Sunday, August 15, 2010

Refleksi: Cut Tari Mengaku, Ariel Tidak: Mana yang Benar?

“Admitting your mistakes says something profound about your basic integrity as a leader (Bill Hybels).”

Saya sangat menghargai Cut Tari, tapi tidak dengan Ariel-Luna. Mengapa? Agak aneh, fakta-fakta sudah jelas, dalam laporan dikatakan gambar di video sudah gamblang, tetapi mengapa tetap Ariel bertahan tidak mau mengakui? (sampai Kamis, 12/8/2010). Bahkan Luna Maya tetap bertahan tidak mengakui, tetapi minta maaf kepada publik. Tetapi untuk apa minta maaf bila benar? Sebuah ketidakkonsistenan yang aneh.

Budaya malu (shame culture) ternyata masih mendominasi budaya kita, tetapi dalam pengertian negatif. Bila Asia Timur memiliki rasa malu positif, maka budaya di sini punya rasa malu yang negatif di mana aib dan mempertahankan muka yang jauh lebih besar dari rasa bersalah (guilt culture). Bila rasa malu dibarengi dengan pengakuan dan rasa salah, itulah yang positif. Dalam hal ini saya mengagumi Cut Tari. Dia rela mempertaruhkan nama baik dan keluarganya hanya untuk mengakui kesalahan dan menyesali atas akibat dari video yang sudah tersebar. Mengakui, berarti bertanggung jawab atas kesalahan yang ada. Masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pengakuan atas kesalahan. Inilah tanggung jawab moral seorang “public figure’. Saya rasa Cut Tari layak dimaafkan dan saya sungguh bangga punya orang Indonesia seperti Cut Tari. Siapa yang suci? Nabi Isa pun ketika ditanya pemimpin Yahudi yang menangkap perempuan berzinah, yang sebenarnya hukumannya dirajam batu, maka Isa malah menuliskan di tanah, “siapa yang tidak berzinah, hendaknya yang pertama melempar dengan batu!” Semua pada pergi, dan perempuan itu dibebaskan dan diampuni dengan syarat jangan berbuat lagi. Sebuah kisah yang berisi pengalaman yang memiliki makna dalam tentang “siapa yang suci; siapa yang berhak menghakimi?”

Dari pengalaman selebritis antara yang mengaku dan menyangkal, maka ada pelajaran penting soal kepemimpinan, yaitu soal mengakui kesalahan. Justru mengakui kesalahan menunjukkan sebuah integritas seseorang. Diperlukan jiwa besar untuk mengakui, dan ketika dunia semakin mengglobal, maka kita bisa belajar bagaimana sebaiknya langkah yang dilakukan seseorang pemimpin bila melakukan kesalahan. Para pakar kepemimpinan sepakat bahwa mengakui kesalahan akan mengangkat integritas. Bila itu benar, mengapa kita masih enggan melakukannya? Saya sedih kalau ada pejabat publik yang masih meneladani Ariel-Luna, selebritis yang masih memikirkan “aib” daripada berpikir tentang tanggung jawab moral kepada masyarakat atas apa yang telah diperbuatnya.

No comments:

Post a Comment