Wednesday, October 1, 2008

MEMBINA HUBUNGAN HARMONIS MENANTU DAN MERTUA

Oleh Daniel Ronda

Artikel ini sudah dimuat di Majalah Kalam Hidup, Oktober 2008


“Pak Pendeta, tolong doakan mertua saya yang selalu ikut campur dalam urusan keluarga kami. Yang sedihnya suami tidak bela saya, bahkan cenderung mendiamkannya. Saya jadi marah dan tidak tahu mau buat apa!” Begitu keluhan seorang ibu muda soal rumah tangganya yang bermasalah karena campur tangan mertua, namun tidak tahu bagaimana mengatasinya.
Ini adalah satu masalah dalam keluarga-keluarga di Indonesia yang pada umumnya terjadi yaitu masalah antara menantu dan mertua. Menariknya, kebanyakan yang bermasalah adalah antara mertua perempuan dan menantu perempuan, walaupun ada juga mertua perempuan atau laki-laki dengan menantu perempuan dan laki-laki. Tidak ada data berapa banyak konflik ini, namun karena faktor kedekatan dan tinggal bersama antara mertua dan menantu sehingga konflik ini sering terjadi. Pengalaman penulis soal konflik ini cukup banyak, namun penyelesaiannya membutuhkan waktu, pengertian kedua belah pihak dan memiliki banyak kasih dan pengampunan. Umumnya masalah ini didiamkan dan baru diupayakan untuk diselesaikan jika sudah menjadi besar. Banyak menantu (suami atau istri) menjadi bingung, ke mana dia harus berpihak? Bila dia berpihak kepada pasangannya, maka dia dianggap tidak menghargai orang tuanya. Namun bila dia berpihak kepada orang tuanya, maka pasangan merasa bahwa dia tidak dicintai dan dihargai lagi.

Sebelum berbicara solusi, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah mengapa hal itu terjadi? Ada beberapa faktor penyebab rusaknya hubungan menantu dan mertua:

Pertama, adanya faktor budaya di mana orang tua merasa tetap bertanggung jawab walaupun anak mereka telah menikah. Orang tua khawatir anaknya tidak bisa mandiri, sehingga dia merasa perlu campur tangan. Pada sisi lain, anak dan menantu merasa sudah harus mandiri namun masih membuka celah untuk diintervensi, seperti masih bertanya dalam pengambilan keputusan penting..

Kedua, pada sisi lain adanya faktor ketidakmandirian di dalam diri anak setelah menikah. Misalnya, pasangan yang sudah menikah masih tinggal di rumah orang tua, masih bergantung secara finansial. Bila ada ketergantungan ini, maka tidak heran orang tua terlibat dan campur tangan dalam masalah keluarga. Faktor ketidakmandirian ini bisa juga karena belum mampu menjaga anak bayi, ketika suami istri harus bekerja. Apalagi kemudian ini bisa menghemat secara finansial. Namun ketidakmandirian ini beresiko bahwa orang tua atau mertua akan campur tangan dalam pendidikan cucunya. Si ayah atau ibu mendisiplin anaknya akan terbentur dengan mertua atau orang tua yang melindungi cucunya. Bukan tidak mungkin si cucu akan memanfaatkan situasi ini untuk kepentingannya.

Ketiga, belum mampunya seseorang memiliki kemampuan membangun relasi antar pribadi, termasuk dengan keluarga sendiri. Ada masalah psikologis di mana seseorang mudah tersinggung, cara berpikir negatif, tidak mampu berhubungan dengan sesama. Ini lebih kepada masalah pribadi orang tersebut di mana sikap negatif akan membawa kepada perselisihan, bukan hanya kepada keluarga sendiri tetapi juga kepada orang lain.

Keempat, adanya masalah soal kepemilikan, di mana suami pada satu sisi menghadapi dilema antara kasih terhadap orang tua dan pasangan. Pasangan mengharapkan bahwa dirinya adalah nomor satu, sedangkan dari pihak orang tua atau mertua menganggap anaknya adalah tetap “anak”. Orang tua yang membesarkan merasa memiliki hak atas anaknya, sedangkan menantu merasa memiliki hak atas dasar status pernikahan. Masalah kepemilikan (ownership) ini telah menjadi duri dalam hubungan menantu dan mertua.

Pertanyaan mendasar adalah bila terjadi konflik antara mertua dan menantu, bagaimana seharusnya pasangan bertindak? Di pihak mana pasangan kita berdiri? Apakah dengan orang tua atau pasangan? Jawabannya harus jelas bahwa pasangan harus berdiri di samping pasangannya. Loyalitas sudah harus berpindah dari orang tua ke pasangan. Artinya suami harus berpihak kepada istrinya lebih kepada orang tuanya. Alasannya adalah bahwa kedua pasangan yang sudah menikah sudah menjadi satu daging (Kej 2:24-25) dan dia sudah harus meninggalkan orang tuanya. Itu berarti prioritas ada pada pasangan dan bukan kepada orang tua. Ini tidak berarti kita tidak menghormati orang tua. Justru kita harus taat kepada Firman Tuhan daripada kepada manusia. Pasangan sudah menjadi satu dan bukan lagi dua. Bila salah satu dicubit, harusnya kita berdua merasakan sakitnya, bukan hanya seorang yang sakit (lihat Efesus 5: 28-29). Ia tidak akan membiarkan pasangannya disakiti, karena itu hakikat dari pernikahan Kristen.

Selanjutnya ada hal praktis lain yang harus dikembangkan pasangan agar hubungan menantu dengan mertua menjadi harmonis:

Pertama, pasangan mulai belajar untuk tidak bergantung kepada orang tuanya. Bila terpaksa bergantung, maka kita mulai kurangi ketergantungan. Pasangan harus belajar mengambil keputusan sendiri dengan pasangannya. Menanyakan keputusan kepada orang tua hanya sebagai pertimbangan berikutnya. Yang paling penting adalah di antara pasangan yang utama, di mana pasangan saling mendukung satu kepada yang lain. Penting bagi pasangan menjaga “jarak” dengan orang tua atau mertuanya. Jarak di sini bisa secara tempat atau lokasi (usahakan tidak bersama-sama akalau memungkinkan) atau jarak secara psikologis, di mana kita mulai tidak bergantung dalam hal-hal pengambilan keputusan. Misalnya, jangan sampai urusan makan, pakaian, memebesarkan anak dan hal-hal kecil masih selalu bertanya kepada orang tua.

Kedua, pasangan harus menyadari bahwa orang tua sudah banyak berkorban, kita harus menghargai pengorbanan mereka. Misalnya, kita mengingat ulang tahunnnya, atau ada hari-hari khusus yang perlu perhatian dari anak/mantu mereka. Prinsipnya selalu ada kontak di mana selalu diupayakan selalu menghargai orang tua. Begitu pula pasangan harus seimbang dalam memberi perhatian di mana menghargai keluarga besar pasangan masing-masing. Bila harus tinggal bersama dengan orang tua atau mertua yang sudah pensiun, tetap berikan penghormatan dan memperhatikan orang tua. Izinkan dia memiliki kesibukan-kesibukan yang berarti seperti merawat bunga, memasak, atau apa saja yang menjadi minatnya.

Ketiga, selesaikan konflik sekecil apapun. Bila menantu dengan mertua yang bertengkar, maka pasangan harus ada di pihak yang sama, tanpa harus menghilangkan hormat kepada orang tua. Kita perlu belajar untuk mengetahui apa yang menjadi sumber penyebabnya, lalu belajar mengampuni satu kepada yang lain. Bila kita mampu berempati kepada orang lain, maka empati itu juga harus bisa diterapkan kepada orang tua dan mertua. Banyak masalah terjadi ketika kita bisa mengampuni orang lain, namun sulit mengampuni keluarga sendiri. Ini tidak dibenarkan oleh Firman Tuhan.

Keempat, daripada bergantung senantiasa kepada orang tua atau mertua, justru harus ada komitmen untuk membantu mereka. Bantulah ortu kita punya kebutuhan seperti bantuan finansial, pengobatan, dan yang lainnya. Tentu perhatian dan kepedulian adalah hal yang paling penting. Misalnya, ajak mereka secara rutin ikut rekreasi.
Kelima, pasangan jangan percaya gosip dari pihak lain dan jangan mudah cerita masalah kita kepada sembarangan orang. Pengalaman penulis adalah kebanyakan masalah keluarga termasuk antara mertua dan menantu adalah adanya laporan cerita-cerita yang disertai bumbu dari orang lain, misalnya ipar, atau keluarga lain atau juga tetangga. Mungkin kita lagi jengkel, sehingga kita ceritakan masalah kita kepada orang lain. Ini sangat berbahaya, karena ketika dilaporkan atau diceritakan kembali sudah berisi tambahan yang bisa memperuncing konflik. Itu sebabnya setiap pasangan agar tidak mudah percaya kepada cerita-cerita pihak ketiga tentang masalah internal keluarga. Dan tentunya juga tidak mudah menceritakan masalah sendiri kepada orang yang tidak bertanggung jawab. Bila terasa beban yang sangat berat, maka baik diceritakan kepada hamba Tuhan di tempat kita yang kita yakin akan memegang rahasia dan mendoakan kita.

No comments:

Post a Comment