Wednesday, December 9, 2009

Budaya Malu Berkorupsi

Oleh Daniel Ronda
(Tulisan ini dibuat untuk memperingati Hari Anti-Korupsi Sedunia, 9/12)

Ungkapan bahwa korupsi adalah budaya Indonesia sudah banyak yang menentangnya. Tetapi kajian tentang pengaruh budaya atas perilaku korupsi membuktikan ada budaya-budaya yang menyuburkan praktik korupsi, terutama di budaya Timur termasuk Indonesia. Sangat disayangkan bila kajian korupsi lintas negara dan budaya tidak begitu banyak mendapat perhatian. Padahal tindakan pemberantasan korupsi ini harus memahami konsep yang sangat penting yaitu memahami konsep budaya yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung atas korupsi. Penelitian yang dilakukan John Hooker menemukan bahwa korupsi dalam suatu bangsa atau negara sangat dipengaruhi konsep budaya soal norma dan aturan hukum (rule) dan relasi (relationship). Kalau budaya itu menekankan pentingnya norma dan aturan, maka korupsi bisa diminimalisir. Namun bila relationship atau relasi yang penting, maka berbuat baik menolong sahabat dan atau keluarga jauh lebih penting daripada norma (lihat dan bandingkan tulisannya “Corruption from a Cross-Cultural Perspective”). Sebagai contoh, pejabat yang memasukkan anaknya atau keluarganya jadi PNS, lewat jalur "khusus" dianggap mulia dalam suatu budaya, karena dia melakukan pengangkatan nama keluarga, sekalipun anak itu kurang kemampuannya. Contoh lain adalah budaya berkorban bagi sesama jauh dianggap mulia dibanding dengan uang yang sudah diambilnya. Tak heran seorang koruptor dianggap pahlawan oleh komunitasnya. Misalnya, kasus koruptor anggota DPR asal Sulsel yang menjadi terdakwa dalam kasus penyuapan proyek lapangan udara dan pelabuhan di Indonesia Timur, justru menuai banyak suara di komunitasnya pada pemilihan kembali walaupun dia sudah ada di penjara. Apalagi korupsi yang dilakukan atas nama “rakyat” dan bertujuan untuk kebahagiaan rakyat dengan membangunkan rumah ibadah dan sarana lainnya. Ini sangat mulia di mata masyarakat, sehingga tidak mengherankan banyak pemimpin agama tutup mata akan hal ini. Bahkan ramai-ramai memasukkan proposal ke pejabat, tidak peduli dia dapat uang darimana, sekaliber pemimpin yang tahu kebenaran pun tidak mau tahu. Contoh yang nyata dan selalu muncul di sekolah adalah guru yang membantu memberikan jawaban kepada anak murid ketika sedang ujian dianggap mulia karena menolong anak ini dari kemungkinan ketidaklulusannya. Dan begitu banyak lagi contoh yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bagaimana mengatasinya? Mengapa sudah begitu banyak upaya mengatasi korupsi di Indonesia tidak membuahkan hasil yang optimal? Masalahnya adalah pendekatan Barat dalam mengatasi korupsi dipakai di dunia Timur termasuk di Indonesia jelas tidak mencukupi. Norma dan aturan yang dibuat dalam produk hukum akan selalu dicurangi. Apalagi mereka yang memiliki uang dengan mudah melakukan penyuapan kepada aparat penegak hukum. Lihat contoh nyata, pembukaan rekaman percakapan pengusaha yang terjerat hukum bisa dengan mudahnya berteman dengan pejabat tertinggi dan mengatur kasus-kasus hukum. Produk hukum tidak berdaya dengan penyuapan, karena sifat relasi yang begitu kental di dalam masyarakat Indonesia. Itu sebabnya, kita harus mengakui SBY yang tidak juga membebaskan besannya dari penjara, sekalipun dia bisa saja “bermain”. Alangkah menyedihkan bila SBY membiarkan produk hukum dicurangi oleh bawahannya dan memainkan hukum sesuai dengan kolusi pejabat dan pengusaha.

Sudah seharusnya pendekatan dengan konsep norma dan hukuman mendapat penekanan di dalam bentuk “shame culture” atau budaya malu. Penegak korupsi jangan hanya mendekati dari sudut pandang hukum dan norma yang ada. Harus ada upaya “mempermalukan” koruptor dan menegakkan budaya malu. Seharusnya penegak hukum belajar dari Asia seperti Jepang, Korea, China, dan Singapura dalam penegakan korupsi. Bila budaya relasi yang masih kental, maka sulit diharapkan terjadinya perubahan. Shame culture, dalam pandangan budaya berbicara soal kehormatan diri sebagaimana yang diharapkan dalam masyarakat. Bila kehormatan hilang, maka itu tidak dapat dipulihkan hanya dengan penjara (bdk. Paul Hiebert dalam Cultural Anthroplogy, 212-3). Itu sebabnya secara positif budaya malu terus dimasyarakatkan, yaitu budaya malu melanggar hukum. Sayang, budaya malu yang kita miliki lebih kepada kehormatan diri, keluarga dan kerabat, dan bukan malu karena melanggar hukum dan norma. Ini tantangan baru para penegak hukum soal korupsi.

Budayawan, rohaniwan, sosiolog, termasuk iklan TV oleh pemerintah dan media sendiri harus mempromosikan budaya malu. Jangan hanya mempromosikan kisah sukses pemberantasan korupsi saja, tetapi penegakan hukum yang disertai budaya malu adalah hal yang penting. Jangan sampai media juga yg adalah bagian dari pop culture justru tidak pernah mengedukasi pemirsa dengan norma dan rasa malu, serta kaitannya. Kasus Mbok Minah yang menghebohkan itu lebih didekati media dan pengamat dari unsur kemanusiaan dan rasa keadilan ketimbang penegakan hukum dan aturan apalagi disertai rasa malu.

2 comments:

  1. Saya setuju dengan posting Bapak. Rasa malu mungkin dapat menekan keinginan untuk melakukan korupsi.

    Bagaimana kalau budaya takut korupsi,Pak? Saya dengar di China itu kalau pejabatnya ketahuan korupsi, maka akan dihukum mati bersama seluruh keluarganya dan penerima uang hasil korupsinya. Rasanya koruptor akan berpikir jutaan kali untuk mencuri uang rakyat.

    ReplyDelete
  2. Budaya takut juga perlu Pak. Yang penting efektif

    ReplyDelete