Friday, January 9, 2009

Definition of Leadership

"Leadership is a process of dynamic relationship between the leader
and followers used to accomplish a purpose"
(Joseph Rost in Leadership for the
21st Century)

"Leadership is the process of moving an organization from an existing
state to some future state"
(Jay Conger in The Charismatic Leader)

"Leadership is the process of persuasion or example by which an
individual induces a group to pursue objectives"
(John Gardner in- On Leadership)

"Leadership is an art of getting things done through people"
(Peter Wiwcharuck in Christian Leadership Development and Church Growth)

"Leadership is the chemistry produced by mixing human need with divine
promise,and the know-how to put the product on the street. It is a
gift that managers of christian organizations can acquire and develop
because it is a gift that God desires to give"
(Ray Anderson in Minding God's Business)

"Leadership is much more than a leadership style that we learn to 'act
out' and master like other management style. Christian leadership
begins with the heart -with our attitude, with our motives. To serve
as Jesus served and to lead as Jesus led"
(Paul Cedar- Strength in Servant Leadership)

"Kepemimpinan adalah panggilan untuk melayani dan memberikan nyawa
sendiri bagi tebusan orang banyak"
(Yesus Kristus - Matius 20:28)

"Christian Leadership is the ability to influence and equip God's
people to accomplish the ministry's goals which the Lord wants us to
reach as a team-work"
(Bob Jokiman in Developoing Leadership in the Local Church)


"The first task of a leader is to keep hope alive." (Joe Batten is the author of the best-selling Tough-MindedManagement, which has been translated into 21 languages. Joe is
considered one of the top five leading management authorities in the
world
)

Diambil dari kiriman Bob Jokiman

Saturday, January 3, 2009

Kajian Dalam Memahami Tawuran Mahasiswa di Makassar

Saya selalu agak sedih ketika teman-teman dari luar Sulsel selalu bilang Sulsel sekarang terkenal saja ya dengan tawurannya! Ironi memang. Itu sebabnya tawuran antar mahasiswa harus menjadi PR serius bagi dunia pendidikan di Sulsel, karena perilaku tawuran seperti ini akan terus berlangsung sepanjang hal ini tidak ditangani secara komprehensif. Sedihnya, respons petinggi pemerintahan, pejabat keamanan, petinggi pendidikan, bahkan beberapa mahasiswa internal sendiri kurang bersimpati bahkan sangat tidak memadai. Para pakar hanya berkomentar atas tawuran ketika tawuran muncul dan tidak ada studi khusus untuk itu. Penyebutan tindakan mereka sebagai tindakan yang memalukan daerah, mahasiswa yang diprovokasi, bodoh dan marjinal menjelaskan kepada kita bahwa tindakan tawuran mahasiswa sepertinya tidak dipahami sebagai masalah sosial budaya yang sudah menjadi kultur bangsa ini.

Kita tahu bahwa tawuran mahasiswa tidak beda dengan tawuran lainnya dalam mayarakat Indonesia. Di Jawa ada tawuran antar desa, antar kelompok, antar banjar di Bali. Ini sekadar contoh dari ribuan contoh yang ada di Indonesia, bahkan di sebagian negara di Timur. Ini sebuah ciri solidaritas kelompok yang membela salah satu anggotanya. Fenomena seperti ini dalam masalah sosiologi budaya disebut sebagai solidaritas kelompok (corporate solidarity). Fenomena seperti ini merupakan lawan dari semangat individualitistik dalam masyarakat Barat. Itu sebabnya banyak orang tidak mengerti mengapa hanya karena masalah sepele satu orang menjadi masalah bersama. Satu pemuda mengganggu gadis dari desa lain, berakhir dengan serangan dari pihak pemuda di mana gadis itu berasal. Hal aneh, namun selalu ada. Ini memang sebuah dilema. Karena solidaritas kelompok bisa menjadi sebuah gerakan positif seperti gotong royong, kerja lainnya secara bersama, namun ia bisa berubah liar menjadi gerakan yang destruktif dan amat menghancurkan citra sebuah peradaban dan bahkan menimbulkan stereotipe. Itu sebabnya ada satu bahasa Indonesia yang sudah masuk dalam entri dan dipakai sebagai bahasa Inggris yaitu Amok. Tindakan seperti ini harus dipahami sebagai bentuk penegasan identitas atau diistilahkan sebagai identitas kelompok (corporate identity). Corak kelompok selalu ditandai dengan keseragaman, karena mereka mengidentikkan diri mereka ke dalam kelompok. Misalnya, kelompok elit di masyarakat ditandai dengan atribut dan asesoris konsumtif yang berbeda dengan kelompok marjinal yang beridentitas pinggiran, kasar, dan seringkali dianggap tidak tahu tata krama. Itu sebabnya dalam kelompok sosial selalu ada disebut “we group” dan lainnya “out-group” atau “they group” (Paul Hiebert, Cultural Anthropology, Grand Rapids, Mich.: Baker, 1983, hal. 183-184). Pengelompokan ini selalu ditandai dengan kebanggan kelompok (pride) dan meminggirkan kelompok lain (discrimination).

Dengan memahami corak ini, maka seharusnya tawuran ini bukan hal yang mengagetkan dan bukan suatu fenomena yang aneh. Mungkin orang tidak mengerti karena menganggap mahasiswa sebagai komunitas intelektual yang tidak seharusnya melakukan tawuran. Namun, bila kita memahami prinsip solidaritas kelompok dan identitas kelompok ini di komunitas intelektual, maka ini menunjukkan bahwa ada masalah budaya pada komunitas pendidikan kita di Sulsel. Itu sebabnya masalah tawuran ini sejatinya bisa diselesaikan secara komprehensif dan bukan tindakan reaktif dan parsial, apalagi memakai tindakan kecaman. Pendekatan keamanan oleh polisi sudah sangat tepat. Namun lembaga pendidikanlah yang seharusnya bertanggung jawab atas mahasiswa. Jangan hanya menerima mereka dan uang mereka sebagai mahasiswa namun malu mengakui tindakan mereka yang negatif. Di mana tanggung jawab pendidikan sebuah institusi yang terakreditasi di mana unsur di luar mengajar seperti academic atmosphere antara dosen dan mahasiswa harus tercipta justru lebih banyak di luar kelas?

Tawuran karena Miskin?

Dalam memahami tindakan anakisme mahasiswa, pernah seorang penulis dalam suatu tulisan di Tribun Timur “Anarkisme Mahasiswa Makassar” (oleh Irwan di Tribun Timur, 29 Nov. 2008, hal 2) menyimpulkan tentang tawuran sebagai berikut: “Ada dua ciri utama dari mahasiswa Makassar yang sering terlibat dalam aksi anarkis selama ini. Mereka umumnya berasal dari komunitas marjinal. Baik aspek latar belakang ekonomi keluarga, asal institusi, maupun interaksi antara mahasiswa dan pihak birokrasi di kampus mereka.” Ditambahkannya lagi, “Aksi anarkis jarang dilakukan oleh mahasiswa dari perguruan tinggi elite atau mahasiswa yang memiliki prestasi akademik dan perguruan tingi yang memiliki suasana kampus yang mendukung.” Tulisan ini menggelitik penulis, karena kesimpulan yang dibuat baru merupakan pengamatan kasat mata yang dangkal. Seharusnya ada riset yang mendalam untuk itu di Sulsel. Riset literatur sampai saat ini menyatakan bahwa kemiskinan bukan sumber kekerasan, tetapi sumber eksploitasi dari orang kaya sehingga terjadi kekerasan. Pelaku itu dicap sebagai orang marjinal dan miskin sehingga merekalah dalang kekerasan, padahal bukan. Pada konteks mahasiswa yang dianggap marjinal ini justru telah menjadi korban atas kesewang-wenangan lembaga pendidikan yang tidak peduli kepada mereka (syukur itu juga dimasukkan oleh Irwan, yang mana saya setuju). Percakapan di kalangan mahasiswa tentang mengajar tidak becus, fasilitas seperti laboratorium tidak ada, memeriksa tugas tidak benar, pemberian nilai yang tidak adil, dan nilai bisa dibeli merupakan masalah besar yang tidak pernah ditangani dunia pendidikan di Indonesia. Mahasiswa marjinal ini akhirnya kalah menyaksikan gaya pamer ala perguruan tingi lainnya, di mana mobil mewah berseliweran, gaya konsumtif lewat HP terbaru dan laptop tercanggih, sementara yang marjinal masuk ke PT murahan yang hanya datang dengan motor kreditan atau numpang kendaraan umum. Bahkan mendapat identitas kasar dan tidak tahu tata krama. Disinilah identitas keompok terbentuk dan untuk membuktikan eksistensinya, mereka mulai menunjukkan identitas yang menyedihkan lewat tindakan destruktif. Dapat disimpulkan bahwa tindakan diskriminasi menghasilkan pride yang destruktif yaitu tawuran yang anarkis.

Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan

Perlu penegasan sekali lagi bahwa lembaga pendidikanlah yang bertanggung jawab akan hal ini. Ada beberapa solusi yang penulis ajukan. Pertama, pentingnya pendekatan mentorship (mementor) dan fellowship (persekutuan). Dosen perlu turun bergaul dalam acara-acara non-formal di luar kelas. Setiap minggu dosen seharusnya diwajibkan pergi ke kantin mahasiswa dan berbaur di sana. Sudah menjadi rahasia umum dosen senior, profesor tidak lagi mengajar di kampus, dan hanya serahkan kepada asisten dosen. Mereka sibuk cari obyekan di luar. Dan kalaupun ada di kampus, tak tersentuh karena ada di ruang kantor yang ber-AC. Pengalaman penulis studi S3 di Amerika, di mana setiap Senin dan Kamis, dosen-dosen postgraduate ikut makan di kantin dan berbaur dengan mahasiswa. Dan itu membuat mahasiswa merasa bangga berada dan bisa berdialog dengan dosen-dosen yang punya reputasi internasional. Bila waktu tawuran mahasiswa, baru dosen dan petinggi lembaga pendidikan baru turun tangan, jangan-jangan itu dijadikan budaya mendatangkan dosen agar mau berdialog dengan mereka. Mahasiswa butuh perhatian dan dialog, dan ini adalah tanggung jawab pendidik. Cukup satu jam seminggu saja para dosen keluar dari comfort zone-nya lalu berbaur dengan mereka, maka masalah marjinalisasi mahasiswa dapat diatasi.

Kedua, lembaga pendidikan harus berpihak kepada mahasiswa marjinal, baik dari sosial ekonomi maupun kepada mereka yang merasakan diskriminasi dalam pergaulan. Amat menyedihkan bahwa mahasiswa elit dan marjinal selalu terpisahkan, baik dari sisi fakultas maupun dalam kelompok. Ada kelompok bermobil dengan komunitasnya sendiri dengan acara-acara ekstra mewahnya sehinga menciptakan klub sendiri, namun ada kelompok marjinal dengan kegiatannya sendiri. Antara “we group” and “they group” menjadi kasat mata. Hal seperti ini tidak dapat dibiarkan. Seharusnya semua merasa sebagai “we-group” dan meminimalisasi “they group”. Contoh, kepedulian mahasiswa (compassion) secara sosial seharusnya dihidupkan di dalam internal kampus, bukan hanya urusan keluar menolong yang miskin. Misalnya, ada mahasiswa yang kurang bisa dibantu. Pemberian beasiswa tidaklah harus diberikan dengan syarat IPK tinggi saja, namun kepada yang bersungguh-sungguh walaupun IPK sedang. Ini hanya satu contoh dari sekian banyak contoh.

Sepatutnya pejabat di Sulsel, termasuk pihak keamanan sabar akan tindakan destruktif mahasiswa ini. Hanya membuat statemen di mimbar-mimbar elit hotel berbintang, lalu saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah. Kajian reflektif atas maraknya tawuran di kampus harus dibaca sebagai reaksi mahasiswa marjinal atas sikap elitis, koruptif dan asosial dari penyelenggara pendidikan dan kelompok elit kampus. Mereka hanya memeras uang mahasiswa tanpa memberikan pelayanan yang maksimal (tentu tidak semua). Tindakan yang elitis menyebabkan mahasiswa marjinal secara sosial dan intelektual terkelompok sebagai yang memiliki nasib yang sama (corporate solidarity). Akhirnya tindakan tawuran ini jangan-jangan merupakan eksploitasi kita, entah itu memprovokasinya atau meremehkannya sehingga mengerasnya identitas kelompok (corporate identity). Pertanyaan menantang, masihkah kita peduli kepada mereka itu?

Friday, January 2, 2009

Kajian Dalam Memahami Tawuran Mahasiswa di Makassar

Saya selalu agak sedih ketika teman-teman dari luar Sulsel selalu bilang Sulsel sekarang terkenal saja ya dengan tawurannya! Ironi memang. Itu sebabnya tawuran antar mahasiswa harus menjadi PR serius bagi dunia pendidikan di Sulsel, karena perilaku tawuran seperti ini akan terus berlangsung sepanjang hal ini tidak ditangani secara komprehensif. Sedihnya, respons petinggi pemerintahan, pejabat keamanan, petinggi pendidikan, bahkan beberapa mahasiswa internal sendiri kurang bersimpati bahkan sangat tidak memadai. Para pakar hanya berkomentar atas tawuran ketika tawuran muncul dan tidak ada studi khusus untuk itu. Penyebutan tindakan mereka sebagai tindakan yang memalukan daerah, mahasiswa yang diprovokasi, bodoh dan marjinal menjelaskan kepada kita bahwa tindakan tawuran mahasiswa sepertinya tidak dipahami sebagai masalah sosial budaya yang sudah menjadi kultur bangsa ini.

Kita tahu bahwa tawuran mahasiswa tidak beda dengan tawuran lainnya dalam mayarakat Indonesia. Di Jawa ada tawuran antar desa, antar kelompok, antar banjar di Bali. Ini sekadar contoh dari ribuan contoh yang ada di Indonesia, bahkan di sebagian negara di Timur. Ini sebuah ciri solidaritas kelompok yang membela salah satu anggotanya. Fenomena seperti ini dalam masalah sosiologi budaya disebut sebagai solidaritas kelompok (corporate solidarity). Fenomena seperti ini merupakan lawan dari semangat individualitistik dalam masyarakat Barat. Itu sebabnya banyak orang tidak mengerti mengapa hanya karena masalah sepele satu orang menjadi masalah bersama. Satu pemuda mengganggu gadis dari desa lain, berakhir dengan serangan dari pihak pemuda di mana gadis itu berasal. Hal aneh, namun selalu ada. Ini memang sebuah dilema. Karena solidaritas kelompok bisa menjadi sebuah gerakan positif seperti gotong royong, kerja lainnya secara bersama, namun ia bisa berubah liar menjadi gerakan yang destruktif dan amat menghancurkan citra sebuah peradaban dan bahkan menimbulkan stereotipe. Itu sebabnya ada satu bahasa Indonesia yang sudah masuk dalam entri dan dipakai sebagai bahasa Inggris yaitu Amok. Tindakan seperti ini harus dipahami sebagai bentuk penegasan identitas atau diistilahkan sebagai identitas kelompok (corporate identity). Corak kelompok selalu ditandai dengan keseragaman, karena mereka mengidentikkan diri mereka ke dalam kelompok. Misalnya, kelompok elit di masyarakat ditandai dengan atribut dan asesoris konsumtif yang berbeda dengan kelompok marjinal yang beridentitas pinggiran, kasar, dan seringkali dianggap tidak tahu tata krama. Itu sebabnya dalam kelompok sosial selalu ada disebut “we group” dan lainnya “out-group” atau “they group” (Paul Hiebert, Cultural Anthropology, Grand Rapids, Mich.: Baker, 1983, hal. 183-184). Pengelompokan ini selalu ditandai dengan kebanggan kelompok (pride) dan meminggirkan kelompok lain (discrimination).

Dengan memahami corak ini, maka seharusnya tawuran ini bukan hal yang mengagetkan dan bukan suatu fenomena yang aneh. Mungkin orang tidak mengerti karena menganggap mahasiswa sebagai komunitas intelektual yang tidak seharusnya melakukan tawuran. Namun, bila kita memahami prinsip solidaritas kelompok dan identitas kelompok ini di komunitas intelektual, maka ini menunjukkan bahwa ada masalah budaya pada komunitas pendidikan kita di Sulsel. Itu sebabnya masalah tawuran ini sejatinya bisa diselesaikan secara komprehensif dan bukan tindakan reaktif dan parsial, apalagi memakai tindakan kecaman. Pendekatan keamanan oleh polisi sudah sangat tepat. Namun lembaga pendidikanlah yang seharusnya bertanggung jawab atas mahasiswa. Jangan hanya menerima mereka dan uang mereka sebagai mahasiswa namun malu mengakui tindakan mereka yang negatif. Di mana tanggung jawab pendidikan sebuah institusi yang terakreditasi di mana unsur di luar mengajar seperti academic atmosphere antara dosen dan mahasiswa harus tercipta justru lebih banyak di luar kelas?

Tawuran karena Miskin?

Dalam memahami tindakan anakisme mahasiswa, pernah seorang penulis dalam suatu tulisan di Tribun Timur “Anarkisme Mahasiswa Makassar” (oleh Irwan di Tribun Timur, 29 Nov. 2008, hal 2) menyimpulkan tentang tawuran sebagai berikut: “Ada dua ciri utama dari mahasiswa Makassar yang sering terlibat dalam aksi anarkis selama ini. Mereka umumnya berasal dari komunitas marjinal. Baik aspek latar belakang ekonomi keluarga, asal institusi, maupun interaksi antara mahasiswa dan pihak birokrasi di kampus mereka.” Ditambahkannya lagi, “Aksi anarkis jarang dilakukan oleh mahasiswa dari perguruan tinggi elite atau mahasiswa yang memiliki prestasi akademik dan perguruan tingi yang memiliki suasana kampus yang mendukung.” Tulisan ini menggelitik penulis, karena kesimpulan yang dibuat baru merupakan pengamatan kasat mata yang dangkal. Seharusnya ada riset yang mendalam untuk itu di Sulsel. Riset literatur sampai saat ini menyatakan bahwa kemiskinan bukan sumber kekerasan, tetapi sumber eksploitasi dari orang kaya sehingga terjadi kekerasan. Pelaku itu dicap sebagai orang marjinal dan miskin sehingga merekalah dalang kekerasan, padahal bukan. Pada konteks mahasiswa yang dianggap marjinal ini justru telah menjadi korban atas kesewang-wenangan lembaga pendidikan yang tidak peduli kepada mereka (syukur itu juga dimasukkan oleh Irwan, yang mana saya setuju). Percakapan di kalangan mahasiswa tentang mengajar tidak becus, fasilitas seperti laboratorium tidak ada, memeriksa tugas tidak benar, pemberian nilai yang tidak adil, dan nilai bisa dibeli merupakan masalah besar yang tidak pernah ditangani dunia pendidikan di Indonesia. Mahasiswa marjinal ini akhirnya kalah menyaksikan gaya pamer ala perguruan tingi lainnya, di mana mobil mewah berseliweran, gaya konsumtif lewat HP terbaru dan laptop tercanggih, sementara yang marjinal masuk ke PT murahan yang hanya datang dengan motor kreditan atau numpang kendaraan umum. Bahkan mendapat identitas kasar dan tidak tahu tata krama. Disinilah identitas keompok terbentuk dan untuk membuktikan eksistensinya, mereka mulai menunjukkan identitas yang menyedihkan lewat tindakan destruktif. Dapat disimpulkan bahwa tindakan diskriminasi menghasilkan pride yang destruktif yaitu tawuran yang anarkis.

Tanggung Jawab Lembaga Pendidikan

Perlu penegasan sekali lagi bahwa lembaga pendidikanlah yang bertanggung jawab akan hal ini. Ada beberapa solusi yang penulis ajukan. Pertama, pentingnya pendekatan mentorship (mementor) dan fellowship (persekutuan). Dosen perlu turun bergaul dalam acara-acara non-formal di luar kelas. Setiap minggu dosen seharusnya diwajibkan pergi ke kantin mahasiswa dan berbaur di sana. Sudah menjadi rahasia umum dosen senior, profesor tidak lagi mengajar di kampus, dan hanya serahkan kepada asisten dosen. Mereka sibuk cari obyekan di luar. Dan kalaupun ada di kampus, tak tersentuh karena ada di ruang kantor yang ber-AC. Pengalaman penulis studi S3 di Amerika, di mana setiap Senin dan Kamis, dosen-dosen postgraduate ikut makan di kantin dan berbaur dengan mahasiswa. Dan itu membuat mahasiswa merasa bangga berada dan bisa berdialog dengan dosen-dosen yang punya reputasi internasional. Bila waktu tawuran mahasiswa, baru dosen dan petinggi lembaga pendidikan baru turun tangan, jangan-jangan itu dijadikan budaya mendatangkan dosen agar mau berdialog dengan mereka. Mahasiswa butuh perhatian dan dialog, dan ini adalah tanggung jawab pendidik. Cukup satu jam seminggu saja para dosen keluar dari comfort zone-nya lalu berbaur dengan mereka, maka masalah marjinalisasi mahasiswa dapat diatasi.

Kedua, lembaga pendidikan harus berpihak kepada mahasiswa marjinal, baik dari sosial ekonomi maupun kepada mereka yang merasakan diskriminasi dalam pergaulan. Amat menyedihkan bahwa mahasiswa elit dan marjinal selalu terpisahkan, baik dari sisi fakultas maupun dalam kelompok. Ada kelompok bermobil dengan komunitasnya sendiri dengan acara-acara ekstra mewahnya sehinga menciptakan klub sendiri, namun ada kelompok marjinal dengan kegiatannya sendiri. Antara “we group” and “they group” menjadi kasat mata. Hal seperti ini tidak dapat dibiarkan. Seharusnya semua merasa sebagai “we-group” dan meminimalisasi “they group”. Contoh, kepedulian mahasiswa (compassion) secara sosial seharusnya dihidupkan di dalam internal kampus, bukan hanya urusan keluar menolong yang miskin. Misalnya, ada mahasiswa yang kurang bisa dibantu. Pemberian beasiswa tidaklah harus diberikan dengan syarat IPK tinggi saja, namun kepada yang bersungguh-sungguh walaupun IPK sedang. Ini hanya satu contoh dari sekian banyak contoh.

Sepatutnya pejabat di Sulsel, termasuk pihak keamanan sabar akan tindakan destruktif mahasiswa ini. Hanya membuat statemen di mimbar-mimbar elit hotel berbintang, lalu saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah. Kajian reflektif atas maraknya tawuran di kampus harus dibaca sebagai reaksi mahasiswa marjinal atas sikap elitis, koruptif dan asosial dari penyelenggara pendidikan dan kelompok elit kampus. Mereka hanya memeras uang mahasiswa tanpa memberikan pelayanan yang maksimal (tentu tidak semua). Tindakan yang elitis menyebabkan mahasiswa marjinal secara sosial dan intelektual terkelompok sebagai yang memiliki nasib yang sama (corporate solidarity). Akhirnya tindakan tawuran ini jangan-jangan merupakan eksploitasi kita, entah itu memprovokasinya atau meremehkannya sehingga mengerasnya identitas kelompok (corporate identity). Pertanyaan menantang, masihkah kita peduli kepada mereka itu?