Pengkotbah, pertama tama haruslah cinta akan Alkitab. Tanpa itu dia tidak bisa menjadi pengkotbah yang efektif dan diurapi. Prinsip dasar ini dikumandangkan dosen saya, Elsworth Kalas, di mana dia mengartikulasikannya dalam buku “preaching from Soul”. Namun godaan terbesar seorang pengkotbah adalah terbiasa dengan Alkitab dan Alkitab sering menjadi obyek pembelajaran sehingga kitab suci ini bukan suatu kitab di mana kita kagum kepadanya. Ketika kita mempelajari Alkitab, kita jadikan bahan studi belaka. Memperlakukan kitab seperti ini akan membuat Alkitab hanya dijadikan dokumen sejarah dan tradisi belaka. Padahal kita harus mencintai Firman Tuhan karena itulah dokumen tertulis yang adalah firman Allah yang menjadi sumber kehidupan kita, di mana penilaian kita atas hidup sangat bergantung kepada Alkitab.
Memang tantangan pengkotbah abad ke 21 ini beda dengan tantangan teolog abad ke 16 di mana Calvin, Luther, dan tokoh reformasi lainnya hidup. Hari-hari ini Alkitab menghadapi kritik dari berbagai arah. Ada kritik yang internal dan ada kritik yang eksternal. Ada berbagai kritik Alkitab (biblical criticsm), di mana ada yang baik, namun tidak sedikit yang meragukan teks Alkitab. Bahkan ada teolog yang berani mengklaim ada kubur Yesus, seperti dilakukan oknum teolog di Jakarta beberapa tahun yang lalu. Kritik yang meragukan keabsahan Alkitab tentunya dapat menjadi tantangan tersendiri bagi pengkotbah yang mencintai Firman Tuhan tertulis ini. Belum lagi tantangan eksternal dari kaum pluralis yang menantang keeksklusifan kebenaran Firman Tuhan. Semua kebenaran Firman Tuhan, menurut kaum liberal, tidak bisa diklaim sebagai kebenaran, dan hanya sebagai salah satu kebenaran dari berbagai macam kebenaran. Ini tantangan terbesar bagi pengkotbah. Dapat dikatakan ini menjadi trauma bagi pengkotbah modern karena para teolog masa kini telah memandang Alkitab tanpa respek dan cinta, dan ini membuat Alkitab diperlakukan sewenang-wenang.
Bagi saya, pengkotbah harus memiliki keyakinan khusus akan Alkitab. Alkitab harus diyakini sebagai Firman Allah yang diwahyukan Allah, tidak ada kesalahan dalam naskah aslinya, memiliki ororitas dan menjadi norma bagi kehidupan manusia. Itu sebabnya ketika pengkotbah naik mimbar, dia memiliki otoritas dalam berbicara dan menyampaikannya dengan keyakinan yang kokoh. Mungkin pandangan saya ini dianggap terlalu keras bagi teman-teman teolog lainnya, di mana mereka berpandangan menghormati Alkitab sebagai dokumen dan tradisi. Tetapi saya tentunya harus memiliki keyakinan seperti ini, karena otoritas hanya bisa ada bila kita mempercayai Alkitab sebagai Firman Allah.
Namun ada juga yang mendekati Alkitab bukan sebagai buku yang didekati dengan memakai pendekatan eksegesis dan hermeneutika biblika yang baik, tetapi mendekati dan menyampaikan Firman Tuhan hanya dengan menggunakan pengalaman hidupnya dan apa arti firman dalam hidupnya. Pengalaman bahkan kemudian menjadi ajaran gerejanya, sehingga tidak heran banyak ajaran aneh muncul karena mendasari diri dalam pengalaman semata. Meskipun saya juga melakukan hal yang sama yaitu menghargai pengalaman bertemu Tuhan, tetapi setidaknya saya melakukan studi mendalam dan meditasi Firman yang membuat saya mampu menggalinya, menjelaskannya dengan kejelasan dan menyajikannya dengan aplikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjelaskan kecintaan kepada Alkitab yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengkotbah, maka dosen kotbah saya Elsworth Kalas memberikan beberapa pengertian, bagaimana seharusnya seseorang memelihara Alkitab secara serius dan penuh cinta. Saya mencoba untuk menyadur dan memberikan intisari dari pemikirannya (J. Elsworth Kalas, Preaching from Soul (Nashville: Abingdon, 2003), 10-14).
1. Percaya bahwa Alkitab untuk setiap pembaca sampai saat ini. Kita mengakui bahwa setiap orang percaya adalah imamat yang rajani dan memiliki kesamaan kedudukan dalam mempelajari Firman Tuhan. Tetapi, sengaja atau tidak, para teolog pengkotbah seringkali memberi kesan dalam tulisan maupun kotbahnya bahwa jemaat biasa tidak akan bisa mengerti Firman Tuhan sebagaimana yang mereka fahami. Memang benar bahwa teolog pengkotbah memiliki keahlian studi biblika, namun dalam penerapan Alkitab ke dalam kehidupan sehari-hari belum tentu mereka kalah, malahan mungkin mereka lebih baik. Profesionalitas kita tentu tidak salah, di mana kita tetap menggunakan bahasa Ibrani, bahasa Yunani dan semua latar belakang sejarah dan geografi Timur Tengah dan budaya Yunani. Tetapi kita tidak bisa memberi kesan kepada jemaat bahwa tanpa studi eksegesis jemaat tidak dianggap benar dalam membaca Alkitab. Kotbah kita harus mendorong jemaat membaca Alkitab secara meditatif dan studi sederhana sehingga jemaat punya keyakinan bahwa Alkitab adalah untuk seluruh umat manusia dan memberikan pedoman bagi manusia.
Itu sebabnya seorang pengkotbah harus menyadari soal waktu “saat ini”, karena banyak pengkotbah merasa seperti sejarawan, ahli sosiologi, politikus, pembawa acara berita TV dalam menyampaikan kotbah. Apalagi sibuk menggali masa lalu, di mana merasa sangat nikmat rasanya mendapat hal baru dari penggalian sejarah Alkitab. Kita lalu merasa berkewajiban menjelaskannya tanpa menyadari bahwa jemaat tidak tertarik kepada masa lalu. Jemaat memerlukan pengkotbah yang sadar waktu “saat ini” dalam menyampaikan Firman Allah.
2. Mengenal dan menguasai Alkitab secara keseluruhan, tetapi membaca seperti Anda belum pernah melihat sebelumnya. Ini mungkin bicara berlebihan dan menuntut kesempurnaan, namun itulah tanda seorang yang mencintai sesuatu. Saya sudah membaca Alkitab secara keseluruhan berkali-kali, tetapi saya tetap berkomitmen membacanya lagi dan lagi. Agar tidak merasa sebagai rutinitas, maka perlu membaca dari berbagai terjemahan dan beberapa Alkitab studi terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) atau juga Alkitab..., terbitan Gandum Mas, Alkitab terbitan Yaperin Jangan berfokus kepada perbedaan teologi, tetapi bagaimana berbagai ahli memahami Alkitab yang dapat memperkaya kehidupan rohani kita.
3. Pengkotbah harus skeptis terhadap diri sendiri. Maksudnya adalah setiap pengkotbah harus mengakui bahwa ia mendekati Alkitab dengan penilaian yang sudah ada pada dirinya (prejudice). Kita biasanya serius menafsir Alkitab, tetapi kita tidak pernah memberi perhatian secara seriuss bagaimana sebenarnya kita memahami sebuah teks dan bagaimana kita menafsir sebuah teks. Kita perlu punya hati dalam berkotbah, tetapi kita mudah tergoda untuk menafsir Alkitab berdasarkan tujuan gereja, pergumulan pribadi dan sasaran yang ingin kita capai. Karenanya kita memerlukan kontrol lewat pengajaran gereja yang ada, leksonaris gereja, tuntunan buku-buku tafsiran bermutu yang akan secara obyektif mengontrol tafsiran atas teks yang kita pelajari.
4. Jangan takut bergumul dengan Alkitab. Pengkotbah biasanya sangat profesional dengan penggalian Alkitab dengan memakai berbagai teknik penafsiran, tetapi sedikit sekali waktu menggumuli masalah diri dan jemaat dengan Alkitab. Pengkotbah sepatutnya diam sejenak dalam penyampaian Firman, terutama ada jeda dalam setiap poin yang disampaikan, di mana kita mengizinkan jemaat menggumuli firman dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu tentunya pada waktu pengkotbah menyiapkan diri menyampaikan firman, ada waktu dia menggumuli makna teks ke dalam pergumulan pribadinya. Bahkan menggumuli apa yang terjadi pada jemaatnya, karena pengkotbah adalah wakil Allah bagi jemaatnya. Di sini akan terlihat orisinalitas kotbah yang hidup dan bukan hanya sebuah studi teks belaka. Ini akan membuat sebuah kotbah memiliki jiwa. Pengkotbah telah memiliki hati gembala karena menggumuli teks dengan kehidupan jemaat.
5. Mempraktikkan eksegesis psikologis. Teks tentu harus dipelajari sebagai teks tertulis, tetapi teks seharusnya juga bisa difahami dengan menghidupkan karakternya lewat imajinasi dan emosi kita. Itulah yang dimaksud Dr. Kalas sebagai eksegesis psikologis. Artinya, dalam membaca Alkitab kita belajar masuk ke dalam karakter tokoh atau situasi itu dan membayangkan emosi dan perasaan dan suasana pada waktu itu.
Sebagai contoh, ketika saya berkotbah secara naratif dalam Lukas 17:11-19 tentang 10 orang kusta yang hanya satu orang bersyukur ketika disembuhkan Tuhan. Dengan melakukan penelitian yang mendalam dari teks Perjanjian Lama dalam kitab Imamat dan Ulangan soal orang sakit kusta, maka saya bisa membayangkan jeritan hati seorang kusta yang berteriak, “Yesus, guru, kasihanilah kami!” Ada perasaan haru karena orang kusta harus tinggal terpisah, bahkan harus berteriak najis ketika melewati seseorang dan berhak diludahi sebagai seorang najis.
Atau waktu membaca kisah Yesus mengusir roh jahat dari seorang anak (Lukas 9:37-43), apakah kita bisa membayangkan betapa pedih hati seorang bapak yang mengadu kepada Yesus tentang anaknya yang diserang kuasa setan dan sampai mulutnya berbusa-busa. Memang ini tidak ada dalam catatan sejarah dan berbagai tafsiran, tetapi membiarkan hati bapa hidup dalam cerita ini membuat kita masuk dan merasakan hidupnya kisah ini, sehingga kita menyuskuri lebih dalam lagi akan maksud teks tentang kuasa Yesus. Kita akan melihat dimensi baru akan kuasa penyembuhan yang Yesus lakukan.
Alkitab secara ajaib berbicara juga soal karakter dari tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Di dalam Alkitab kita melihat ada sukacita, kegembiraan, ketakutan, frustrasi dan bahkan ada pribadi yang tidak menyenangkan. Contoh yang nyata adalah kitab Mazmur, di mana pujian syukur dan pengagungan berisi ungkapan emosi dari penulisnya tentang kegembiraan, kesedihan, dan berbagai emosi lainnya. Tulisan Rasul Paulus juga penuh dengan doktrin yang diselipi dengan emosi dan ungkapan hati seorang Paulus, di mana ada syukur, ada sukacita, ada penguatan, ada kesedihan, termasuk kemarahan dan teguran. Semuanya terjalin dalam doktrin yang ditulisnya. Ini membuktikan pentingnya kita memasuki karakter seseorang.
Cara ini bukan hal baru yang dilakukan, di abad ke-4 seorang pengkotbah Chrysostom telah menafsir Paulus bukan hanya dari sudut teks saja tetapi bercakap-cakap dengan dia. Dikatakan bahwa dia menafsir Paulus bukan “a depersonalized, neutral endeavor in which a person (the reader) meets an object (a written text), but rather [as] a conversation among friends.” Ini yang membuat dia sangat dikenal sebagai pengkotbah yang sangat ahli soal Paulus.
Ini bukan berarti membiarkan pengkotbah menjadi malas dalam melakukan studi teks. Eksegesis psikologis bukan pengganti dari studi tentan teks. Ini dimaksudkan sebagai penunjang mengingat teks bukan sesuatu yang dingin pada waktu ditulis, tetapi cerita dan kepercayaan yang lahir dari sebuah pengalaman rohani bersama Tuhan.
Dari kelima poin di atas, kita dibawa untuk melihat Alkitab secara serius dan penuh dengan cinta dalam menghidupi dan menyajikannya. Dalam pengalaman saya bergaul dengan teolog dari berbagai aliran dan mendengarkan kotbah mereka, saya merasakan atmosfer yang berbeda. Pada satu sisi ada kelompok teolog yang sebenarnya tidak mencintai Firman Tuhan. Mereka merasa malu punya Alkitab daripada merasa terinspirasi oleh Alkitab. Itu sebabnya dalam tulisan maupun kotbahnya dia melontarkan berbagai kritik tajam dan bukannya menjadi ekspositor yang menjelaskan Alkitab dengan penuh antusias. Pada sisi lain ada juga teman-teman pengkotbah yang menggebu-gebu cinta akan Alkitab, tetapi dalam penyajiannya mereka mengandalkan pengalaman pribadi, kesaksian, buku ilustrasi dan tidak menguraikan Firman Tuhan dengan sebenarnya. Firman Tuhan diuraikan sangat sedikit dan lebih banyak cerita ilustrasi yang kadangkala tidak berhubungan dengan teks yang dibahas. Itu sebabnya muncul istilah “entertainer preacher” atau pengkotbah penghibur seperti yang dikatakan John Piper.
Saya sangat diberkati dengan nasehat pada point 4. Terima kasih pak.
ReplyDelete