Saturday, August 21, 2010

Teologi Berkotbah

Pengkotbah yang berhasil dan efektif sangat bergantung atas keyakinannya akan berkotbah terutama teologi berkotbahnya. Banyak pengkotbah saat ini mungkin belum terlalu memiliki keyakinan yang kokoh tentang mengapa dan untuk apa dia berkotbah. Tidak heran bila banyak pengkotbah tidak lebih dari seorang motivator, pembicara soal-soal kekinian tanpa fondasi yang kuat di mana fokus kepada supaya jemaat merasa enak dan nyaman (feelings good). Kotbah seperti ini populer, tetapi tidak memiliki kekuatan yang kokoh dalam kehidupan jemaat. Tuhan mengingatkan tentang fondasi pasir dan batu yang dibangun seseorang dalam Matius 7, jangan-jangan karena andil seorang pengkotbah.

Jay Adams (dalam buku “The Art and Craft of Biblical Preaching” oleh Haddon Robinson & Craig Brian Larson (eds), hal. 33-36) memberikan sembilan keyakinan soal teologi kotbah yang harus dimiliki seorang pengkobtah:

Pertama, tujuan utama berkotbah adalah menyenangkan hati Allah. Seorang pengkotbah harus membuktikan kesetiaannya dalam berbicara tentang Firman Allah saja. Kita harus setia kepada firmanNya, dan bukan kepada ide-ide manusia dan berbagai teori spekulatif tentang manusia.

Kedua, kotbah yang benar dan menyenangkan Tuhan adalah sesuai dengan Firman Tuhan. Itu sebabnya setiap kotbah dimulai dengan pembacaan Firman Tuhan, karena Firman yang sentral dalam kotbah. Semua percakapan dalam kotbah berasal dari Firman Tuhan. Artinya, pemilihan garis besar, kalimat, cerita, ilustrasi, humor, dan retorika merupakan refleksi yang muncul dari pembacaan, penafsiran, dan perenungan firman Tuhan.

Ketiga, pengkotbah yakin bahwa Alkitab adalah Firman Allah dan tanpa kesalahan di dalamnya (2 Tim 3:16). Pengkotbah harus memiliki keyakinan bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang tertulis. Itu berarti bahwa Alkitab adalah sumber pengajaran bagi pengkotbah yang dipersiapkan bagi dirinya dan diproklamasikan kepada pendengarnya.

Keempat, kotbah adalah tugas yang suci. Kita harus berkeyakinan bahwa menyampaikan Firman Tuhan adalah mandat suci yaitu meminta pendengar untuk berubah. Inilah tugas yang mulia dan suci itu. Itu sebabnya teks yang dipelajari harus dihormati, sehingga dalam menyiapkan kotbah tidak bisa asal-asalan saja. Tidak bisa mempersiapkan Firman Tuhan tanpa waktu yang cukup dan tidak dilakukan dengan baik. Jangan menjadikan kesibukan pelayanan mengurangi waktu belajar kita akan Firman Tuhan. Pemimpin gereja harus memberi peluang bagi pendetanya untuk mempersiapkan kotbah, baik dengan memberikan waktu yang cukup dan buku-buku penunjang yang cukup. Harus diberikan dana pembelian buku penunjang kotbah yang memadai.

Kelima, firman Tuhan bukan hanya ditujukan kepada pembaca mula-mula (jemaat mula-mula), tetapi untuk orang percaya saat ini. Banyak pengkotbah dalam penyajiannya asyik menceritakan sejarah latar belakang cerita Alkitab, dan karena asyiknya sampai lupa bahwa yang disampaikannya adalah cerita masa lalu yang tidak menarik bagi pendengar atau jemaat. Firman itu adalah untuk segala zaman, dan bukan hanya untuk masa lalu. Itu sebabnya kita mencari Amanat Teks dan mengubahnya menjadi Amanat Kotbah (pinjam istilah dari Benny Solihin). Artinya, setelah menemukan hal di masa lalu, maka kita harus bawa kepada jemaat masa kini. Jadi yang kita kotbahkan adalah berita yang kontemporer. Sebagai contoh, jika kita hendak berkotbah tentang Israel dan orang Amalek, maka kita tidak menceritakan panjang lebar soal Amalek. Kita berbicara soal tentang Allah dan umat Allah berhadapan dengan Amalek. Dan bagaimana pengalaman ini sangat berhubungan dengan kita dalam kekinian. Maka tugas kita perlu meng-eksegesis jemaat dan konteks masa kini.

Keenam, maksud teks asli kepada jemaat mula-mula harus menjadi pengontrol atas berita kotbah kepada pendengar masa kini. Maksud dari Firman Tuhan agar kita mengasihi Tuhan dan sesama. Maka semua kotbah harus tunduk kepada agenda ini. Banyak pengkotbah mulai menetapkan agendanya sendiri dalam kotbahnya. Mungkin kesempatan menyampaikan uneg-unegnya, kejengkelannya, bahkan sakit hatinya kepada majelis atau jemaatnya. Ada juga yang menjadikan mimbar sebagai ajang curhat yaitu menceritakan permasalahan pribadinya. Maksud teks Firman Tuhan dalam teks yang kita sampaikan harus menjadi penjaga bagi kotbah yang kita sampaikan.

Ketujuh, subyek dari setiap kotbah adalah Allah dan manusia. Pengkotbah tidak sedang berkotbah tentang Alkitab, tetapi tentang relasi kepada Allah dan manusia. Kotbah tidak dalam bentuk format kuliah dengan segala konsep dan bahasa yang abstrak. Jadi bukan konten tentang isi kitab saja, tetapi bagaimana relasi dengan Allah terjalin, begitu juga relasi dengan sesamanya. Pengkotbah tidak juga berbicara tentang dirinya sendiri, tetapi Tuhan dan pendengarnya.

Kedelapan, kejelasan sebagai hal utama. Kotbah yang efektif mengambil bentuk yang sederhana dan jelas. Kita berusaha menjelaskan makna atas bahasa teknis yang kita pakai, terutama dalam bahasa asli Alkitab. Kita menghindari pemakaian kata yang konseptual abstrak, frase yang sudah ketinggalan zaman dan bahasa teologis tempo dulu. Itu sebabnya, dalam membuat firman Tuhan itu jelas, maka kita memakai ilustrasi dan contoh-contoh kehidupan masa kini, dan hal praktis lainnya. Pemakaian istilah teoritis dibatasi dengan penjelasan yang memadai dengan memakai bahasa kekinian. Jangan hanya fokus isi, tetapi bentuknya juga penting. Simpel tanpa kehilangan isi adalah hal penting dalam berkotbah.

Kesembilan, tugas kita adalah berkotbah dengan berani. Seorang pengkotbah perlu berdoa, agar sewaktu menyampaikan Firman Tuhan, ia menyampaikannya dengan penuh keberanian. Pengkotbah harus berani berkotbah tanpa rasa takut akan akibat yang akan menimpanya. Yang terpenting Firman Tuhan adalah yang tertinggi dalam kehidupannya.

Thursday, August 19, 2010

Kotbah Mimbar Bukan Satu-Satunya

Saya sering diminta berkotbah di berbagai gereja dan suatu kehormatan bisa berbagi firman Tuhan dari berbagai tradisi gereja yang berbeda. Sebut saja dari tradisi Protestan (mainline), Injili, Pentakosta, dan sampai Kharismatik serta aliran independen lainnya.

Suatu ketika, ketika diundang kotbah di sebuah gereja, saya bertanya mengapa mengundang saya. Jawabannya adalah bahwa gereja kami memerlukan variasi dan penyegaran. Jadi perlu ada suara baru dari fihak luar atau eksternal agar tidak monoton. Ini jawaban klasik, karena di seringkali saya mendengar jawaban ini dari mereka yang suka mengundang pengkotbah luar.

Bahkan ada gereja yang menjadikan kotbah sebagai primadona programnya, sehingga hampir tiap minggu mengundang pengkotbah “terkenal” baik dari dalam kota maupun luar kota. Tiap minggu gereja model ini melakukan promosi lewat koran dan tabloid. Sayangnya, kriteria pengkotbah terkenal adalah mereka yang bisa melucu atau bahasa halusnya punya sense of humor. Kriteria bisa melucu di atas kriteria kotbah yang Alkitabiah dan komunikatif. Maka “entertainment preacher” sebagaimana dilansir John Piper menjadi lebih terkenal daripada kotbah yang berfokus kepada firman Tuhan.
Tetapi ironisnya, tidak selalu gereja yang menjadikan kotbah sebagai primadona berhasil. Ada beberapa gereja yang saya tahu tidak mengalami pertumbuhan walaupun sudah tiap minggu mengundang pengkotbah “terkenal” dan punya reputasi. Saya pernah ditanya, mengapa begitu banyak pengeluaran yang dilakukan untuk mendatangkan pengkotbah, namun hasilnya tidak sebanding. Jemaat yang datang ternyata dari gereja lain dan hanya datang sebagai pengunjung yang membutuhkan variasi. Jemaat hanya datang dari gereja lain sebagai pengunjung tanpa komitmen. Ini fenomena menyedihkan.

Mengapa itu terjadi? Saya berpendapat bahwa kotbah bukan satu-satunya. Iya, kotbah memang penting dan sentral dalam kehidupan gereja, tetapi ada hal lain yang penting untuk menunjang kotbah yang hidup:

Pertama, perlu ada sentuhan pribadi pada kotbah, sama dengan kehidupan jemaat pun perlu ada sentuhan seperti kunjungan pastoral (pembesukan), kontak pribadi lainnya. Ada banyak hal kreatif yang dilakukan gereja dalam mengadakan kontak dengan jemaat. Hal itu dilakukan dengan percakapan pastoral via telepon atau langsung, sms ayat firman Tuhan, atau kartu ucapan lainnya. Bila ini dilakukan, maka semua sentuhan pribadi ini akan menunjang kotbah dengan cara menceritakan di mimbar hal-hal positif yang dilakukan jemaat. Rick Warren dalam kotbahnya seringkali memuji jemaatnya yang begitu antusias melayani. Saya pernah melihat Bill Hybels berkotbah di Willow Creek Church Burlington-Chicago di mana di tengah kotbahnya dia menayangkan film singkat bagaimana jemaatnya melakukan tugas pelayanan. Ini sangat menyentuh jemaatnya. Dalam konteks pengkotbah tamu di mana kita mengundang pengkotbah luar, pastikan mereka memahami konteks jemaat dan situasi mereka sehingga ada sentuhan pribadi dalam aplikasinya.

Kedua, penyembahan dan atmosfer ibadah perlu dipelihara kehangatannya. Ini perlu persiapan matang dan terencana, baik dalam memilih dan melatih pelayan penyembahan. Entah apapun bentuk penyembahannya, harus dipersiapkan dengan baik. Hal utama adalah tentu penyembahan berpusat kepada Tuhan (God’s centered worship). Sebagai pengkotbah akan sangat tertolong bila liturgi penyembahan baik dan atmosfer kehangatan ada dalam ibadah. Saya sendiri merasakan respons yang berbeda bila suasana dingin dan ibadah membosankan. Sulit rasanya mengangkat minat jemaat mendengarkan kotbah bila di awalnya mereka tidak merasakan atmosfer surgawi.

Ketiga, perlu ada kehidupan doa yang baik dalam gereja. Kotbah dan doa adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Bila tidak ada persiapan rohani, rasanya sulit mendapatkan kotbah yang penuh kuasa. Ia bisa memotivasi, tetapi tidak mengubahkan. Itu sebabnya baik pengkotbah dan semua pelayan gereja ada jam khusus untuk berdoa. Bahkan ada pemimpin gereja berkumpul yang sharing firman Tuhan sebelum disampaikan di mimbar pada keesokan harinya.

Keempat, perlu ada keramahan dan karakter yang baik dari pengkotbah. Setelah ibadah, biasanya ada gereja yang meminta pengkotbah menyalami jemaat. Maka kehangatan pengkotbah, senyuman, menyalami dengan sungguh akan menambah kesan yang lebih dalam bagi kehidupan jemaat. Apalagi bila ada yang minta didoakan, dan kita rela melakukannya, maka akan menambah kekuatan kotbah. Seringkali banyak jemaat mengeluh bahwa pengkotbahnya tidak ramah, tidak lihat muka lawan waktu salaman, dan dingin dalam bersikap. Bagaimana seseorang merasakan isi kotbah yang hangat, dengan kenyataan seorang yang dingin yang berdiri di depannya?

Kotbah yang efektif perlu ditunjang dari berbagai segi. Jangan pikir kotbah di mimbar sebagai satu-satunya alat efektif pertumbuhan gerejanya.

Sunday, August 15, 2010

Refleksi: Cut Tari Mengaku, Ariel Tidak: Mana yang Benar?

“Admitting your mistakes says something profound about your basic integrity as a leader (Bill Hybels).”

Saya sangat menghargai Cut Tari, tapi tidak dengan Ariel-Luna. Mengapa? Agak aneh, fakta-fakta sudah jelas, dalam laporan dikatakan gambar di video sudah gamblang, tetapi mengapa tetap Ariel bertahan tidak mau mengakui? (sampai Kamis, 12/8/2010). Bahkan Luna Maya tetap bertahan tidak mengakui, tetapi minta maaf kepada publik. Tetapi untuk apa minta maaf bila benar? Sebuah ketidakkonsistenan yang aneh.

Budaya malu (shame culture) ternyata masih mendominasi budaya kita, tetapi dalam pengertian negatif. Bila Asia Timur memiliki rasa malu positif, maka budaya di sini punya rasa malu yang negatif di mana aib dan mempertahankan muka yang jauh lebih besar dari rasa bersalah (guilt culture). Bila rasa malu dibarengi dengan pengakuan dan rasa salah, itulah yang positif. Dalam hal ini saya mengagumi Cut Tari. Dia rela mempertaruhkan nama baik dan keluarganya hanya untuk mengakui kesalahan dan menyesali atas akibat dari video yang sudah tersebar. Mengakui, berarti bertanggung jawab atas kesalahan yang ada. Masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pengakuan atas kesalahan. Inilah tanggung jawab moral seorang “public figure’. Saya rasa Cut Tari layak dimaafkan dan saya sungguh bangga punya orang Indonesia seperti Cut Tari. Siapa yang suci? Nabi Isa pun ketika ditanya pemimpin Yahudi yang menangkap perempuan berzinah, yang sebenarnya hukumannya dirajam batu, maka Isa malah menuliskan di tanah, “siapa yang tidak berzinah, hendaknya yang pertama melempar dengan batu!” Semua pada pergi, dan perempuan itu dibebaskan dan diampuni dengan syarat jangan berbuat lagi. Sebuah kisah yang berisi pengalaman yang memiliki makna dalam tentang “siapa yang suci; siapa yang berhak menghakimi?”

Dari pengalaman selebritis antara yang mengaku dan menyangkal, maka ada pelajaran penting soal kepemimpinan, yaitu soal mengakui kesalahan. Justru mengakui kesalahan menunjukkan sebuah integritas seseorang. Diperlukan jiwa besar untuk mengakui, dan ketika dunia semakin mengglobal, maka kita bisa belajar bagaimana sebaiknya langkah yang dilakukan seseorang pemimpin bila melakukan kesalahan. Para pakar kepemimpinan sepakat bahwa mengakui kesalahan akan mengangkat integritas. Bila itu benar, mengapa kita masih enggan melakukannya? Saya sedih kalau ada pejabat publik yang masih meneladani Ariel-Luna, selebritis yang masih memikirkan “aib” daripada berpikir tentang tanggung jawab moral kepada masyarakat atas apa yang telah diperbuatnya.