Saturday, February 27, 2010

Belajar dari Bupati Jayawijaya Menangani Masalah Hukum


Daniel Ronda
Di tengah keriangan menyambut tahun baru 2010, umat Kristiani biasanya merayakan ibadah tahun baru. Di sebuah distrik di Pagimo, ada sekelompok kecil komunitas beribadah memasuki tahun 2010. Di tengah ibadah berlangsung tiba-tiba ada sekelompok masa yang menyerang dan memukuli kelompok kecil yang beribadah ini di sebuah TK Kristen. Tidak peduli perempuan dan remaja pun mereka pukuli beramai-ramai. Bahkan kemudian kelompok yang beringas ini sekitar 50an laki-laki membakar TK tempat mereka beribadah. Bahkan mobil dan motor mereka balik dan rusakkan. Menurut kesaksian, kelompok yang diserang ini hanya berdiam diri ketika penyerangan dan penghancuran terjadi.
Berita ini segera menjadi berita besar di kabupaten yang juga dikenal dengan sebutan Lembah Baliem. Tempat yang dingin dan dikenal dengan pariwisatanya seketika menjadi panas dan tegang dengan berita ini. Kelompok yang diserang tentu tidak menerima perlakukan ini dan melaporkan kepada kelompoknya yang besar.  Peristiwa ini lebih didasari dan dimulai dari perpecahan gereja di tingkat sinode yang berimbas ke gereja-gereja lokal yang lebih kecil.
Dalam suasana tegang polisi berhasil menangkap pelaku sebanyak 19 orang. Ada yang ditahan langsung dan ada yang jadi tahanan kota. Pemerintah cukup tegas dan polisi berusaha menegakkan hukum yang berlaku. Ini suatu keberhasilan dalam menegakkan kebenaran di daerah di mana kesadaran hukum bukan masih belum nampak. Tetapi cerita terus berlanjut, di mana kemudian keluarga pihak penyerang yang keluarganya ditangkap melakukan demo hampir setiap hari di kantor pemerintah untuk meminta pembebasan tahanan. Pemerintah tentu pusing menghadapi situasi seperti ini. Apalagi konsep keadilan masyarakat di sana sangat berbeda dengan konsep hukum yang umum dianut di negeri ini. Masyarakat yang terbiasa dengan penyelesaian perang tentu menganggap hal biasa bila itu terjadi. Mereka tidak mau tahu (atau istilah lokal “malas tahu”) dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Baginya keadilan diselesaikan dengan perang atau penyerangan. Anda melawan atau lari, itu saja. Menang kalah diselesaikan lewat perang atau kekerasan!
Di tengah konsep hukum yang masih rendah dan ketika berkas perkara hendak dilimpahkan ke kejaksaan, timbul niat dari Bupati untuk menyelesaikan masalah ini dengan lebih arif dan mengambil nilai-nilai budaya setempat. Pihak korban didekati agar mau berdamai dengan pihak penyerang. Atas fasilitasi ini pihak korban bersedia didamaikan, tetapi tetap menuntut ganti rugi. Pihak penyerang tetap keberatan dengan ide ini, namun tetap minta bahkan menuntut agar tahanan dibebaskan. Lalu Bupati meminta kepada pihak korban, kalau mereka menghapuskan saja tuntutan ganti rugi dan malahan mau memberikan maaf dan pengampunan. Usul itu diterima asalkan pihak korban dapat terus berbakti tanpa diganggu. Akhirnya terjadilah kesepakatan damai di antara kedua belah pihak di mana Bupati menjadi fasilitator yang disaksikan oleh semua unsur Muspida. Dan yang menarik pihak korban tidak menuntut apa-apa selain menunjukkan kasih dan pengampunan serta maaf.
Peristiwa damai ini menyentuh hati banyak orang, karena pendekatan ini justru menghasilkan kepuasan di kedua belah pihak dan kedamaian di masyarakat. Ketika kesadaran hukum sangat rendah, maka harus ada nilai lokal yang perlu dipakai dalam penyelesaian masalah.
Tentu hukum harus disosialisasikan sehingga masyarakat bisa melek hukum. Tetapi dalam masyarakat yang penyelesaiannya lewat perang, maka perdamaian adalah juga nilai luhur yang dianut. Maka kearifan Bupati dapat diacungi jempol. Dia adalah pemimpin yang mengerti bahwa bila penyelesaiannya lewat hukum legal formal semata, maka masalah ini tidak akan pernah selesai dan justru akan mempertajam permusuhan. Dan ketika sikap perdamaian dan kerelaan mengampuni diambil, justru kedamaian lebih abadi. Pak Anes (saya singkat saja), teman saya yang merupakan korban, mengatakan bahwa justru sekarang mereka bisa leluasa beribadah bahkan ada yang telah menyesal melakukan hal tersebut.
Kolam Lupa Ingatan
Lain dengan kasus penyerangan, lain dengan penyelesaian masalah pelik lainnya yaitu miras. Masyarakat Papua termasuk di Wamena dikenal sebagai peminum miras dan kemabukan sudah hal yang lazim terlihat di kota-kota. Mereka bukan hanya mabuk, tetapi kemudian dibarengi dengan berbagai kejahatan lainnya seperti pemalakan, penodongan, pencurian dan tindak kriminal lainnya. Masyarakat mengeluh soal yang satu ini di mana pemerintah sepertinya gagal menyelesaikan masalah ini. Bupati tahu persoalan yang meresahkan ini. Dia mencoba menghubungi pihak kepolisian, namun tentu polisi kewalahan karena jumlah personel yang kurang memadai di samping rumah tahanan juga kecil.

Maka Bupati tidak habis akal. Dia membentuk satpol dan memerintahkan menangkap setiap pemabuk yang berkeliaran di kota. Mereka yang ditangkap tidak dibawa ke sel tahanan atau diproses hukum, tetapi dibawa ke kolam dekat kantor bupati. Di sana para satpol memasukkan mereka ke dalam kolam yang dingin sekali bila malam. Siapapun pemabuk tidak akan tahan direndam di air dengan baju terbuka selama beberapa jam. Mereka rata-rata mengaduh dan minta ampun agar dikeluarkan. Tujuannya membuat para pemabuk jera. Maka kolam itu dikenal dengan julukan “kolam lupa ingatan” untuk membuat pemabok kapok.

Sejak razia itu pemabuk yang berkeliaran sudah sangat jauh berkurang. Pemilik toko dan masyarakat senang karena ada rasa aman yang terjadi. Memang belum tuntas, namun Bupati telah mengerti teknik mengatasi tipe permasalahan kemabukan ini. Tidak bisa hanya pendekatan hukum, tetapi membuat jera tanpa harus melanggar HAM.

Kepemimpinan model inilah yang diperlukan bangsa ini yang begitu beragam dari masyarakat yang sudah sangat maju sampai belum sama sekali memahami hukum yang berlaku di negeri ini. Pendekatan kontekstual setempat telah berhasil menyelesaikan begitu banyak masalah, yang tentunya penyosialisasian konsep hukum nasional juga harus terus dijalankan. Bila banyak pemimpin yang seperti ini, tentu akan terselesaikan kasus bangsa ini tanpa harus bertumpu kepada kepemimpinan seseorang di Pusat yang sudah begitu sarat juga dengan masalah.
(Cerita ini saya dapat dari rekan-rekan saya ketika saya di Wamena, 20-22 Februari 2010).