Wednesday, October 1, 2008

MEMBANGUN KARAKTER GURU YANG DICINTAI ANAK-ANAK

Oleh Daniel Ronda

(Tulisan ini disampaikan pada Regional Counseling Workshop 8-10 Mei 2008 di Makassar kerjasama STT Jaffray dan LK3 Jakarta)

Pendahuluan

Tantangan pendidikan saat ini semakin kompleks. Pertanyaannya, siapkah orang tua (yang adalah pendidik di rumah) dan guru menghadapi tantangan ini? Hal lain adalah guru selalu bertanya apakah saya menjadi guru yang baik? Apa itu guru yang baik? Bagaimana menjadi guru yang baik? Guru bukanlah pekerjaan, tetapi profesi. Hal ini juga telah didukung undang-undang negeri kita. Karena profesi ini mulia, maka adalah kewajiban kita semua untuk mengembangkan secara maksimal potensi kita.

Dalam tulisan ini, saya mencoba banyak menggali dari hasil penelitian sehingga ini bukan sesuatu yang tidak mengena dan juga pengalaman penulis selama 14 tahun sebagai seorang pendidik di sekolah teologi.

Pandangan Para Pakar Pendidikan Tentang Mengajar yang Baik

Hasil penelitian dari Edward Sheffield tentang karakteristik dari guru yang efektif yang sering disebut atau Characteristics of Effective Teachers Most Often Mentioned (Edward Sheffield, Teaching in the Universities-- No One Way, 1974):

1. Menguasai bahan yang diajar dan memiliki kompetensi.

2. Pengajaran dipersiapkan dengan baik dan memiliki organisasi pengajaran secara teratur.

3. Pelajaran harus dihubungkan dengan hal praktis dalam kehidupan sehari-hari.

4. Mendorong murid bertanya dan memberikan opini.

5. Antusias tentang subyek yang diajar.

6. Dapat didekati murid (approachable), bersahabat, terbuka (available).

7. Peduli kepada kemajuan siswa.

8. Memiliki sifat humoris

9. Hangat, baik, simpati.

10. Menggunakan alat-alat atau media secara efektif.

Selanjutnya ada penelitian tentang guru yang hebat atau Characteristics of Great Teachers (Lea Ebro, Instructional Behavior Patterns of Distinguished University Teachers, 1977):

  1. Tidak menyimpang dari topik yang diajarkan.
  2. Tempo berbicara dalam mengajar itu tepat.
  3. Guru memakai berbagai variasi dalam strategi instruksional.
  4. Tetap pada subyek dan mengembangkannya berdasarkan subyek.
  5. Guru memakai humor.
  6. Guru bisa “memerintah” kelas, sehingga mereka tertib namun tidak dalam suasana takut dan tertekan.
  7. Guru berinteraksi dengan siswa.
  8. Guru memberikan tanggapan atas pertanyaan atau jawaban murid.
  9. Memberikan respons perbaikan-perbaikan.
  10. Menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang analitis dan penggalian.
  11. Memuji jawaban yang benar dengan dasar observasi atas jawaban yang benar yaitu memberi penjelasan mengapa jawabannya benar.
  12. Membuat suasana kelas yang hangat.
  13. Siswa secara bebas dapat menginterupsi setiap saat dengan pertanyaan.
  14. Memiliki rasa humor.
  15. Memiliki kemampuan komunikasi non-verbal.

a. Menggunakan gerak tubuh seringkali.

b. Berjalan waktu berbicara.

c. Ada kontak mata secara intensif.

Hasil Penelitian tentang mengajar yang baik dari Ron Smith, Concordia University, Teaching and Learning, Vol. 7, No. 1, Sept. 1980:

  1. Mengajar yang baik memiliki tes awal tentang kemampuannya.
  2. Mengajar yang baik ada “feedback” untuk guru:

a. Tes non-nilai, kuis

b. Diskusi dengan siswa

c. Kuesioner

d. Sadar akan respons yang bersifat non-verbal:

1) Kehadiran yang menurun atau kebosanan.

2) Tidur di kelas.

3) Apakah siswa membaca surat kabar?

  1. Mengajar yang baik disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan yang ada pada individu siswa.
  2. Good teaching provides (specific) feedback to the students.
  3. Mengajar yang baik itu fleksibel.
  4. Mengajar yang baik menggunakan pembelajaran siswa aktif.
  5. Mengajar yang baik memotivasi siswa. .
  6. Pengajaran yang baik itu jelas dan ditata dengan baik.

Ada juga proyek penelitian untuk melihat guru yang baik di kelas dalam “Characteristics of Effective Large-Class Instructors” (Karron Lewis, et al., from The Large Class Analysis Project conducted by CTE):

Penelitian ini mengkombinasikan pendapat dari siswa dan guru dalam penelitian tentang bagaimana mengajar dalam kelas besar secara efektif:

  1. Sangat antusias dengan subyek yang diajar.
  2. Menguasai subyek dan memiliki kemampuan mengkomunikasikan pengetahuan yang diajar.
  3. Peduli kepada kemajuan dan kesuksesan murid.
  4. Berani mendisiplin siswa untuk ketertiban kelas seperti keributan.
  5. Memiliki rasa humor.
  6. Menggunakan berbagai strategi instruksional.
  7. Berinteraksi dengan siswa selama di kelas, termasuk sebelum dan sesudah kelas.
  8. Memiliki rasa percaya diri atas pengajaran yang disampaikannya.

Inti Guru yang Baik

Menjadi guru adalah sebuah seni, sehingga menjadi guru yang baik itu melibatkan panggilan, kemampuan intelektual dan penguasaan materi, karakter, talenta dan kemampuan berkomunikasi. Dari semua itu yang terpenting dari semua adalah karakter. Ini didukung dengan hasil penelitian di atas tentang guru yang baik.

Hal ini juga ditekankan oleh William White. Ia berkata: “The personality of the teacher is the most important factor in a successful teacher. Teachers don’t need to be extremely bright and highly informed individuals, but they need to be critically thinkers about learning. They need to be caring and concerned as opposed to aloof and book centered, they need to be business-like and orderly as opposed ti being slipshod and careless; and they need to be enthusiastic, surgent, and full of hope as opposed to being dull and boring” (William White, “The Search for the TruthAbout Good Teaching”, hal. 73, 2001).

Guru Efektif adalah Konselor yang Baik:

Fakta yang menarik adalah bahwa guru yang baik ternyata harus menjadi konselor yang baik bagi murid-muridnya. Itu sebabnya seorang guru harus belajar mendalami konseling agar dia sukses. Dalam tulisan “Good Teaching” oleh Theodore R. Sizer, mantan Pembantu Rektor bidang Akademik di Harvard University College of Education mengatakan bahwa guru hendaknya menjadi guru profesional yaitu mengetahui hal-hal sederhana soal konseling, termasuk dalam hal-hal yang kecil sehingga murid bertumbuh. Ada beberapa poin yang dia sampaikan:

  1. Mengenal nama dari siswa dan panggil siswa dengan namanya.
  2. Memberikan salam kepada siswa dan rekan kerja dengan hangat dan ramah.
  3. Pergi menghadiri acara-acara siswa di luar kelas, misalnya ibadah, pertandingan, dan lain sebagainya.
  4. Mengingat sesuatu yang pernah digumuli oleh siswa sebelumnya. Contohnya: apakah mamamu sudah keluar rumah sakit?
  5. Hindari bersifat sarkastik dalam memberikan komentar atas kebodohan atau kenakalan yang dilakukan seorang siswa. Ini akan melukai hati siswa.
  6. Jangan pernah toleransi dengan masalah SARA, termasuk lelucon-lelucon masalah SARA.
  7. Ingat pepatah yang diberikan orang tua kita: jika kita tidak bisa menyampaikan atau melihat sesuatu yang baik tentang seseorang, jangan katakan apapun.
  8. Katakan suatu kebenaran atau teguran secara pribadi. Contohnya: Ayu, saya sebenarnya curiga kamu menyontek..., Amir, kamu kurang belajar dan malas sepertinya... Hasan, kamu kok bau ya, apakah kamu tidak mandi pagi? Besok mandi ya... Mei, kamu suka mengganggu...)
  9. Selalu mendorong bahwa kemampuan siswa lebih dari yang merasa dimiliki siswa.
  10. Jadilah guru yang positif, namun hati-hati bila selalu memuji pekerjaan baiknya. Tidak ada seorang pun belajar lebih cepat ketika dia merasa bahwa dia merasa berhasil.
  11. Pertunjukkan persahabatan dan jadilah jujur dan obyektif dalam penilaian terhadap murid-murid yang kita juluki “nakal” atau mengganggu.
  12. Menjadi teman siswa, namun jaga jarak juga.
  13. Jangan pernah menyerah dengan siswa kita, dan jangan menjuluki mereka secara permanen, misalnya: si bodoh, si cerewet, si pemalu, dsb.
  14. Setiap kali memberikan pedoman dan aturan, sampaikan alasannya dan jangan tidak disampaikan apa yang dimaksud.
  15. Tahu membedakan mana siswa yang hanya mendengar dan yang memperhatikan sehingga bisa menyerap. Caranya adalah mendengarkan mereka yaitu memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertanya.

Ada hal-hal teknis sebagai seorang guru yang harus diperhatikan sehingga dia dapat disebut guru yang berintegritas, yaitu seorang yang “walk the talk”:

1. Jangan lambat masuk kelas.

  1. Kembalikan tugas-tugas murid tepat pada waktunya dengan komentar yang menguatkan. returning papers to students within twenty-four hours
  2. Penting anak diingatkan untuk mengerjakan tugas dengan jujur. Ini karena banyak orang tua campur tangan mengerjakan tugas-tugas rumah.
  3. Anak diajar untuk menghargai formalitas kelas, tanpa harus formal dan kaku dalam mengembangkan pikiran-pikiran.

Akhirnya: Pendapat Anak Tentang Guru yang Baik:

Di akhir tulisan ini saya mencoba mengambil pandangan anak tentang guru yang baik. Ini adalah kutipan dari UNICEF tentang apa pendapat anak tentang guru yang baik. Kutipan ini sengaja saya ambil untuk kita dapat pelajari tentang apa kata anak sendiri tentang gurunya. Dan ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mewujudkan guru yang berkualitas dan dicintai anak-anaknya (seluruh bagian di bawah ini adalah kutipan):

Program Pendidikan dan Pengembangan Anak (MOE-UNICEF 2001-2005 China) mempromosikan lingkungan ramah anak untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memastikan semua anak usia sekolah dapat tumbuh dan belajar di lingkungan yang aman, ramah dan tidak diskriminatif. Guru adalah faktor kunci bagi pewujudan sekolah ramah anak (SRA) dengan cara membantu meningkatkan minat anak-anak dalam pembelajaran, partisipasi dan pengungkapan pendapat.

“Ibu guru Gao seperti ibu bagiku. Dia mendengar semua masalah dan keluh kesah kami serta membantu kami menyelesaikan masalah” Zhang Qi, siswa kelas 4

Akademi Ilmu Sains Beijing mengundang anak-anak China untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang guru ideal. 4.000 lebih anak-anak dari seluruh China telah memberi tanggapan. Lewat kata-kata dan gambar, pesan anak-anak dengan jelas menggemakan semangat Konvensi PBB tentang Hak Anak. Mungkin inilah waktunya bagi orang dewasa untuk mulai mendengar anak-anak, mendengar apa kata mereka mengenai hal-hal yang mempengaruhi mereka.

“Guru Shan selalu melucu dalam kelas menulis kami dan membuat kami sangat tertarik dalam pelajaran itu. Tanpa saya sadari, saya jadi sangat suka menulis dan secara bertahap, saya mempelajari beberapa trik untuk menulis dengan baik.”
Shi Yujing, Kelas 5

Anak-anak di Cina, melalui tulisan dan gambar mereka, mengungkapkan bahwa mereka ingin para guru menghormati harga diri siswa, sensitif terhadap kondisi emosi mereka, memberi kebebasan mengekspresikan diri dan bersikap adil pada semua anak apapun latar belakang, gender, kemampuan, dan ciri-ciri individual lainnya. Sebagian besar anak memimpikan guru-guru yang penyayang dan perhatian!

Definisi guru yang baik selalu diuji para pendidik, administrasi pendidikan, dan para guru sendiri. Pemerintah, pakar dan orang-orang yang berkompeten serta masyarakat dan media memiliki haparapan-harapan mereka masing-masing. Akan tetapi, belum banyak orang tanya kepada anak-anak sebagai penerima layanan pendidikan apa pendapat mereka mengenai hal ini. Pada kenyataannya, anak-anak merupakan alasan munculnya profesi guru dan melalui mereka pulalah profesi ini mendapat nilai yang berharga. Buku yang berisi pendapat anak dalam cerita-cerita dan gambar-gambar dapat berguna bagi guru dan pelatih guru sebagai katalis refleksi diri. Buku tersebut juga dapat digunakan dalam kelompok-kelompok belajar untuk memotivasi dan membantu para guru bersama-sama merefleksikan diri dan mencari cara mencapai standar yang diinginkan anak-anak pada mereka. Sangat penting bahwa ungkapan jujur anak-anak menginspirasi dan memotivasi para guru untuk mengembangkan tingkat tanggapan guru pada kebutuhan siswa.

“Dia memperlakukan tiap siswa dengan setara. Dalam kebaikan hatinya, dia tidak pernah memihak. Sebagai murid, ini adalah hal yang paling berharga tentang guru… Dalam kelas guru Chen, kami merasa santai dan hidup (bersemangat). Dia selalu “tanpa sengaja” mengajukan pertanyaan atau membuat kesalahan agar kami dapat membetulkannya. Jika kami mengatakan sesuatu yang salah, tidak menyalahkan kami. Dia bahkan akan berkata sambil tersenyum: “Kesalahan Bagus! Kesalahan membantu kami menemukan masalah-masalah". Tidak seberapa lama kemudian, bahkan siswa yang paling pemalu mau mengangkat tangan dan menjawab pertanyaannya.” Tang Yiyi, kelas 4

Di Pakistan, sebuah ulasan mengenai “apa yang membuat seorang guru dinilai baik” juga dilakukan dengan bantuan Save the Children-UK (2001). Tidak hanya murid, tapi juga orangtua dan para guru juga ditanyai pendapat mereka tentang seorang guru yang baik. Ulasan itu menunjukkan bahwa guru yang baik merupakan hasil kombinasi sejumlah faktor, termasuk pendidikan dan pelatihan, kompetensi dan pengawasan serta dukungan kepala sekolah dan guru.

“Guru kami tahu nama tiap anak”
Anak laki-laki dari Peshawar

“Dia menjelaskan pelajaran di papan tulis. Jika seseorang tidak paham, dia akan mendudukan anak itu disebelahnya dan menjelaskan lagi pelajaran itu.”
Anak perempuan dari Kasur

“Dia menghormati anak-anak, dia selalu memanggil mereka ‘aap’” (‘aap’ ~ bentuk sopan ‘kamu’)
Anak perempuan dari Lahore

“Guru kami selalu memperhatikan tiap anak ketika mengajar.”
Anak laki-laki dari Haripur

Guru yang mampu menangani hukuman dan manajemen kelas dalam cara yang positif sering disebut sebagai karakteristik guru yang baik. Manajemen kelas mengacu pada perilaku guru yang memfasilitasi belajar-mengajar. Manajemen kelas ini sangat penting terutama dalam penanganan kelas besar, pengajaran lebih dari 1 kelas secara simultan, berhubungan dengan anak-anak yang pandai, nakal, pemalu dan lemah. ‘Bagaimana guru yang baik itu’ menggunakan wawancara, diskusi kelompok, bermain peran dan gambar dalam mengumpulkan pendapat anak-anak tentang guru.

“Saya mengajar mata pelajaran yang berbeda-beda dengan cara yang berbeda-beda pula. Misalnya, saya mengajar bahasa Urdu seperti cerita. Pertama-tama, saya membaca lalu anak-anak memerankan pelajaran. Saya memberi tiap anak kesempatan membaca tiap hari, dan puisi-puisi dilagukan.”
Guru wanita Peshawar

Ulasan tersebut menunjukkan dengan jelas beberapa karakteristik guru yang baik. Guru yang baik pada dasarnya adalah manusia yang baik. Mereka memiliki kepribadian penyayang, baik, hangat, sabar, tegas, luwes dalam perilaku, bekerja keras, serta berkomitmen pada pekerjaan mereka. Pusat perhatian mereka bukanlah pada buku teks atau kurikulum, tetapi pada anak! Mereka sangat menyadari beragamnya cara anak-anak belajar, perbedaan antar anak-anak dan pentingnya metode beragam untuk mendorong siswa mampu belajar. Anak-anak yang belajar dengan guru semacam itu tidak perlu lagi mengeluarkan uang tambahan untuk mengikuti les sepulang sekolah.

Diambil dari “Anak-anak menentukan kualitas yang menjadikan seorang guru baik” (UNICEF, Cina, 2004) dan “Apa yang menjadikan seorang guru baik” (Save the Children UK, Pakistan, 2001).

Makassar, awal Mei 2008

MEMBINA HUBUNGAN HARMONIS MENANTU DAN MERTUA

Oleh Daniel Ronda

Artikel ini sudah dimuat di Majalah Kalam Hidup, Oktober 2008


“Pak Pendeta, tolong doakan mertua saya yang selalu ikut campur dalam urusan keluarga kami. Yang sedihnya suami tidak bela saya, bahkan cenderung mendiamkannya. Saya jadi marah dan tidak tahu mau buat apa!” Begitu keluhan seorang ibu muda soal rumah tangganya yang bermasalah karena campur tangan mertua, namun tidak tahu bagaimana mengatasinya.
Ini adalah satu masalah dalam keluarga-keluarga di Indonesia yang pada umumnya terjadi yaitu masalah antara menantu dan mertua. Menariknya, kebanyakan yang bermasalah adalah antara mertua perempuan dan menantu perempuan, walaupun ada juga mertua perempuan atau laki-laki dengan menantu perempuan dan laki-laki. Tidak ada data berapa banyak konflik ini, namun karena faktor kedekatan dan tinggal bersama antara mertua dan menantu sehingga konflik ini sering terjadi. Pengalaman penulis soal konflik ini cukup banyak, namun penyelesaiannya membutuhkan waktu, pengertian kedua belah pihak dan memiliki banyak kasih dan pengampunan. Umumnya masalah ini didiamkan dan baru diupayakan untuk diselesaikan jika sudah menjadi besar. Banyak menantu (suami atau istri) menjadi bingung, ke mana dia harus berpihak? Bila dia berpihak kepada pasangannya, maka dia dianggap tidak menghargai orang tuanya. Namun bila dia berpihak kepada orang tuanya, maka pasangan merasa bahwa dia tidak dicintai dan dihargai lagi.

Sebelum berbicara solusi, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah mengapa hal itu terjadi? Ada beberapa faktor penyebab rusaknya hubungan menantu dan mertua:

Pertama, adanya faktor budaya di mana orang tua merasa tetap bertanggung jawab walaupun anak mereka telah menikah. Orang tua khawatir anaknya tidak bisa mandiri, sehingga dia merasa perlu campur tangan. Pada sisi lain, anak dan menantu merasa sudah harus mandiri namun masih membuka celah untuk diintervensi, seperti masih bertanya dalam pengambilan keputusan penting..

Kedua, pada sisi lain adanya faktor ketidakmandirian di dalam diri anak setelah menikah. Misalnya, pasangan yang sudah menikah masih tinggal di rumah orang tua, masih bergantung secara finansial. Bila ada ketergantungan ini, maka tidak heran orang tua terlibat dan campur tangan dalam masalah keluarga. Faktor ketidakmandirian ini bisa juga karena belum mampu menjaga anak bayi, ketika suami istri harus bekerja. Apalagi kemudian ini bisa menghemat secara finansial. Namun ketidakmandirian ini beresiko bahwa orang tua atau mertua akan campur tangan dalam pendidikan cucunya. Si ayah atau ibu mendisiplin anaknya akan terbentur dengan mertua atau orang tua yang melindungi cucunya. Bukan tidak mungkin si cucu akan memanfaatkan situasi ini untuk kepentingannya.

Ketiga, belum mampunya seseorang memiliki kemampuan membangun relasi antar pribadi, termasuk dengan keluarga sendiri. Ada masalah psikologis di mana seseorang mudah tersinggung, cara berpikir negatif, tidak mampu berhubungan dengan sesama. Ini lebih kepada masalah pribadi orang tersebut di mana sikap negatif akan membawa kepada perselisihan, bukan hanya kepada keluarga sendiri tetapi juga kepada orang lain.

Keempat, adanya masalah soal kepemilikan, di mana suami pada satu sisi menghadapi dilema antara kasih terhadap orang tua dan pasangan. Pasangan mengharapkan bahwa dirinya adalah nomor satu, sedangkan dari pihak orang tua atau mertua menganggap anaknya adalah tetap “anak”. Orang tua yang membesarkan merasa memiliki hak atas anaknya, sedangkan menantu merasa memiliki hak atas dasar status pernikahan. Masalah kepemilikan (ownership) ini telah menjadi duri dalam hubungan menantu dan mertua.

Pertanyaan mendasar adalah bila terjadi konflik antara mertua dan menantu, bagaimana seharusnya pasangan bertindak? Di pihak mana pasangan kita berdiri? Apakah dengan orang tua atau pasangan? Jawabannya harus jelas bahwa pasangan harus berdiri di samping pasangannya. Loyalitas sudah harus berpindah dari orang tua ke pasangan. Artinya suami harus berpihak kepada istrinya lebih kepada orang tuanya. Alasannya adalah bahwa kedua pasangan yang sudah menikah sudah menjadi satu daging (Kej 2:24-25) dan dia sudah harus meninggalkan orang tuanya. Itu berarti prioritas ada pada pasangan dan bukan kepada orang tua. Ini tidak berarti kita tidak menghormati orang tua. Justru kita harus taat kepada Firman Tuhan daripada kepada manusia. Pasangan sudah menjadi satu dan bukan lagi dua. Bila salah satu dicubit, harusnya kita berdua merasakan sakitnya, bukan hanya seorang yang sakit (lihat Efesus 5: 28-29). Ia tidak akan membiarkan pasangannya disakiti, karena itu hakikat dari pernikahan Kristen.

Selanjutnya ada hal praktis lain yang harus dikembangkan pasangan agar hubungan menantu dengan mertua menjadi harmonis:

Pertama, pasangan mulai belajar untuk tidak bergantung kepada orang tuanya. Bila terpaksa bergantung, maka kita mulai kurangi ketergantungan. Pasangan harus belajar mengambil keputusan sendiri dengan pasangannya. Menanyakan keputusan kepada orang tua hanya sebagai pertimbangan berikutnya. Yang paling penting adalah di antara pasangan yang utama, di mana pasangan saling mendukung satu kepada yang lain. Penting bagi pasangan menjaga “jarak” dengan orang tua atau mertuanya. Jarak di sini bisa secara tempat atau lokasi (usahakan tidak bersama-sama akalau memungkinkan) atau jarak secara psikologis, di mana kita mulai tidak bergantung dalam hal-hal pengambilan keputusan. Misalnya, jangan sampai urusan makan, pakaian, memebesarkan anak dan hal-hal kecil masih selalu bertanya kepada orang tua.

Kedua, pasangan harus menyadari bahwa orang tua sudah banyak berkorban, kita harus menghargai pengorbanan mereka. Misalnya, kita mengingat ulang tahunnnya, atau ada hari-hari khusus yang perlu perhatian dari anak/mantu mereka. Prinsipnya selalu ada kontak di mana selalu diupayakan selalu menghargai orang tua. Begitu pula pasangan harus seimbang dalam memberi perhatian di mana menghargai keluarga besar pasangan masing-masing. Bila harus tinggal bersama dengan orang tua atau mertua yang sudah pensiun, tetap berikan penghormatan dan memperhatikan orang tua. Izinkan dia memiliki kesibukan-kesibukan yang berarti seperti merawat bunga, memasak, atau apa saja yang menjadi minatnya.

Ketiga, selesaikan konflik sekecil apapun. Bila menantu dengan mertua yang bertengkar, maka pasangan harus ada di pihak yang sama, tanpa harus menghilangkan hormat kepada orang tua. Kita perlu belajar untuk mengetahui apa yang menjadi sumber penyebabnya, lalu belajar mengampuni satu kepada yang lain. Bila kita mampu berempati kepada orang lain, maka empati itu juga harus bisa diterapkan kepada orang tua dan mertua. Banyak masalah terjadi ketika kita bisa mengampuni orang lain, namun sulit mengampuni keluarga sendiri. Ini tidak dibenarkan oleh Firman Tuhan.

Keempat, daripada bergantung senantiasa kepada orang tua atau mertua, justru harus ada komitmen untuk membantu mereka. Bantulah ortu kita punya kebutuhan seperti bantuan finansial, pengobatan, dan yang lainnya. Tentu perhatian dan kepedulian adalah hal yang paling penting. Misalnya, ajak mereka secara rutin ikut rekreasi.
Kelima, pasangan jangan percaya gosip dari pihak lain dan jangan mudah cerita masalah kita kepada sembarangan orang. Pengalaman penulis adalah kebanyakan masalah keluarga termasuk antara mertua dan menantu adalah adanya laporan cerita-cerita yang disertai bumbu dari orang lain, misalnya ipar, atau keluarga lain atau juga tetangga. Mungkin kita lagi jengkel, sehingga kita ceritakan masalah kita kepada orang lain. Ini sangat berbahaya, karena ketika dilaporkan atau diceritakan kembali sudah berisi tambahan yang bisa memperuncing konflik. Itu sebabnya setiap pasangan agar tidak mudah percaya kepada cerita-cerita pihak ketiga tentang masalah internal keluarga. Dan tentunya juga tidak mudah menceritakan masalah sendiri kepada orang yang tidak bertanggung jawab. Bila terasa beban yang sangat berat, maka baik diceritakan kepada hamba Tuhan di tempat kita yang kita yakin akan memegang rahasia dan mendoakan kita.