempatan menjadi efektif dalam profesi kita. Dan ketika tidak menjadi efektif, kita tidak profesional, begitu seterusnya. Dan ini menjadi lingkaran yang tidak bisa dilepaskan sampai kita memutuskan untuk mengembangkan diri.

Sumber inspirasi:

Andar Ismail (peny.), Mulai dari Musa dan Segala Nabi (Jakarta: BPK GM, 2000, cet. Kedua), khususnya tulisan Drs. L. J. Oosterom dan Drs. Gideon van Dam.

BISNIS DALAM PANDANGAN ALKITAB

(Pernah dimuat dalam Majalah Kalam Hidup)


Pendahuluan

Bagaimana seorang Kristen menjalankan bisnis yang baik dan berdasarkan Firman Allah adalah sesuatu topik yang penting diketahui para hamba Tuhan, karena mungkin ada jemaatnya yang adalah usahawan. Dalam tulisan ini saya membatasi diri kepada prinsip-prinsip Alkitab tentang bisnis.

Dalam topik tentang bisnis dalam pandangan Alkitab, maka perlu dibahas mengenai apakah dasar pegangan Alkitab dalam melakukan bisnis; apakah yang menjadi isu-isu di sekitar kita yang penting diberikan tanggapan termasuk etika dalam berbisnis. Kesemuanya ini lebih berfokus kepada refleksi teologis dan bagaimana isu yang muncul di sekitar bisnis dilihat dalam terang Firman Allah.

Dasar Pegangan Alkitab dalam Berbisnis

Bahwa kehendak Allah bagi manusia untuk bekerja, baik sebelum kejatuhan (Kejadian 1:28), maupun sesudah kejatuhan manusia (Kejadian 3:17-19). Sebelum kejatuhan, pekerjaan adalah suatu anugerah dan panggilan dari Allah sendiri. Sesudah kejatuhan, pekerjaan tetap merupakan anugerah dan panggilan, namun sekarang akibat dosa maka pekerjaan itu dilakukan dengan penuh persaingan. Di dalam Perjanjian Baru, Paulus menasehatkan jemaat bahwa hendaklah bekerja. Ia juga memperingatkan bahwa, “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (II Tesalonika 3:10b). Jadi bekerja adalah anugerah dan panggilan. Itu sebabnya seorang Kristen haruslah bekerja dan bila perlu bekerja dengan giat dan keras. Hilangkan budaya gengsi dan malu dalam bekerja. Gengsi artinya bagaimana pandangan orang lain tentang diri seseorang dan biasanya diasosiasikan dengan harta dan pekerjaan tertentu. Kekristenan tidak mengenal budaya gengsi. Pengejaran prestasi adalah karena dia adalah makhluk yang berharga di mata Tuhan dan penilaian manusia bukan didasarkan atas orang lain, melainkan hanya Tuhan.

Bagaimana dengan praktek bisnis? Adalah penting bagi orang percaya bahwa Alkitab menjadi satu-satunya penuntun dalam kehidupannya (sola scriptura), dan itu termasuk dalam melakukan kegiatan bisnis. Menurut Larry Burkett, ada beberapa dasar Alkitab dalam melaksanakan bisnis:[1]

Pertama, menjalankan bisnis yang mencerminkan Kristus. Dunia bisnis tidaklah selalu jujur. Oleh karenanya tiap orang Kristen wajib hidup dalam kejujuran. Tuhan sendiri berkat bahwa Ia bergaul erat dengan orang jujur (Amsal 3:32). Setiap pelaku bisnis pasti mencari untung dan semua orang mengetahui hal itu. Tidak mungkin ada sebuah bisnis berjalan bila tidak ada keuntungan. Tetapi hendaklah keuntungan bukan satu-satunya tujuan dalam praktek bisnis, sebab bila demikian seseorang akan berupaya menghalalkan segala cara untuk mencapai untung. Padahal setiap perilaku orang percaya ada di bawah terang Kristus.

Kedua, menjalankan bisnis yang bertanggungjawab. Maksudnya, pelaku bisnis mampu bekerjasama dengan orang lain dan bisa menerima masukan dari beberapa rekannya (termasuk pasangannya); menyediakan produk yang bermutu dengan harga yang sesuai; menghormati orang yang memberi hutang kepada Anda (Amsal 3:27-28); memperlakukan bawahan dan karyawan dengan adil terutama dalam hal upahnya; dan menjadikan pelanggan atau orang yang menikmati produk atau jasa Anda sebagai yang utama. Jangan menipu mereka.

Hal yang penting bagi para pelaku bisnis Kristen adalah (1) hendaklah setiap pelaku bisnis memiliki hati nurani; (2) kemudian hendaknya ia peka terhadap masalah-masalah sosial yang ditimbulkan dalam bisnisnya; (3) hendaknya ia melayani sesamanya.[2] Tantangannya adalah apakah para pelaku bisnis yang notabene orang Kristen mampu memiliki wawasan sosial sehingga pengejaran akan keuntungan hanya merupakan salah satu tujuan di samping menolong sesama dan memelihara lingkungannya.[3]

Isu-Isu Dalam Dunia Bisnis

Dunia bisnis di Indonesia penuh dengan lika-liku yang tidak gampang. Seorang yang mau terjun dalam dunia bisnis menghadapi setidaknya permasalahan yang cukup kompleks dan berat. Pada kesempatan ini saya mengangkat beberapa isu yang penting yang perlu dibahas dalam dunia bisnis di Indonesia:

(1) Masalah Upah/Gaji

Di Indonesia ada yang disebut ketentuan upah minimum untuk para karyawan atau buruh. Masalahnya mungkin adalah seringkali gaji masih di bawah upah minimum. Di sinilah kepentingannya kita melihat manusia bukan sebagai alat produksi tetapi sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah. Firman Tuhan berkata, “Celakalah dia yang membangun istananya berdasarkan ketidakadilan dan anjungnya berdasarkan kelaliman, yang mempekerjakan sesamanya dengan cuma-cuma dan tidak memberikan upahnya kepadanya” (Yeremia 22:13). Pada bagian lain Alkitab berkata, “Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu” (Yakobus 5:4). Ada beberapa pedoman tentang cara mengupah karyawan atau buruh dari ayat-ayat di atas: “1) Tuhan tidak menghendaki semua orang dibayar dalam jumlah yang sama; 2) Mereka yang melakukan pekerjaan lebih baik harus dibayar lebih besar; 3) Tuhan sangat menuntut keadilan di dalam membayar upah para karyawan; 4) Majikan Kristen bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan minimal para karyawannya.”[4]

(2) Masalah Suap

Bagaimana menyelesaikan suap yang begitu merajalela di Indonesia? Tidak mudah berbicara soal suap, karena sepertinya korupsi, uang pelicin, suap sudah merupakan “budaya” Indonesia. Tetapi benarkah demikian? Bagaimanakah kita mengatasinya? Bernard T. Adeney di dalam bukunya memberikan suatu saran bahwa suap (bribes) adalah dosa dan salah, namun kita bisa melakukan pemberian.[5] Pemberian (gifts) itu harus bersifat tulus dan tidak membelokkan kebenaran, serta tidak mendominasi, tidak mengontrol, dan tidak membelokkan hukum (Amsal 17:23).[6]

Penutup

Dalam mengakhiri tulisan ini, maka penting untuk menghubungkan bisnis dan pelayanan. Ide yang baik misalnya perlu mengadakan ibadah di kantor Anda. Ini untuk menolong karyawan bertumbuh secara rohani.[7] Juga perlu dipikirkan menolong pemuda-pemuda Kristen di gereja yang memerlukan pekerjaan (walaupun bukan tanpa masalah). Ini untuk bertolong-tolongan menanggung beban sesama (Galatia 6:10). Ada banyak ide yang bisa dibuat oleh orang percaya untuk dapat menjadi saksi Kristus, dan bukan semata-mata mengejar keuntungan.



[1] Larry Burkett, Kunci Sukses Bisnis Menurut Alkitab, terj. T.B. Herlim (Yogyakarta: Andi, 1997), 18-37. Larry menyebut ada enam dasar minimum Alkitab dalam bisnis, dan saya meringkasnya menjadi dua saja.

[2] E. G. Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 90.

[3] Ibid., 89-106. Singgih dalam hal ini menantang pelaku bisnis untuk memiliki wawasan sosial yang merupakan panggilan Allah baginya.

[4] Burkett, Kunci Sukses Bisnis Menurut Alkitab, 254.

[5] Alkitab Perjanjian Lama agaknya memiliki pandangan yang ambiguitas tentang pemberian ini. Lihat Amsal 15:27; 17:8; 17:23; 18:16;21:24; 22:16.

[6] Baca sepenuhnya tulisan Bernard T. Adeney, Strange Virtues:Ethics in a Multicultural World (Leicester, England: Apollos, 1995), 142-62. Menurut Adeney masalah suap harus dilihat dengan pendekatan holistik yaitu melalui Alkitab dan juga sosial atau budaya setempat.

[7] Burkett, Kunci Sukses Bisnis Menurut Alkitab, 402.