Monday, August 18, 2008

Ada Iblis di Rumah Kita

Oleh Stephen Suleeman (Dosen STT Jakarta)

Pengantar

Judul yang diajukan oleh Panitia kepada saya, “Ada Iblis di Rumah Kita”, kedengarannya agak bombastis dan menge­jutkan.Tapi saya pikir judul ini dapat merujuk kepada kenyataan yang kita hadapi, baik seba­gai orang Timur yang hidup di dunia yang akrab dengan dunia mistik seperti yang banyak dihadirkan dalam beberapa tahun ini lewat sinetron dan film-film kita, maupun kenyataan yang mau diangkat oleh Panitia lewat percakapan ini, yaitu kehadiran media dalam kehidupan kita sehari-hari dan dalam cara apa media dapat menjadi masalah dalam hidup kita.

1. Perkembangan perangkat telekomunikasi modern

Media komunikasi di dunia mengalami perkembangan yang sangat cepat. Saya masih ingat pada awal tahun 1960-an ketika untuk bertelepon orang harus menghubungi kantor pusatnya di Gambir atau di Kota. Pada per­te­ngahan tahun 1970-an pesawat telex masih dianggap canggih, dan pada tahun 1980-an telepon mobil adalah sebuah kemewahan yang tidak dimiliki setiap orang. Baru pada akhir dekade itu saya mende­ngar orang mulai berbicara tentang sebuah alat ajaib yang disebut “komputer”. Namun harganya masih mahal dan karena itu belum terjangkau orang banyak. Sekarang? Orang yang menenteng laptop sudah bukan pemandangan yang asing. Jaringan wi-fi tersedia luas. Sejumlah kota di dunia bahkan kini menyediakan wi-fi untuk seluruh penduduk kotanya.

Mungkin kita masih ingat tahun 1980-an ketika satu-satunya saluran televisi yang dapat kita saksikan hanyalah TVRI, sehingga pilihan kita hanyalah “take it or leave it”. Di akhir tahun 1980-an kita mulai menyaksikan kehadiran saluran-saluran televisi swasta yang dimulai oleh RCTI pada 1988 dan kemudian SCTV dua tahun kemu­dian. Tak lama kemudian kita mulai berkenalan dengan komputer pribadi, perma­inan komputer (dimulai dengan Nintendo dengan “manhole”, dan kemudian diikuti oleh Pacman, dll. dan perkembangan yang revolusioner dalam bentuk Play­station, Wii, Xbox, dll.), internet, HP, PDA, Blackberry, iPhone, dll yang semuanya telah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari. Saya cukup terkejut menyaksikan betapa SMS telah menjadi bagian hidup masyarakat Jakarta – setidaknya – hingga bahkan pembantu pun ikut menggunakan HP dan SMS.

Kini ada sekitar 16 stasiun televisi pemerintah dan swasta di Jakarta ditambah dengan sekian stasiun televisi di berbagai kota di seluruh Indonesia. Semuanya bersaing memperebutkan pangsa pasar yang jumlahnya tetap. Dan kita tahu bahwa apabila penawaran bertambah sementara pembelian tetap, maka kecende­rungan yang terjadi dalam hukum ekonomi ialah harga atau nilai barang yang ditawarkan pun akan berkurang – semuanya hanya karena keinginan meraih keuntungan yang sudah sangat minim. Kalau dulu masing-masing stasiun ber­usaha menampilkan cirinya masing-masing yang khas, kini mereka tidak peduli lagi dan hanya mena­yangkan acara-acara yang dinyatakan laku oleh perusahaan ratingnya.

2. Masalah dengan media

a. Daya pembangunan realitas

Apakah persoalan yang mendasar dengan media? Setiap media mempunyai sifat-sifatnya tersendiri yang khas. Dari sekian banyak media, saya hanya akan menyebutkan dua saja, yaitu radio dan televisi. Radio yang hanya mengha­dirkan suara, memiliki kemampuan menjangkau yang luas, khususnya program-program lewat gelombang-gelom­bang pendek (short wave), sehingga siarannya dengan mudah men­jang­kau ke berbagai negara. Sifatnya yang audio membuat radio menolong mencipta­kan imajinasi yang tinggi pada para pendengarnya, seperti yang diperlihatkan oleh siaran drama radio “War of the Worlds” yang dibu­at berdasarkan novel H.G. Wells pada tahun 1938 (difilm­kan pada 1953, dibuat ulang pada 2005). Drama radio ini menimbulkan kepanikan yang dahsyat di antara banyak rakyat AS yang meng­ikuti acara itu dan me­nyangka bahwa bumi benar-benar sedang diserang oleh makhluk-makhluk angkasa luar. Bandingkan hal ini dengan kecanduan masyarakat dengan drama radio “Saur Sepuh” beberapa tahun lalu.

Film dan televisi mempunyai sifat yang unik karena daya menghiburnya, tetapi juga pada saat yang sama mampu men­ciptakan realitas alternative dalam hidup kita. Industri film India di Mumbay (Bollywood), misalnya, merupakan industri film terbesar di dunia, yang bahkan melampaui Hollywood. Isi film-film India umumnya menggambarkan keluarga yang hidup serba mewah, jauh dari kenyataan hidup sehari-hari di India sendiri. Semuanya itu sangat disukai oleh rakyat kecil di India karena dengan menonton film-film seperti itu, mereka dapat melupakan kesulitan hidup mereka sejenak.

Kekuatan televisi jauh lebih hebat daripada bioskop karena televisi hadir di rumah kita, bahkan juga di kamar tidur kita, sementara bioskop tidak. Hitung saja, berapa kali kita menonton di bioskop dalam setahun dan berapa kali kita menonton film di tv? Ka­rena itu realitas yang ditampilkan televisi dapat lebih berpengaruh dalam hidup kita. Kita mungkin pernah mendengar kasus-kasus tentang anak-anak yang lompat dari tempat yang tinggi dengan pakaian Superman karena mereka mengira bisa terbang. Sebuah kasus menarik lainnya ialah ketika beberapa tahun lalu bintang-bintang telenovela Amerika Latin datang ke Indonesia dan para penggemarnya terheran-heran karena mereka ternyata tidak bisa berbahasa Indonesia. “Lho, bukankah di televisi mereka selalu berbahasa Indonesia?” begitu tanya mere­ka heran kebingungan, tanpa menyadari bahwa program siaran di televisi telah di-dubbing.

William F. Fore dalam bukunya “Para Pembuat Mitos” menyatakan bahwa ada kecenderungan orang untuk mempercayai suatu peristiwa karena peristiwa itu ditayangkan dalam televisi. Ia menyebutkan peristiwa gempa yang terjadi di suatu tempat di AS. Tak lama setelah gempa yang memporak-poranda­kan rumah-rumah, para penghuninya bergegas mencari televisi yang menyiarkan kejadian itu. Lewat televisi itulah mereka jadi percaya bahwa gempa itu benar-benar telah terjadi.

b. Manipulasi fakta

Kemampuan media dalam membangun realitas banyak dimanfaatkan oleh berbagai pemerintah. Di masa Orde Baru, misalnya, kita seringkali disuguhi program-program seperti “Dari Desa ke Desa” yang menggambarkan sukses-sukses program pembangunan pemerintah. Banyak dari kita yang tidak sadar bahwa pro­gram-program seperti itu dapat dengan mudah direkayasa. Seorang dosen di Departe­men Komunikasi UI pernah menceritakan bagaimana sebuah pabrik tahu milik seorang pengusaha Tionghoa diklaim sebagai perusahaan tahu milik sebuah koperasi unit desa. Di situ dilukiskan bagaimana suksesnya masyarakat setempat dalam membangun koperasi yang menyejahte­rakan rakyat. Sudah tentu gambaran itu jauh dari kenyataan yang sebenarnya, sebab pada kenyataannya rakyat bukannya diberda­yakan, sebaliknya malah diperdayakan. Demiki­anlah kenyataan yang terjadi selama Orde Baru, sehingga banyak orang yang terkejut menjelang runtuh­nya Orde tersebut – mengapa Indonesia ternyata gagal dalam menyejahterakan rakyatnya, padahal setiap malam kita menyaksikan program-program keberha­silan pemerintah?

Dalam penyerbuan ke Irak pada tahun 2003, pemerintah AS melarang para wartawan pergi sendirian mencari beritanya masing-masing. Dikenallah apa yang disebut “embedded reporter”, yaitu wartawan yang “ditanam” di tempat-tempat tertentu yang oleh pemerintah AS dianggap aman dan dengan demikian mereka dapat melaporkan hal-hal yang positif dari medan tempur.

c. Beda antara realitas dan fiksi

Kebalikan dari kasus di atas adalah ketika garis pemisah antara realitas dan fiksi dalam film dan Kenya­taan hidup kita menjadi tipis oleh karena gambaran-gambaran yang disajikan oleh media. Henri Nouwen dalam bukunya “Gracias!” menyebutkan kegelisahan yang dialami oleh seorang tentara AS yang terkejut setelah menembak mati seorang gerilyawan di Amerika Latin, dan ternyata orang itu benar-benar mati dan tidak hidup kembali. Ia baru sadar bahwa kini, dengan senjata sungguhan di tangannya, ia dapat benar-benar mencabut nyawa seseorang. Kon­flik ini jugalah yang tampaknya mendorong banyak pemuda AS yang terbuai oleh heroisme militer negaranya dan berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai tentara untuk dikirim ke Irak. Pemerintah AS berusaha menyem­bunyikan kenyataan ini dengan melarang penyiaran gambar-gambar dan film yang menampilkan tentara-tentaranya yang pulang dalam peti mati. Baru ketika media mengangkat berita ini setelah beberapa ratus tentara AS tewas pemuda-pemuda AS mulai sadar bahwa kecanggihan teknologi mereka tidak cukup untuk menutupi kenyataan pahit bahwa mereka keteteran di Irak.

d. Arus bebas untuk informasi dan hiburan

Sifat lain dari media ialah kenyataan bahwa arus – baik informasi maupun hiburan – yang dihadirkannya sangat sulit disensor, kecuali kalau kita mematikan alat atau pesawat tersebut atau tidak membelinya sama sekali. Kasus keruntuhan Orde Baru dan gerakan para bhiksu di Myanmar (Birma) sekarang ini memperlihatkan bagaimana arus infor­masi yang dibatasi ketat sekalipun sangat sulit dibendung. Kebe­basan arus informasi ini sudah tentu dapat berubah menjadi kebablasan, sehingga kemudian melahirkan dampak yang tidak kita harapkan. Kehadiran VCD dan DVD porno yang dapat dibeli dengan sangat mu­dahnya di berbagai tempat di kota kini – bahkan hingga ke kota-kota kecil sekalipun, menunjukkan betapa sulitnya kita membendung arus media modern dalam hidup kita.

Arus informasi dan hiburan yang bebas itu dapat diumpamakan dengan sebuah remote control yang dapat kita pergunakan sesuka kita – tergantung saluran dan acara apa yang kita inginkan – semuanya pasti bi­sa. Beberapa waktu lalu di salah satu saluran TV Jakarta disiarkan acara pengakuan dua orang remaja perem­puan yang foto-foto telan­jangnya beredar di masyarakat luas. Kasus ini hanyalah satu contoh kecil dari sekian ribuan atau bahkan jutaan kasus serupa. Berbagai video dan gambar-gambar porno tersebut yang diambil lewat HP ataupun video kamera seringkali diawali dengan iseng-iseng, namun entah bagaimana kemu­dian menyebar luas di masyarakat kita. Salah siapa semuanya itu? Salah kamera video atau HP-nyakah? Sudah tentu tidak, sebab semua itu hanyalah alat yang dapat dipergunakan oleh siapa saja untuk tujuan apa saja – baik ataupun buruk. Jadi pada akhirnya, semua terpulang kepada kita.

e. Keterpecahan keluarga

Tidak dapat disangkal bahwa kehadiran media seringkali memecah keluarga. Ketika TVRI menjadi satu-satunya saluran televisi yang ada, masih banyak keluarga yang berkumpul di sekitar televisi. Bahkan tidak jarang kita menemukan warga satu kampung berkumpul di depan televisi untuk menonton suatu acara tertentu. Namun setelah kehadiran begitu banyak saluran televisi swasta dan pemutar DVD hal ini hampir tidak ada lagi. Akibatnya, banyak keluarga kini harus membeli dua, tiga, atau lebih pesawat televisi untuk ditempatkan di setiap ruang dan kamar di rumah. Kebersamaan dalam keluarga semakin menipis. Tidak mengherankan bila ada keluarga-keluarga yang memutuskan untuk mengurangi waktu menonton televisi dan meningkatkan jam kebersamaannya, atau bahkan sama sekali tidak membeli televisi.

f. Nilai-nilai siapa?

Media hadir di rumah kitadengan nilai-nilainya sendiri atau lebih tepatnya nilai-nilai perusahaan yang membuat produknya (film, video game, dll) dan – dalam kasus siaran televisi, stasiun-stasiun televisi yang menyiarkan dan yang mensponsori produk-produk yang ditawarkan lewat iklan-iklannya. Kalau kita sering menonton film-film opera sabun atau telenovela, misalnya, kita dapat menyaksikan betapa para tokohnya berpindah dari pelukan seorang kekasih gelapnya ke pelukan kekasih gelapnya yang lain. Contoh lainnya, video game “Grand Theft Auto” yang laris di AS, seolah-olah menganjurkan betapa asyiknya mencuri mobil di Los Angeles. Sementara itu sebuah perusahaan video game lainnya membuat permainan video “'Left Behind: Eternal Forces” yang mempromosikan kekerasan dan intoleransi sehingga layak ditanyakan, nilai-nilai Kristiani menurut siapa?

3. Sikap kita sebagai orang Kristen

a. Sikap sebagai pribadi dan keluarga

Mungkin hanya segelintir negara saja di du­nia yang masih bisa menghindarkan diri dari gelombang pe­ngaruh me­dia, seperti Myanmar dan mungkin pula Korea Utara. Sementara itu, praktis di seluruh dunia manusia mengalami serbuan media dan isinya yang sangat dahsyat. Dunia seolah-olah dikuasai oleh segelintir produser dan pemilik media seperti Hollywood, Bollywood, Rupert Murdoch, Jakob Oetama, Kel. Soedarjo (?), Surya Paloh, dll. Tidak dapat disangkal bahwa revolusi media dapat menghadirkan materi dan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan iman dan nilai-nilai Kristiani. Oleh karena itu, seperti halnya kita meng­gunakan pisau yang dapat digunakan sebagai alat untuk bekerja dan membedah tetapi juga dapat dipakai sebagai alat pembunuh, maka media juga harus kita pergunakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Kita perlu mengembangkan sikap kritis dan cermat terhadap isi berita di suratkabar, televisi serta pro­gram-program televisi ataupun video yang kita tonton, sewa atau beli, karena semuanya itu dapat bergu­na, tapi juga dapat merugikan diri kita dan keluarga.

Banyak orangtua yang kuatir akan isi media yang bersifat porno atau dianggap porno yang dapat meru­sak penon­tonnya (dhi. anak-anak kita), seolah-olah itulah ancaman satu-satunya yang harus kita waspadai. Kita tentu masih ingat usaha-usaha untuk mengesah­kan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi beberapa tahun lalu, yang mengun­dang berbagai pro-kontra. Sementara itu acara-acara TV dan video game yang penuh de­ngan kekerasan dianggap wajar, lumrah, dan tidak berbahaya. Belum lagi acara-acara TV yang menyajikan kebodohan lewat cerita-cerita horor, setan, kuntilanak, kubur, dll., yang tidak bermutu serta program-program yang menon­jolkan pola hidup kon­sumtif dan iklan-iklan yang membe­rondong penon­tonnya untuk terus-menerus berbelanja dan menikmati uangnya dan bersi­kap masa bodoh terhadap orang lain, sehingga muncul sikap, “Toh ini uang saya sendiri. Peduli amat dengan orang lain.”

Namun demikian ada juga program-program yang baik yang saya pikir perlu dipertimbangkan untuk menjadi bahan tontonan kita, seperti Oprah Winfrey Show, Kick Andy, dll. Program-program ini pada umumnya dapat kita katakan membangun dan membangkitkan inspirasi bagi kita untuk melakukan kebaikan untuk keluarga dan masyarakat kita.

Salah satu saluran televisi yang paling saya sukai di AS adalah Public Broadcasting System (PBS) di AS yang acara-acaranya sangat mendidik dan sebagian biayanya didukung oleh masyarakat serta perusa­haan-perusahaan yang peduli terhadap kepentingan umum. PBS tidak didukung oleh iklan, dan program-programnya sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah, sehingga pemerintahan Bush berulang kali telah berusaha menghapuskan subsidi untuk stasiun televisi ini. Sebuah programnya yang sangat saya sukai adalah “This Week in Religion News” yang berisi berita-berita yang berka­itan dengan agama-agama sepanjang minggu dan “Religion and Ethics” yang membahas masalah-masalah etika dalam kehidupan masyarakat. Ada lagi acara “Frontline”, “Now”, dll. yang berisi analisis tajam tentang masalah-masalah dalam masyarakat – umumnya bersangkutan dengan manipulasi oleh pemerintah terhadap masyarakat agar terus mendukung kebijakannya.

Memang ada banyak program media yang mengandung nilai moral maupun sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani, yang ber­tebaran lewat media dalam hidup kita. Selayaknyalah kita berhati-hati dengan semua itu. Baru-baru ini MUI bersama Departemen Agama dan KPI mengumumkan rencana untuk membuat komisi rating sendiri untuk program-program televisi kita. Barangkali orang Kristen dan gereja pun perlu mem­buat sebuah “media watch” untuk menilai bukan hanya sejauh mana tulisan dan program-program dalam media tidak mengan­dung pornografi, tetapi juga sejauh mana kekerasan dapat ditekan dan sebaliknya hal-hal yang positif diajarkan.

b. Sikap sebagai komunitas Kristen

Komunitas Kristen boleh dibilang orang-orang yang sadar akan pentingnya media. Sekitar 40 tahun yang lalu di Jakarta (dan Indonesia) ada dua surat kabar yang kuat dan berpengaruh, yaitu Sinar Harapan (1961) dan Kompas (1965) , masing-masing punya kelompok Protestan dan Katolik. Kedua media ini ke­mudian beranak. Sinar Harapan yang kemudian bertransformasi menjadi Suara Pembaruan dan ke­mudi­an menjelma dengan kembarannya yang juga bernama Sinar Harapan melahirkan Ragi Buana (majalah bulanan) dan Mutiara (majalah keluarga bulanan, kemudian berubah menjadi tabloid minggu­an, dwi-mingguan, dan akhirnya mati). Sementara Kompas melahirkan Intisari, Midi (majalah remaja yang kemu­dian bertransformasi menjadi Hai yang diambil alih kepemilikannya), Monitor, dan segudang media ce­tak lainnya di seluruh Indonesia, ditambah dengan saluran TV (Trans TV7). Kehadiran media Protestan dan Katolik ini pernah melahirkan ungkapan bahwa orang Indonesia makan pagi dengan Katolik dan makan malam dengan Protestan. Namun apa yang terjadi sekarang? Suara Pembaruan tidak berhasil mempertahankan tempatnya sebagai media yang tetap berpengaruh dan menggarami masyarakat Indo­nesia. Pangsa pasarnya kian mengecil dan tulisan-tulisannya tidak seberani pendahulunya Sinar Harapan yang lama sebelum dibredel rezim Orde Baru. Warna Kristennya pun semakin memudar. Kalau dulu se­tiap edisi Minggunya selalu memuat Renungan Minggu yang banyak ditulis oleh Pak Eka Darmapu­tera, sekarang renungan itu muncul tidak teratur. Tulisan-tulisannya pun – kalau ada – jauh di bawah kelas Pak Eka, meskipun saya sadar bahwa nilai kekristenan sebuah media tidak cukup diukur hanya lewat kehadiran sebuah Renungan Minggu. Sementara itu Sinar Harapan seperti mati enggan hidup tak mau.

Kompas semakin sadar bahwa umat Katolik sangat kecil di Indonesia dan karena itu koran ini semakin mempo­sisikan dirinya sebagai sebuah media sekular dan siap melayani agama apapun sehingga ia dapat diterima oleh siapapun. Di luar itu, tampaknya Kompas sadar akan pembentukan pemahaman yang benar tentang keberagamaan, seperti yang kerap kita temukan dalam tulisan-tulisan Rm. Franz Magnis Suseno, Rm. Mardiatmadja, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Azyumardi Azra, Budhy Munawar Rachman, Karlina Leksono, dll.

Kita dapat membandingkan media-media ini dengan media Kristen di AS, seperti Sojourner dan Chris­tian Century yang selalu kritis terhadap berbagai gejala dalam masyarakat yang dinilai tidak mencer­minkan kebaikan bersama (common good) dan kehendak Allah untuk mendirikan tanda-tanda Kerajaan-Nya. Saya pikir inilah tugas dan tanggung jawab kita sebagai warga negara Indonesia dan sekaligus warga Kerajaan Allah. Tidak cukup kita bersikap waspada terhadap media di sekitar kita, tetapi lebih dari itu kita perlu memikirkan bagaimana kita memanfaatkan media dan bersikap pro-aktif untuk ikut serta membangun tan­da-tanda Kerajaan Allah di muka bumi. Mungkin kita juga perlu mendorong orang-orang muda dan mereka yang bermodal kuat untuk terjun ke dunia media dan dengan kekuatan tersebut kita ikut menggarami dunia.

Jakarta, 13 Oktober 2007

Teman saya Bapak Stephen Suleeman memiliki artikel menarik dan saya diberi izin memiliki copy tulisan ini. Dan saya masukkan blog ini agar kiranya bermanfaat bagi yang berminat menjadi pemerhati masalah dampak televisi dalam keluarga

[1] Makalah untuk Pembinaan Teologi Jemaat GKJ Eben Haezer, Pasar Minggu, 21 Oktober 2007.

[2] Dosen STT Jakarta, mahasiswa S-3 di Graduate Theological Union, Berkeley, CA, AS; S-1 Komunikasi Pemba­ngunan dari FISIP-UI (1987).