Sunday, October 10, 2010

Perbedaaan Komunikasi dan Kotbah

Great Preachers are good communicators, but good communicators are not necessarily great preachers – Pengkotbah besar adalah komunikator yang baik, tetapi komunikator yang baik belum tentu pengkotbah besar (Crawford Lorrits)

Apakah penting belajar komunikasi dalam kotbah? Seberapa beda antara komunikasi dan kotbah? Harus dicatat bahwa bagi pengkotbah perlu belajar komunikasi dengan lebih intens, karena kajian ilmiah komunikasi terbukti sangat menolong seseorang menjadi efektif dalam berbicara, baik secara hubungan antar pribadi (interpersonal relatinship) dan berbicara di depan publik. Teori komunikasi sendiri merupakan keahlian yang harus dipelajari dan diperdalam dalam kehidupan intelektual seorang pengkotbah.

Tetapi menjadi pengkotbah tentu berbeda dengan menjadi orator, berpidato di depan massa. Walaupun kelihatannya harus memiliki teknis keterampilan yang sama yaitu sama-sama berbicara di depan publik, secara hakikat berkotbah sangat berbeda dengan berkomunikasi. Kotbah lebih dari sekadar berkomunikasi, dan bukan sekadar cara membuat pendengar terkesan. Kotbah adalah sebuah percakapan rohani di mana dia mewakili Allah menyampaikan maksud hati Allah kepada umat-Nya. Kotbah adalah sebuah tugas suci menyampaikan maksud hati Allah dari amanat teks yang Tuhan sudah maksudkan dari firmanNya.

Itu sebabnya kotbah berbeda dengan komunikasi. Crawford Lorrits menuliskan hakikat kotbah, yang membuat kotbah berbeda dari komunikasi pada umumnya. Prinsip komunikasi kotbah adalah (The Art and Craft of Biblical Preaching, hal. 36-38):
1. Jangan pernah berdiri di depan jemaat untuk berkotbah, di mana Alkitab sudah di tangan, tetapi tidak mengharapkan perubahan. Alkitab sebagai buku suci yang kita pegang adalah buku yang mengubahkan, maka kita harus punya suatu keyakinan bahwa Tuhan akan mengubahkan umatNya ketika Firman Tuhan disampaikan. Tanpa keyakinan seperti itu, kita tidak layak disebut seorang pengkotbah. Maka setiap pengkotbah patut bergumul tentang perubahan apa yang Tuhan harapkan untuk disampaikan kepada jemaat.

2. Selalu mengingat prinsip bahwa tujuan dari pelayanan adalah transformasi (perubahan). Misi ini harus diemban seorang pengkotbah, yaitu misi transformasi. Dia tidak hanya berkotbah dengan tujuan agar diterima oleh majelis dan jemaatnya. Kebanyakan pengkotbah, terutama yang bekerja menetap dalam gereja, memiliki kecenderungan berhati-hati dalam berkotbah. Ada semacam tindakan refleks untuk tidak menyinggung masalah bila berhubungan dengan masalah yang ada dalam pemimpin dan kepemimpinan dalam gereja. Pengkotbah merasa perlu untuk tidak menciptakan masalah dengan berusaha “menyenangkan” majelis (baca kepemimpinan gereja). Tujuannya agar dapat diterima.

3. Prinsip utama yang tak kalah penting adalah bahwa kotbah haruslah lahir dari kehidupan suci dari sebuah pribadi yang utuh. Berbeda dengan orator yang tidak terlalu dipedulikan kehidupan pribadinya, maka seorang pengkotbah harus menghidupi apa yang dikatakannya. Tidak ada pengkotbah sempurna, tetapi kehidupannya menunjukkan komitmen suci dan nampak dari kepribadian yang bertumbuh dewasa dan tidak kekanak-kanakan. Pribadi kekanak-kanakan seperti tidak mampu mengontrol diri, emosial, temperamental sehingga dikenal sebagai cepat marah, tersinggung dan wawasan yang sempit. Sulit bagi seseorang menerima bila dia mengetahui kehidupan pribadi yang tidak mencerminkan apa yang telah disampaikannya.

Tetapi apa yang benar-benar membedakan antara kotbah dan komunikasi pada umumnya? Bila komunikasi, motif hati bisa apa saja dan tidak perlu dinilai, tetapi motif kotbah hanya satu dan harus murni yaitu menyampaikan hati Allah, dan bukan mencari keuntungan. 2 Korintus 2:17, berkata, “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya.”

Bila menyampaikan kotbah, maka kita bukan aktor yang berbicara dengan mimik dan emosi yang meyakinkan, tetapi motif hati tidak dipertanyakan. Bisa saja seorang orator menangis atau tertawa, tetapi belum tentu tangisan itu keluar dari hati atau tertawa sukacita palsu. Itu terjadi karena kita sedang berperan sebagai aktor. Sedangkan kotbah keluar dari prinsip integritas hati dan bukan “akting”. Ketika seseorang berakting, maka mimik, kata-kata dan gerak tubuhnya sangat meyakinkan. Namun semua itu tidak bisa mengubahkan, karena tidak lahir dari hati yang terdalam.

Itu sebabnya seorang pengkotbah tidak berfokus kepada upaya membuat jemaatnya tertawa, walaupun humor penting. Humor yang baik lahir dari sebuah pergumulan pengkotbah untuk membuat amanat teks lebih jelas lewat kemampuan menertawakan kebodohan diri dan kemauan untuk berubah. Tetapi membuat jemaat tertawa agar disenangi jemaat menjadikan kotbah tidak lebih dari hiburan lawak yang tidak memiliki kuasa rohani. Jangan salah mengerti, humor penting. Saya akan bahas secara khusus nantinya mengapa humor penting dalam sebuah percakapan.

Orator biasanya berharap mendapatkan tepuk tangan dan pujian berdiri (standing ovation) dari pendengarnya. Karena bila tidak feedback seperti itu, maka seorang orator akan kehilangan daya tariknya. Sedangkan seorang pengkotbah tidak memfokuskan diri mendapatkan tepuk tangan, tetapi adanya perubahan sikap dari jemaat. Kita tidak sedang berkotbah dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dan senyuman atas kalimat-kalimat yang disampaikan.

Lebih lanjut, dalam berkotbah kita tidak sedang bersinetron dalam berkotbah. Kotbah sedang berbicara tentang kebenaran kekal dengan cara yang penuh integritas dan transparan. Ketika disampaikan dengan penuh integritas, maka prinsip komunikasi memperkaya kotbah seseorang dan bukan kemampuan komunikasi yang menggantikan kotbah seseorang.

Kesimpulannya, komunikasi penting dan harus didalami. Tapi jauh lebih penting kotbah yang bukan mendasari dalam prinsip komunikasi, tetapi kepada menyenangkan hati Allah. Komunikasi sebagai alat pendukung yang didasari pada prinsip Allah dalam berkomunikasi.