Pengkotbah yang berhasil dan efektif sangat bergantung atas keyakinannya akan berkotbah terutama teologi berkotbahnya. Banyak pengkotbah saat ini mungkin belum terlalu memiliki keyakinan yang kokoh tentang mengapa dan untuk apa dia berkotbah. Tidak heran bila banyak pengkotbah tidak lebih dari seorang motivator, pembicara soal-soal kekinian tanpa fondasi yang kuat di mana fokus kepada supaya jemaat merasa enak dan nyaman (feelings good). Kotbah seperti ini populer, tetapi tidak memiliki kekuatan yang kokoh dalam kehidupan jemaat. Tuhan mengingatkan tentang fondasi pasir dan batu yang dibangun seseorang dalam Matius 7, jangan-jangan karena andil seorang pengkotbah.
Jay Adams (dalam buku “The Art and Craft of Biblical Preaching” oleh Haddon Robinson & Craig Brian Larson (eds), hal. 33-36) memberikan sembilan keyakinan soal teologi kotbah yang harus dimiliki seorang pengkobtah:
Pertama, tujuan utama berkotbah adalah menyenangkan hati Allah. Seorang pengkotbah harus membuktikan kesetiaannya dalam berbicara tentang Firman Allah saja. Kita harus setia kepada firmanNya, dan bukan kepada ide-ide manusia dan berbagai teori spekulatif tentang manusia.
Kedua, kotbah yang benar dan menyenangkan Tuhan adalah sesuai dengan Firman Tuhan. Itu sebabnya setiap kotbah dimulai dengan pembacaan Firman Tuhan, karena Firman yang sentral dalam kotbah. Semua percakapan dalam kotbah berasal dari Firman Tuhan. Artinya, pemilihan garis besar, kalimat, cerita, ilustrasi, humor, dan retorika merupakan refleksi yang muncul dari pembacaan, penafsiran, dan perenungan firman Tuhan.
Ketiga, pengkotbah yakin bahwa Alkitab adalah Firman Allah dan tanpa kesalahan di dalamnya (2 Tim 3:16). Pengkotbah harus memiliki keyakinan bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang tertulis. Itu berarti bahwa Alkitab adalah sumber pengajaran bagi pengkotbah yang dipersiapkan bagi dirinya dan diproklamasikan kepada pendengarnya.
Keempat, kotbah adalah tugas yang suci. Kita harus berkeyakinan bahwa menyampaikan Firman Tuhan adalah mandat suci yaitu meminta pendengar untuk berubah. Inilah tugas yang mulia dan suci itu. Itu sebabnya teks yang dipelajari harus dihormati, sehingga dalam menyiapkan kotbah tidak bisa asal-asalan saja. Tidak bisa mempersiapkan Firman Tuhan tanpa waktu yang cukup dan tidak dilakukan dengan baik. Jangan menjadikan kesibukan pelayanan mengurangi waktu belajar kita akan Firman Tuhan. Pemimpin gereja harus memberi peluang bagi pendetanya untuk mempersiapkan kotbah, baik dengan memberikan waktu yang cukup dan buku-buku penunjang yang cukup. Harus diberikan dana pembelian buku penunjang kotbah yang memadai.
Kelima, firman Tuhan bukan hanya ditujukan kepada pembaca mula-mula (jemaat mula-mula), tetapi untuk orang percaya saat ini. Banyak pengkotbah dalam penyajiannya asyik menceritakan sejarah latar belakang cerita Alkitab, dan karena asyiknya sampai lupa bahwa yang disampaikannya adalah cerita masa lalu yang tidak menarik bagi pendengar atau jemaat. Firman itu adalah untuk segala zaman, dan bukan hanya untuk masa lalu. Itu sebabnya kita mencari Amanat Teks dan mengubahnya menjadi Amanat Kotbah (pinjam istilah dari Benny Solihin). Artinya, setelah menemukan hal di masa lalu, maka kita harus bawa kepada jemaat masa kini. Jadi yang kita kotbahkan adalah berita yang kontemporer. Sebagai contoh, jika kita hendak berkotbah tentang Israel dan orang Amalek, maka kita tidak menceritakan panjang lebar soal Amalek. Kita berbicara soal tentang Allah dan umat Allah berhadapan dengan Amalek. Dan bagaimana pengalaman ini sangat berhubungan dengan kita dalam kekinian. Maka tugas kita perlu meng-eksegesis jemaat dan konteks masa kini.
Keenam, maksud teks asli kepada jemaat mula-mula harus menjadi pengontrol atas berita kotbah kepada pendengar masa kini. Maksud dari Firman Tuhan agar kita mengasihi Tuhan dan sesama. Maka semua kotbah harus tunduk kepada agenda ini. Banyak pengkotbah mulai menetapkan agendanya sendiri dalam kotbahnya. Mungkin kesempatan menyampaikan uneg-unegnya, kejengkelannya, bahkan sakit hatinya kepada majelis atau jemaatnya. Ada juga yang menjadikan mimbar sebagai ajang curhat yaitu menceritakan permasalahan pribadinya. Maksud teks Firman Tuhan dalam teks yang kita sampaikan harus menjadi penjaga bagi kotbah yang kita sampaikan.
Ketujuh, subyek dari setiap kotbah adalah Allah dan manusia. Pengkotbah tidak sedang berkotbah tentang Alkitab, tetapi tentang relasi kepada Allah dan manusia. Kotbah tidak dalam bentuk format kuliah dengan segala konsep dan bahasa yang abstrak. Jadi bukan konten tentang isi kitab saja, tetapi bagaimana relasi dengan Allah terjalin, begitu juga relasi dengan sesamanya. Pengkotbah tidak juga berbicara tentang dirinya sendiri, tetapi Tuhan dan pendengarnya.
Kedelapan, kejelasan sebagai hal utama. Kotbah yang efektif mengambil bentuk yang sederhana dan jelas. Kita berusaha menjelaskan makna atas bahasa teknis yang kita pakai, terutama dalam bahasa asli Alkitab. Kita menghindari pemakaian kata yang konseptual abstrak, frase yang sudah ketinggalan zaman dan bahasa teologis tempo dulu. Itu sebabnya, dalam membuat firman Tuhan itu jelas, maka kita memakai ilustrasi dan contoh-contoh kehidupan masa kini, dan hal praktis lainnya. Pemakaian istilah teoritis dibatasi dengan penjelasan yang memadai dengan memakai bahasa kekinian. Jangan hanya fokus isi, tetapi bentuknya juga penting. Simpel tanpa kehilangan isi adalah hal penting dalam berkotbah.
Kesembilan, tugas kita adalah berkotbah dengan berani. Seorang pengkotbah perlu berdoa, agar sewaktu menyampaikan Firman Tuhan, ia menyampaikannya dengan penuh keberanian. Pengkotbah harus berani berkotbah tanpa rasa takut akan akibat yang akan menimpanya. Yang terpenting Firman Tuhan adalah yang tertinggi dalam kehidupannya.
Tq pak.. Terus berkarya dan menjadi berkat.. GBu
ReplyDelete