Friday, March 19, 2010

Perjalanan ke Tanah Suci Vs Concrete Spirituality

Salah satu tren keagamaan di Indonesia adalah melakukan perjalanan ke tanah suci untuk ibadah (pilgrimage). Ini bukan hanya monopoli orang Islam, tetapi orang Kristen pun sudah mengembangkan tradisi ke Israel (Yerusalem) sejak dulu. Tetapi perkembangan tren ke tanah suci semakin meningkat dalam dasawarsa terakhir. Apalagi pemda-pemda di daerah-daerah Indonesia Timur mulai mensponsori rohaniwan dan pejabat ke tanah suci (holy land) tiap tahunnya. Hanya, aneh bin ajaib, tren ke tanah suci ini tidak dibarengi dengan praktik spiritualitas yang nyata sekembalinya dari perjalanan suci ini. Korupsi masih merajalela, bahkan Indonesia pun tahun ini masih negara terkorup di Asia Pasifik. Angka kemiskinan begitu banyak dan tidak turun-turun. Mengapa begitu banyak orang sudah menjadi “suci”, tidak ada relevansi dengan peningkatan kesucian dalam kehidupan nyata. Kemiskinan dan masalah keadilan sosial tidak pernah ditangani dengan baik di negeri ini.

Masalahnya adalah spiritualitas tidak pernah dibawa ke ranah nyata. Praktik keagamaan hanya sebatas ritual keagamaan dan simbol yang mengeraskan identitas diri dan kelompok. Bahkan asesoris badan dan pakaian pun dipakai untuk menggambarkan spiritulitas. Agama menjadi ritual tanpa roh agama itu yaitu spiritualitas, di mana seharusnya nilai-nilai berjumpa dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Ada beberapa contoh yang menghidupi spiritualitas secara nyata dalam kehidupannya (concrete spirituality). Contoh ini saya ambil dari tulisan George E. Saint-Laurent, “Spirituality and World Religions” (CA: Mayfield, 2000), 16-17. Pertama, Mother Theresa dari Kolkata (1910-97) yang memenangkan hadiah Nobel atas jasanya di dalam mendedikasikan seluruh kehidupannya kepada kemiskinan, penderitaan, dan kematian di India. Matanya selalu dipenuhi rasa cinta kasih kepada semua manusia tanpa memandang dari agama mana. Di sini dia menantang hati nurani dunia, karena tanpa takut dia mempertahankan kemuliaan dari manusia sebagai ciptaan Tuhan. Spiritualitas nyatanya adalah spiritualitas cinta kasih.

Kedua, Albert Schweitzer (1875-1965) dikenal sebagai pendeta Kristen yang sangat dihormati di Eropa, seorang ahli Kitab Suci ternama, dokter, dan organis gereja. Dia kemungkinan bisa meraih sukses besar sebagai ahli Kitab Suci. Tetapi dia memutuskan untuk meningglkan kehidupan nyaman di Eropa dan pergi ke Afrika untuk menolong orang yang sakit dan menderita. Spiritualitas nyatanya adalah spiritualitas penyembuhan.

Ketiga, Mahatma Mohandas K. Gandhi (1869-1948) rajin mengisi hidupnya dengan tulisan-tulisan agamawi baik dari agama Hindu, Kristen, dan Islam. Gandhi membuat seluruh dunia kagum akan perjuangannya dengan doa, puasa, dan tanpa kekerasan. Dia menolak memperlakukan sesama manusia sebagai musuh, sekalipun lawannya pernah menyiksa tubuhnya. Dia dimasukkan ke dalam penjara dan melewati penderitaan yang sangat dalam sehingga akhirnya mati sahid. Lewat perjuangannya yang disebut “satyagraha” (kekuatan jiwa) dia sukses memerdekakan India. Dapat dikatakan perjuangan dirinyalah India mengalami kemerdekaan. Spiritualitas nyatanya dalam kepemimpinan dan perdamaian.

Keempat adalah Martin Luther King Jr. (1929-68), master orator, seorang pendeta Kristen aliran Baptist, pemimpin yang berani, seorang saleh dan juga sangat terinspirasi dengan perjuangan tanpa kekarasan (nonviolence) dari Gandhi. Perjuangannya merupakan gabungan imannya dan ajaran Gandhi dengan melakukan gerakan perlawanan sipil melawan tindakan ketidakadilan ras (racism) yang dialami oleh rekan sebangsanya Afrika-Amerika. Spiritualitas nyatanya adalah dalam kepemimpinan dan perjuangan keadilan sosial.

Kelima, Cesar Chavez (1927-93) adalah seorang aktivis Katolik Amerika yang berdarah Mexico, dia mendirikan serikat pekerja petani dengan nama United Farmworkers Union, yaitu suatu gerakan yang melindungi dan memperjuangkan hak-hak petani migran asal Mexico yang seringkali mengalami ketidakadilan. Sama dengan Martin Luther King Jr, spiritualitas nyatanya adalah dalam kepemimpinan dan perjuangan keadilan sosial.
Tentu ada banyak nama lagi yang kita sebutkan dari berbagai lintas agama tentang bagaimana spiritualitas dibawa ke dunia nyata. Bahkan setiap kita punya orang yang kita kagumi, entah itu orang tua, guru, atau orang yang kita kenal yang memiliki spiritualitas yang dipraktekkan. Tentu memori kita masih akan mengingat contoh-contoh itu dan membuka mata kita bahwa spiritualitas yang dihidupi itulah yang diperlukan manusia saat ini.

Bagaimana menghidupi spiritualitas sehingga nyata dalam kehidupan kita? Caranya mungkin sederhana saja di mana setiap kali kita meelewati hari kita, kita berusaha berefleksi atas apa yang telah kita lakukan dan mencoba memaknainya. Bila kita melihat orang miskin, apakah hal kecil yang dapat saya buat? Bila kita adalah pemimpin, bagaimana dengan ekspresi wajah dan tutur kata kita dalam menghadapi mereka, terutama yang suka komplain? Bagaimana sikap kita terhadap segala kritikan dan mungkin tuduhan yang kita terima? Apakah kita membiarkan kebusukan yang ada dalam kantor kita bila secara nyata ada praktek-praktek kotor yang dilakukan rekan sejawat?

Pergi ke tanah suci tidak serta merta menyucikan kita, namun kehidupan yang direfleksikan dan dimaknai dengan nilai-nilai spiritualitas kita menjadikan kita dan dunia di sekitar kita lebih baik! Semoga!

No comments:

Post a Comment