Tuesday, December 15, 2009

Bad Preaching

Oleh Daniel Ronda

Ada banyak jemaat tidak menikmati kotbah di gerejanya. Mengapa jemaat mengeluh tentang kotbah? Bukankah Firman Tuhan seharusnya menjadi kekuatan sebuah gereja setelah era reformasi yang mengumandangkan “sola scriptura” yaitu hanya Firman Tuhan?

Masalah yang dihadapi adalah bukan pengkotbah yang tidak baik, namun kotbahnya sering tidak dimengerti, kepanjangan, membosankan, tidak ada daya tarik, tema yang itu-itu saja. Yang justru dianggap menarik adalah pengkotbah yang memiliki latar belakang kharismatik, sedangkan pengkotbah lainnya seperti kehilangan daya tariknya. Apalagi kotbah hanya berisi presentasi dari isi dengan gaya yang tidak menarik.

Menurut hemat saya, setidaknya ada beberapa penyebab mengapa kotbah itu tidak menarik. Pertama, isi atau berita kotbah yang sangat minim dan juga tidak akurat. Ini terjadi karena pengkotbah tidak menggunakan sumber yang tepat untuk menggali isi Alkitab dan hanya memakai cara yang dangkal dalam memahami kebenaran lewat pengalaman semata-mata yang diceritakan. Jemaat awam katakan, lebih banyak ilustrasi daripada isi. Biasanya pengkotbah ini suka melucu dan melenceng dari tema, yang mana sebenarnya tidak jelek. Pengkotbah justru perlu punya “sense of humor”. Namun semuanya harus terukur dan tepat penggunaan humor itu.

Kedua, kajian biblikanya mendalam namun miskin aplikasi dan cerita praktis. Eksposisi yang digali sangat tidak jelas dengan cara memuja eksegesis, hermeneutik, metode historis-gramatika, penuh dengan kutipan-kutipan para ahli dan gambaran historis masa lalu yang menyebabkan kotbah menjadi sangat membosankan tidak aplikatif bagi jemaat. Jemaat hanya diajak mengikuti masa lalu yang dalam tanpa pernah menyadari jemaat membutuhkan aplikasi.

Ketiga, adalah faktor miskin cara dalam berkomunikasi. Cara menyampaikan kotbah tidak koheren atau tidak beraturan sehingga jemaat sulit mengikuti apa yang menjadi tujuan dari kotbah. Harusnya ada tatanan yang baik yaitu mulai dari penjabaran tema, poin-poin yang menuju puncak, dan konklusi serta tantangan. Bila ini tidak beraturan bahkan keluar dari topik, jemaat akan menjadi bingung apa sebenarnya tema dan tujuan kotbah.
Faktor waktu berkotbah juga menyumbang kebosanan jemaat. Ada kotbah yang kepanjangan dalam menyampaikan gagasannya, bahkan berulang-ulang ditekankan sehingga jemaat menjadi bosan sekali. Daya tahan jemaat biasanya tidak lama. Sesekali bila ada pengkotbah tamu yang menarik mungkin jemaat bisa bertahan, namun tidak untuk selamanya. Jangan kita terobsesi menjadi pengkotbah yang bicaranya berkepanjangan.

Bagaimana memperbaikinya? Menurut saya sederhana. Menjadi pengkotbah adalah sebuah proses dan tidak ada pil ajaib yang dapat mengubah seorang pengkotbah langsung jadi. Ada proses waktu yang dijalani seorang pengotbah. Ia perlu banyak melatih diri dan memiliki jam terbang kotbah yang banyak. Namun semua juga sangat bergantung kepada Allah dan karunia dari Tuhan. Pengkotbah harus banyak berdoa.

Kita juga harus mengingatkan jemaat dalam menghadapi pendetanya yang kurang bisa berkotbah. Pertama, doakan hamba Tuhan kita agar Tuhan bisa dipakai dalam berkotbah. Kedua. Bila setelah didoakan belum ada perubahan, maka kita patut datang berbicara dengan pendeta kita dan katakan kepadanya dengan penuh kasih tentang kotbahnya. Ketiga, kirim pendeta kita untuk menghadiri peningkatan kemampuan dalam kotbah. Dan yang terakhir, bila belum ada perubahan mungkin sebaiknya hamba Tuhan itu menyadari bahwa Tuhan memberi karunia yang lain. Itu sebabnya kita undang hamba-hamba Tuhan lain dapat berkotbah di gereja kita. Setiap pengkotbah jangan putus asa untuk maju. Bila ada kritik dari jemaat, terima dengan senang hati sehingga menjadi kajian agar kotbah kita lebih baik di kemudian hari.

No comments:

Post a Comment