Sunday, December 11, 2011

Memilih Sekolah Teologi yang Baik

Sama seperti memilih perguruan tinggi pada umumnya, maka kita pun diminta hati-hati memilih sekolah teologi. Mengapa? Ini dikarenakan sekolah teologi yang berdiri di Indonesia makin menjamur. Menurut catatan Kemenag ada 300-an lebih sekolah teologi di Indonesia dan ada sebagian yang belum terdaftar dan memiliki izin penyelenggaraan. Seharusnya pendidikan teologi dijalankan dengan jujur karena berbicara atas nama Tuhan, tetapi ada banyak sekolah teologi dibuat asal-asalan, bahkan dibuat hanya untuk mendapat keuntungan dengan menjual ijazah kesarjanaan.

Bila demikian, bagaimana memilih sekolah teologi yang baik? Jika dulu kita hanya mengandalkan sekolah sinode, maka kini kita harus lebih hati-hati dan jeli. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sekolah teologi. Tips ini hanya dasarnya saja dalam memilih, tentu sekolah teologi harus memiliki system mutu yang baku. Namun setidaknya, ini hal dasar dan prinsip awal dalam memilih sekolah teologi:

1. Status sekolah yang jelas
Sekolah yang baik memiliki status pendirian yang jelas baik dari sinode gereja atau yayasan. Lalu kemudian memiliki status izin penyelenggaraan dari pemerintah baik dari Kopertis atau Kemenag. Dan yang baik bila sekolah itu sudah diakreditasi BAN (Badan Akreditasi nasional). Ini penting karena pemerintah di tahun 2012 berencana menertibkan semua perguruan tinggi liar dan akan menerapkan sanksi bagi yang mengeluarkan dan memberikan gelar tanpa izin. Yang lebih penting, status itu sebenarnya untuk memastikan bahwa sekolah ini memang layak mendidik hamba-hamba Tuhan dan masyarakat gereja tidak dirugikan.

2. Jangan cari sekolah instan
Untuk jadi sarjana teologi S1 minimal dibutuhkam 4.5-5 tahun. Dan S2 minimal 2-4 tahun. Ini merupakan standar pendidikan tinggi umumnya, dan sekolah teologi lebih lama karena harus praktek minimal 6 bulan di gereja. Namun sangat disayangkan, banyak sekolah teologi memberikan gelar sarjana cukup sekolah hanya 6 bulan sampai 1 tahun untuk S1 dan 3 bulan untuk S2. Kurikulum tidak jelas, mengajar juga hanya asal-asalan dan formalitas. Jadi ada sekolah teologi hanya jualan ijazah. Sekolah seperti ini tidak layak dapat izin dan Kemenag dalam hal ini Ditjen Bimas Kristen harus memberikan sanksi dan mengadakan pengawasan yang benar-benar melekat dan tidak asal-asal mengeluarkan izin.

3. Dosen yang mengajar memenuhi persyaratan
Ada beberapa sekolah teologi membuat brosur dengan begitu banyak nama dosen dan gelar-gelarnya yang wah… luar biasa. Tapi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa nama itu hanya pajangan dan hanya dosen tamu saja. Padahal sebuah prodi (program studi) minimal harus memiliki 6 dosen tetap. Tidak bisa sekolah teologi panggil dosen tamu saja dan tidak ada dosen tetap yang memadai. Saya pernah tahu ada sekolah teologi hanya 3 dosen tetapnya (si Ketua, istrinya dan satu stafnya). Sisanya semua dosen tamu. Sungguh tidak layak sekolah teologi berdiri dengan dosen asal-asalan. Padahal seorang dosen harus memiliki kesarjanaan yang mumpuni, punya pengalaman pelayanan, lalu ketika masuk ke dunia pendidikan haru mengikuti berbagai keterampilan mengajar seperti PEKERTI, AA, dan seterusnya. Bahkan diharapkan setiap dosen memiliki kepangkatan akademik dan sertifikasi dosen. Tujuannya agar seorang dosen menyadari fungsinya ada tiga yaitu mengajar, meneliti (research), dan melakukan pengabdian kepada masyarakat dan gereja (Tri Darma Perguruan Tinggi).

4. Ada lokasi sekolah dan fasilitas memadai
Sekolah teologi harus punya fasilitas pendidikan yang memadai yaitu kelas-kelas, perpustakaan dan berbagai sarana lainnya. Sayang ada sekolah teologi yang lokasinya tidak jelas, pakai rumah ketua yayasan, kontrak ruko kecil yang sangat tidak layak. Padahal paraturan pemerintah mensyaratkan adanya kepemilikan tempat sarana dan prasarana, atau jika menyewa minimal kontrak 5 tahun dan bisa dilanjutkan kemudian. Gereja dan orang tua seharusnya tidak mengutus anaknya ke sekolah teologi yang tidak jelas lokasinya dan minim sarana belajarnya.

5. Ada pembinaan rohani
Sekolah teologi berbeda dengan perguruan tinggi lainnya, di mana pembentukan mahasiswa tidak hanya soal intelektual saja. Harus ada pembinaan rohani seperti ibadah kapel, ibadah doa, berbagai seminar dan lokakarya, ada “mission trip” untuk melatih melayani, dan yang paling pentinf adanya disiplin yang baik. Orang tua dan gereja dalam memilih sekolah teologi harus mencari tahu apakah ada disiplin dan pembinaan rohani bagi anaknya. Jangan hanya berfokus kepada pendidikan intelektual saja tetapi pembinaan secara menyeluruh.

Jadi, panggilan seseorang menjadi hamba Tuhan harus dibarengi dengan kewaspadaan dalam memilih sekolah teologi, terutama yang dibuat asal-asalan. Jangan terlena dengan berbagai promosi yang menggiurkan karena sarjana teologi harus benar-benar ditempa menjadi serupa dengan Kristus dan bukan hanya kejar ijazah! Kiranya pemerintah, dalam hal ini Ditjen Bimas Kristen sudah waktunya bergerak untuk mengawasi dan menertibkan sekolah teologi asal-asalan. Gereja, dalam hal ini sinode gereja jangan berdiam diri, namun mengevaluasi kinerja sekolah teologi yang diasuhnya dan mengawasi sekolah teologi yang diterima sebagai pengerja di gerejanya. Gereja tidak bias lagi diam dan kompromi, bahkan harus bertanggung jawab atas kerusakan pemimpin gereja yang terbentuk asal-asalan. Jangan sampai nama Tuhan dan gereja dipermalukan.

Thursday, December 1, 2011

QUO VADIS PASTI? CATATAN KRITIS ATAS KONGRES PASTI KE-8 2011

Oleh Daniel Ronda

Baru saja selesai perhelatan “besar” PASTI (Persekutuan Antar Sekolah Theologia Injili di Indonesia) yaitu kongres PASTI ke-8 yang berlangsung tanggl 28-30 November 2011 di Graha Bethel Jakarta. Perhelatan ini dirangkaikan dengan Simposium Teologi dengan tema menarik Multiplikasi dalam Perspektif Teologi Injili. Dalam Kongres ini agenda besar utama adalah pemilihan kepengurusan yang baru dan juga penyusunan program kerja 2011-2015. Dalam kongres ini terpilih kembali Dr. Hendrik J. Ruru sebagai Ketua Umum dan Pdt. Nasokhili Giawa sebagai Sekum. Tentunya kita mengucapkan selamat untuk kepengurusan yang baru, dan kiranya dapat benar-benar bekerja sesuai dengan visi dan misi PASTI.

Namun ada beberapa catatan kritis yang perlu diberikan dalam kongres kali ini:

Pertama, sangat minim sekali kehadiran anggota PASTI yang berjumlah 85 sekolah teologi. Dinyatakan bahwa tidak sampai 50% PTT yang hadir. Bahkan yang ironi, sekolah-sekolah senior dan yang tidak diragukan kualitasnya justru tidak hadir atau tidak mengirim utusan. Nama-nama seperti STTII, STT Baptis, I3, STT Reformed Injili, STT Bandung, dan lainnya justru tidak mengutus sama sekali utusannya. Hanya STT Jaffray baik Makassar dan Jakarta yang mengutus utusan. Bahkan saya sendiri sempat kaget, karena ketika bertemu dengan salah satu pemimpin sekolah teologi besar mengatakan bahwa kongres ini ditunda sampai tanggal 5 Desember. Itu juga menyebabkan ada yang tidak hadir. Yang juga disayangkan, tidak adanya wakil pemerintah yang hadir dalam pembukaan, padahal siangnya (28/11) saat hari pembukaan, saya sendiri sempat rapat dengan pejabat di Bimas Kristen Kemenag RI. Yang aneh adalah tidak ada juga pimpinan PGLII (lembaga Injili) yang hadir, di mana seharusnya PASTI menjadi sayap penting dalam perjuangan gereja-gereja Injili di bawah naungan PGLII. Bahkan yang paling ironi, sebagian besar sekolah-sekolah teologi yang hadir hanya mengutus staf mereka (baik puket maupun dosen biasa) untuk acara akbar 4 tahunan ini. Bisa dibayangkan kualitas sebuah kongres bila pucuk pimpinan pengambil keputusan tidak menghadiri kongres. Ini menjadi semacam kongres asal-asalan saja diadakan. Apalagi ada salah satu pengurus inti PASTI periode 2007-2011, jelas-jelas ada di Jakarta namun tidak menghadirinya. Meskipun demikian, pada satu sisi ego sekolah sekolah teologi yang merasa dirinya “hebat” harus diturunkan dengan mau menghadiri acara ini. Seharusnya kita hadir tanpa harus memiliki pretensi diangkat menjadi pejabat di kepengurusan PASTI. Lembaga ini adalah milik kita dan tanggung jawab bersama untuk membesarkannya. Para pemimpin STT harus mau bersama bersekutu dan jangan sibuk dengan urusan sendiri.

Kedua, terpilihnya Dr. Hendrik J. Ruru kembali menyisakan banyak pertanyaan dan keraguan apakah PASTI akan bisa jalan lebih baik atau jalan di tempat atau tidak tahu akan dibawa ke mana? Beliau adalah orang baik, kaum profesional, dan seorang yang memegang jabatan penting di perusahaan multinasional. Apalagi saat ini beliau lebih banyak tinggal di luar negeri dan mengajar hanya bersifat “block teaching”. Tentu kita tidak meragukan kapasitas profesi beliau. Tapi bukankah lebih baik kalau Dr. Arnold Tindas (dari STT Harvest) yang menjadi Ketua Umum dan bukan menjadi Wakil Ketua. Dapatkah seorang yang bergerak di bidang non pendidikan teologi menahkodai sebuah lembaga pendidikan teologi Injili yang pernah sangat diperhitungkan di Asia? Mengapa beliau diminta terus naik, padahal secara tertulis beliau sudah menyatakan tidak bersedia dan akhirnya beliau meralat atas desakan peserta? Inilah kesalahan besar dalam strategi kepemimpinan PASTI. Apalagi periode 2007-2011, kepengurusan PASTI hampir tidak melakukan apa-apa yang signifikan. Hal itu diakui oleh beberapa pengurus yang lalu di mana mereka mengaku jarang sekali rapat kecuali ketemu waktu simposium.

Ketiga, materi simposium teologi pun dibuat asal-asalan di mana pembicara sendiri tidak memiliki keahlian di bidangnya. Tema multiplikasi menjadi suatu hal yang tidak lebih dari kajian minim sumber terbaru, minim pemikiran original dan hampir miskin sumbangan ilmu, karena ada pembicara tidak memiliki keahlian di bidangnya sesuai tema. Jadi acara simposium tidak lebih dari ajang “menggurui” dan peserta pun malas berinteraksi dalam sesi tanya jawab. Ke depannya, diharapkan bahwa simposium harus mengundang orang sesuai keahlian dan jika tidak ada ahli maka bisa diadakan dialog di mana ada saling “curhat” tentang pergumulan-pergumulan sekolah teologi saat ini.

Keempat, PASTI tidak melibatkan mahasiswa dalam acara ini. Padahal sepatutnya diundang mahasiswa-mahasiswa untuk dapat belajar bagaimana berorganisasi dan bersekutu bersama. Perhatian terhadap teolog muda tidak diberikan peran semestinya dalam pertemuan PASTI ini.

Kelima, tidak adanya pernyataan-peryataan yang bersifat kritis tentang berbagai hal dalam penyelenggaraan PTT (Perguruan Tinggi Teologi) seperti: 1) maraknya pendidikan teologi yang dijalankan asal-asalan; 2) tidak adanya kritik dan pengingatan kepada pemerintah (dalam hal ini Kemenag RI Bimas Kristen) agar tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan sekolah secara mudah dan sembarangan hanya karena mampu membayar; 3) Disinyalir bahwa mendapat gelar sarjana sangat mudah, bahkan ada sarjana yang bisa didapat dalam tempo 3 bulan sampai 1 tahun. Ini tidak beda dengan kursus-kursus. Kok bisa disejajarkan dengan S1? Praktik koruptif sekolah teologi dan bisnis terselubung seperti ini perlu diingatkan agar PTT tidak sembarangan dalam memberikan gelar dan diberikan hanya dengan membayar. Penerimaan keanggotaan seharusnya diseleksi dengan ketat dan bertujuan membina. Bagaimana disebut sekolah Injili dengan semangat kekudusan, pekabaran Injil dan Alkitab sebagai firman Allah, namun dalam praktik penyelenggaraan pendidikan teologi memakai praktik koruptif dalam pelaksanaannya?

Lebih dari itu, sudah lama PASTI disindir sebagai ajang “pelegalan” dan perlindungan sekolah-sekolah teologi abal-abal (tidak jelas). PASTI seharusnya tidak menerima dengan sembarangan PTT menjadi anggota, karena sulit rasanya membina PTT bila standar minimal perguruan tinggi tidak terpenuhi seperti ketersediaan gedung, dosen dan perangkat administrasi pendidikan dan akademik. Bila ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin PASTI akan ditinggalkan anggotanya yang merasa tidak nyaman karena PASTI dipakai alat kepentingan dan bukan persekutuan yang memajukan pendidikan teologi Injili di Indonesia.

Keenam, dalam membangun jejaring nasional dan internasional, PASTI masih sangat lemah. Minat mendaftar di ATA (Asia Theological Association) pun sangat kurang, sehingga kita tidak memiliki informasi dan jejaring yang kuat. Malahan masing-masing lembaga pendidikan teologi yang membangun jejaring sendiri. Sebagai contoh, tidak adanya “follow up” pembicaraan soal konferensi Injili sedunia terbesar yaitu Lausanne Conference. Bisa dibayangkan Lausanne Conference III yang diselenggarakan di Cape Town Afrika setahun yang lalu tidak ada dampaknya dalam konteks PASTI karena hampir tidak ada yang mengikutinya. Bahkan isu-isu Injili tahun 80-an masih dibahas. Di sini jelas PASTI masih kelihatan “jadul” dalam menghadapi era baru kaum Injili.

Dari berbagai catatan ini, kiranya pengurus PASTI dapat memicu diri untuk berbuat sesuatu untuk periode 2011-2015. Sayang sekali bila kepengurusan baru ini hanya berupa “display” nama (alias pameran nama) tanpa ada aksi dan kerja nyata. Saya secara pribadi khawatir bahwa PASTI akan tidak dapat berbuat apa-apa dan makin dijauhkan oleh sekolah-sekolah anggotanya. Quo Vadis PASTI? Pertanyaan ini seharusnya menjadi tantangan bagi pengurus baru untuk menetapkan arah perjuangan kaum Injili lewat pendidikan teologi dan menjadikan wadah PASTI bergengsi dan dihargai. Jangan sampai jadi tunggangan kepentingan sesaat. Semoga terwujud!

Monday, November 21, 2011

Ancaman Terhadap Makna Pelayanan

Pada masa kini kata “pelayanan” sudah menjadi istilah populer, tetapi banyak yang tidak memahami arti pelayanan yang sebenarnya. Ada hal positif ketika jemaat mulai terlibat aktif dalam pelayanan di mana tadinya hanya rohaniwan (kaum klergi) yang melakukannya. Namun muncul keprihatinan karena pelayanan kadangkala sudah dicampurbaurkan dengan bisnis, cinta akan uang telah masuk ke gereja, sinkretisme dengan budaya populer (pop culture) yang berujung kepada materialisme dan pola hidup konsumeristik. Pengaruh budaya populer saat ini menghasilkan begitu banyak godaan dalam pelayanan seperti haus kekuasaan, mengincar jabatan sebagai identitas diri, berbagai penyimpangan dan dosa seks dan gaya hidup hedonistik. Tidak sedikit pernikahan dan keluarga Kristen berantakan karena pengaruh ini dan yang menyedihkan adanya pembiaran terhadap berbagai ancaman ini.

Untuk itu kami merasa perlu menyusun suatu makna pelayanan yang sesungguhnya yang Tuhan kehendaki. Namun terlebih dahulu kami perlu mengangkat terlebih dahulu isu-isu soal ancaman pelayanan yang muncul saat ini dan bagaimana harus menyikapinya:
1. Adanya pengajaran teologi kemakmuran yang berfokus kepada kekayaan materi, di mana beranggapan bahwa orang percaya pasti akan menjadi kaya secara materi. Pengajaran ini menarik begitu banyak orang yang beranggapan bahwa berkat materi merupakan tujuan dari kekristenan. Harus disadari bahwa pengajaran ini menyesatkan karena tidak bisa membedakan kemakmuran (prosperity) secara menyeluruh dan hanya berfokus kepada kemakmuran materi.
2. Gereja telah disinyalir menjadi ajang bisnis, di mana ada fihak yang mendirikan gereja dengan tujuan mendapatkan keuntungan materi. Cara yang teridentifikasi seperti membuat gereja baru dengan menyiapkan berbagai fasilitas lalu mengundang pemain musik dan pengkotbah tamu yang diberikan imbalan materi. Sedangkan dirinya tidak perlu berkotbah ataupun melayani, tapi cukup menjadi “manajer” bagi gereja itu. Uang telah menjadi tujuan pelayanan, di mana pelayanan telah menjadi profesi. Jiwa-jiwa dilihat dari potensi materinya belaka.
3. Juga adanya praktik korupsi atau penyalahgunaan hal keuangan dalam gereja, di mana tidak bisa membuat akuntablitas, menjalankan proposal dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan berbagai tindakan korup lainnya.
4. Ada hamba Tuhan mulai meninggalkan pelayanan dan tergoda menjadi politikus dan pekerjaan lain yang dianggap dapat memberikan kesejahteraan materi. Pekerjaan sebagai hamba Tuhan dianggap sebagai karir saja, sehingga panggilan itu berubah ketika ada hal lain yang bisa lebih menjanjikan.
5. Ketika budaya populer sudah memasuki begitu dalam, maka muncul godaan-godaan yag begitu banyak, termasuk soal pecitraan penampilan. Penampilan fisik telah begitu dipuja dan mengambil alih panggilan kepada pelayanan, karena ada yang beranggapan bahwa penampilan fisik adalah penentu bagi orang mau mendengar Injil dan kotbah. Penampilan itu disertai dengan penggunaan gadget, kendaraan, serta pakaian yang mewah dan dijadikan fondasi harga diri seorang hamba Tuhan. Ada yang beranggapan bahwa penampilan yang mewah (luxury) akan menambah wibawa pelayanan karena orang tertarik kepada Injil kalau hamba Tuhannya diberkati (secara materi dan penampilan).
6. Ada lagi godaan yang terbesar yaitu, godaan itu di sekitar area seksualitas, yang meliputi humor-humor kotor, pornografi, perselingkuhan, homoseksualitas dan berbagai penyimpangan seks lainnya. Seringkali hal ini banyak dibicarakan, namun tidak ada upaya dan tindakan jelas tentang bagaimana memelihara kesucian hidup.

Maka dalam suasana ancaman pelayanan yang demikian, perlu diingatkan kembali akan arti pelayanan dan juga bagaimana menghadapi tantangan pelayanan di era yang baru ini:
1. Menegakkan arti pelayanan itu penting bagi setiap mereka yang akan melayani. Melayani artinya melakukan pelayanan seperti Yesus Kristus kepada Bapa di surga dengan perantaraan Roh Kudus untuk gereja dan dunia. Yesus Kristus adalah teladan dan menjadi pusat pelayanan kita.
2. Pelayanan membutuhkan uang, tetapi bukan tujuan dari pelayanan itu sendiri. Jadi, materi merupakan sarana penunjang pelayanan, namun pelayanan tidak bergantung pada materi. Gereja harus mendapatkan keuangan dengan cara yang benar dan Alkitabiah.
3. Gereja harus menolak pengajaran teologi kemakmuran yang berfokus kepada kemakmuran materi (uang) semata, sebaliknya gereja patut mengajarkan kemakmuran yang menyeluruh dan seimbang yang berpusat pada pengajaran Yesus.
4. Penting bagi setiap hamba Tuhan memelihara integritas hidupnya. Integritas dalam pelayanan merupakan kunci kemenangan terhadap godaan-godaan. Maka pengajaran tentang integritas, kesucian hidup, dan penerapan disiplin dalam pelayanan perlu mendapat perhatian khusus bagi pemimpin gereja.
5. Hamba-hamba Tuhan agar terus waspada terhadap berhala-berhala modern yang memasuki cara pandang kita, serta tidak melacurkan panggilan untuk mendapatkan keuntungan materi. Hamba Tuhan bukan karir dan pekerjaan yang dinilai dengan uang dan prestise, tapi panggilan Allah yang mulia.
6. Panggilan pelayanan adalah untuk menjadi berkat bagi sesama dan dunia. Memercayai janji dan penyertaan Tuhan adalah kunci pelayanan yang diberkati (Mat 28:20)

(Didiskusikan dan disusun bersama dalam kelas Falsafah Pelayanan (Theology of Ministry) program Pascasarjana STT Jaffray, semester ganjil tahun 2011. Dosen: Pdt. Dr. Daniel Ronda; Mahasiswa: dr. Simon Tarigan, Yohanes Tulungallo, Jhon Manalu, Ezra Tari, Nonik Yemni, Ronald Sumigar, Johnny Sumarauw, Yofsan Tolanda, Yunus Laukapitang, Hengi Wijaya, Wahyudi Binti Sylvester).

Thursday, November 17, 2011

PELANTIKAN DAN PENEGUHAN KEPEMIMPINAN STT JAFFRAY:

Pada tanggal 8 November telah dilantik Ketua STT Jaffray yang baru untuk periode kedua (2011-2016) oleh ketua Umum GKII Pdt. Paul Paksoal, M.Div. dan didampingi Sekretaris Umum Pdt. Sebinus Luther, M.Th. Selanjutnya pada saat yang sama dilantik Badan Pengurus Yayasan Jaffray periode 2011-2016). Pada tanggal 10 November dilantik pula tim unsur pimpinan STT Jaffray oleh Ketua dan Yayasan Pendidikan Jaffray. Adapun susunan pengurus dan kepemimpinan sebagai berikut:

YAYASAN PENDIDIKAN JAFFRAY PERIODE 2011-2016
Penasehat : Drs. Anton Obey
Ketua : A.M. Tjandra, M.Si.
Sekretaris : Dr. Simon Tarigan, Sp.THT, STh.
Bendahara : Ir. Samuel Arnold Saputra
Anggota : 1) Ketua Umum GKII (ex officio)
2) Pdt. Hoki Paulus Santosa, S.Th.
3) Drs. Patampa
4) Ade Widagdo
5) Meily Lunanta, MA

KEPEMIMPINAN STT JAFFRAY PERIODE 2011-2016
Ketua : Pdt. Dr. Daniel Ronda, Th.M,
Puket I Bidang Akademik : Pdt. Dr. Peniel Maiaweng
Puket II Bidang Adm/Keu. : Pdt. Zeth Tuhumury, S.Th.
Puket III Bidang Kemahasiswaan : Pdt. Robi Panggarra, M.Th.
Dir. Pascasarjana : Pdt. Made Astika, Ph.D.
Ketua Program Ekstensi : Pdt. Dr. Jermia Djadi
Ketua Lembaga Penjaminan Mutu : Pdt. Dr. Ivan Weismann, S.Th.

Sunday, August 7, 2011

LIMA PRINSIP PEMIMPIN ROHANI

Oleh Daniel Ronda

Banyak gereja mengeluh kesulitan mendapatkan pemimpin untuk menjadi gembala di gereja mereka. Tamatan sarjana Alkitab atau Teologi banyak, tetapi mendapatkan pemimpin rohani sangat sulit. Tentu mencari akar penyebabnya tidak mudah. Namun banyak yang menunjuk “pabrik”nya yaitu sekolah teologi. Sekolah teologi atau seminari sering dijadikan sasaran atau kambing hitam atas kesulitan mendapatkan pemimpin rohani. Pada satu sisi mungkin saja benar di mana pembinaan di sekolah teologi hanya berfokus kepada persoalan intelektual belaka dan tidak melakukan pendidikan yang sungguh-sungguh mengikuti teladan yang Yesus berikan secara nyata. Masalahnya bagaimana menciptakan pemimpin rohani? Sekolah teologi bukan satu-satunya yang harus ditimpakan kesalahan. Namun semua fihak bertanggung jawab, dalam hal ini diri pribadi pemimpin orang itu, gereja di mana dia menjadi anggota dan mengutusnya, dan juga tentunya sekolah teologi. Bila pemimpin itu sendiri tidak mau dibentuk oleh Kristus dan Firman, maka sulit bagi kita untuk mendapatkan kualitas pemimpin rohani yang diharapkan. Gereja juga bertanggung jawab melakukan pembinaan dan melatih dalam melayani dan tidak memberikan rekomendasi bila calon ini masih diragukan komitmen pelayanannya. Dan akhirnya sekolah teologi bertanggung jawab membentuk calon pemimpin secara menyeluruh dan bukan hanya intelektualnya saja belajar tentang Tuhan.
Namun pemimpin rohani itu sebenarnya seperti apa? Tentu jawabannya kompleks dan banyak. Namun khusus dalam bagian ini penulis akan memaparkan secara singkat lima prinsip pemimpin yang rohani dan yang harus dihidupi pemimpin. Ini ditulis oleh Chris Larson, di mana menurut penulis kelima prinsip pemimpin rohani ini terinspirasidari kehidupan seorang tokoh hamba Tuhan yang sangat dikenal di dunia yaitu Dr. John MacArthur (teolog, pengkotbah dari tradisi Reformed Injili). Kelima prinsip pemimpin rohani itu adalah:*

1. Pemimpin rohani adalah orang yang memimpin dan menuntun kehidupan orang lain dengan Firman Tuhan, yaitu yang menjadikan Alkitab adalah Firman Tuhan. Dia menolak bentuk-bentuk kepemimpinan yang memakai berbagai bentuk tekanan dan pengaruh yang bukan dari Firman Tuhan. Dia tidak memakai cara kasar dan kotor untuk memimpin. Perhatiannya adalah mengajarkan Firman Tuhan secara akurat, dan memperlihatkan kehidupan yang tunduk kepada otoritas Firman Tuhan.

2. Pemimpin rohani menginspirsasikan kasih sayang kepada orang yang dipimpinnya karena mereka belajar Kristus dari sang pemimpin dan melihat Kristus di dalam pemimpinnya. Mereka mengikuti dia karena dia mengikuti Kristus. Dan mereka mengasihi dia karena dia mengasihi mereka di dalam Kristus. Rasul Paulus menyimpulkan roh dari pemimpin yang benar ketika dia menulis, “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus (1 Kor 11:1). Versi NKJV mengatakan: “Imitate me, just as I also imitate Christ”. Di sini Paulus sebagai pemimpin minta pengikutnya meniru dia sebagaimana dia meniru Kristus. Dan jangan pernah ragu akan apa yang Firman Tuhan katakan untuk ditiru. Banyak bagian Alkitab menjadikan Kristus sebagai teladan untuk diikuti, di mana penekanannya kepada kerendahan hati.

3. Pemimpin rohani siap menjadi pemimpin yang tidak populer. Dari sejak raja Israel yaitu Ahab yang menuduh Elia dengan mengatakan: "Engkaukah itu, yang mencelakakan Israel?", membuktikan bahwa kesetiaan kepada Firman Tuhan seperti Elia tidak akan membawa popularitas bagi mayoritas pengikut.Dr. MacArthur secara jelas mengatakan, ‘You cannot be faithful and popular, so take your pick (Kamu tidak bisa bersamaan setia dan populer, pilihlah).’ Pencarian terhadap popularitas adalah sesuatu yang bersifat jangka pendek dan tidak berusia lama. Sukses itu bukan kekayaan, kuasa, kemapanan, popularitas, dan semua hal yang dunia sebutkan tentang sukses. Sukses sejati adalah melakukan kehendak Allah walaupun ada harga yang harus dibayar.

4. Pemimpin rohani harus bangkit dan memiliki kesadaran akan adanya bahaya zaman. Tidak semua pemimpin Kristen memiliki kemampuan untuk mengerti dan memahami zaman seperti yang diberikan kepada Bani Isakhar. Firman Tuhan berkata: “Dari bani Isakhar orang-orang yang mempunyai pengertian tentang saat-saat yang baik (understanding of the times), sehingga mereka mengetahui apa yang harus diperbuat orang Israel” (1 Taw 12:32). Ada dalam periode sejarah gereja di mana pemimpin melakukan kesalahan serius dalam bagaimana Kristus diberitakan. Ada juga tanda-tanda zaman yang salah dibaca, sehingga melahirkan pemimpin yang keliru dalam memahami akhir zaman ini. Ada pula pemimpin yang membiarkan pengajarannya menjadi sangat sekuler dan mengikuti prinsip-prinsip dunia dengan alasan mengikuti tren zaman. Pemimpin rohani yang sejati akan bangkit memberikan tuntunan yang Allah berikan.

5. Pemimpin rohani tidak akan menuntun pengikutnya untuk fokus kepada dirinya sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin, dia sendiri secara pribadi berhutang segalanya kepada Kristus. Sebagai seorang berdosa, dia melihat ada suatu kebutuhan untuk hidup dalam roh pertobatan dalam seluruh kehidupannya. Dia menyadari ada jarak dan kontras apa yang ada dalam dirinya dan berita yang dikotbahkannya. Itu sebabnya pemimpin harus menyadari bahwa kalaupun dia berhasil, itu karena Tuhan. Paulus berkata: “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami “ (2 Kor 4:7). Terpilihnya seseorang menjadi pemimpin, itu karena Allah memilih kita dan itu semata-mata atas dasar kedaulatan-Nya dalam memilih, sehingga Dialah yang harus menerima hormat dan kemuliaan. Dia memilih kita yang lemah sehingga tidak ada pemimpin yang bisa membanggakan diri, tetapi membanggakan Tuhan, di mana kita adalah hanya alatNya.

Akhirnya, pemimpin rohani yang sejati adalah mereka yang memimpin orang lain dengan satu filosofi dasar dalam kepemimpinannya: “Bukan kepada kami, ya TUHAN, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mulah beri kemuliaan, oleh karena kasih-Mu, oleh karena setia-Mu!” (Maz 115:1). Kiranya lewat lima prinsip ini akan lahir pemimpin rohani sejati yang dapat sangat dirindukan gereja masa kini.

*Bagian ini disadur dari “5 Principles for Evangelical Leadership” oleh Chris Larson diambil di http://www.ligonier.org/blog/5-principles-evangelical-leadership/, diakses tanggal 6 Agustus 2011.

Monday, May 23, 2011

Kisah Tersisa dari Pemilihan Ketua Umum GKII di Samarinda

Di dalam lingkungan Gereja Kemah Injil Indonesia terjadi pemilihan kepemimpinan untuk periode 2011-2016 pada Konferensi Nasional ke-7 di Samarinda tanggal 16-21 Mei yang lalu. Dan Pdt. Paul Paksoal terpilih kembali sebagai Ketua Umum dengan total suara 271 dari 387 pemilih (ada 2 suara tidak sah).

Yang menarik adalah bahwa ketua umum yang tepilih hanya bergelar master dan 3 kandidat lain bergelar Doktor (S3). Banyak yang bertanya mengapa bisa? Apa indikasi semua ini? Ini membuktikan bahwa dalam kepemimpinan GKII yang diperlukan adalah pemimpin berhati gembala. Pemimpin yang mampu mengayomi, mendengar, menjadi penguat dan menolong mereka yang membutuhkan pertolongan.

Ini tidak lalu dianggap bahwa pemimpin gembala tidak perlu punya pendidikan yang tinggi, punya visi yang jelas dan rencana strategis serta kemampuan menajemen yang kuat. Semuanya harus dimiliki pemimpin. Tetapi semua karakteristik itu harus terangkum dalam kepemimpinan gembala. Artinya, pemimpin yang berhati gembala harus menjadi gaya hidup pemimpin sehingga semua strategi yang disusun ke depan dapat dilaksanakan.

Ini pembelajaran bagi pemimpin gereja masa depan. Kalau mau menjadi pemimpin, mulai kembangkan intelegensi emosi dan spiritualitas kita. Pendidikan tinggi memang penting, tapi bukan segala-galanya. Belajar rendah hati, suka mendengar, rajin menolong, senang memberikan penguatan dan pengharapan, suka memberikan tumpangan (alias tidak kikir), murah hati, tidak sombong (kelewat PD), penuh dengan kasih, tidak takut kritik, setia, dan ada kesetiakawanan di mana mau mengangkat orang lain. Semua kecerdasan ini harus dimiliki pemimpin gereja. Intinya belajar dari Kristus!

Selamat atas tugas yang baru Pdt. Paul. Tuhan menyertai perjalanan kepemimpinan untuk 5 tahun mendatang.

Monday, February 28, 2011

Perselingkuhan Emosi: Ketika Persahabatan Melewati Batas Kewajaran

Daniel Ronda

Dengan adanya kesamaan gender, di mana pria dan wanita mendapat peluang yang sama dalam karir dan bidang kepemimpinan, maka ada hal menarik bahwa pria dan perempuan tanpa batas melakukan interaksi yang intens dalam tugas, yang bahkan interaksi itu melebihi interaksi dengan pasangan masing-masing di dalam rumah tangga, terutama waktu dan komunikasi. Laki-laki dan perempuan akhirnya menjadi sahabat. Kita umumnya sepakat persahabatan dengan lawan jenis itu wajar, walaupun masing-masing telah memiliki pasangan. Tetapi batas yang wajar dalam persahabatan itu seperti apa? Karena tidak sedikit pasangan masing-masing mengeluh bahwa sahabatnya lebih mendapat tempat dibandingkan dirinya sebagai pasangan.

Jadi walaupun hubungan persahabatan laki-laki dengan perempuan yang bukan hal aneh, tetapi tetap harus mendapatkan perhatian. Sekalipun pernikahan kita kuat, tapi perlu menjaga hubungan pernikahan dari segala bentuk godaan, cobaan, dan potensi perselingkuhan. Karena bukan tidak mungkin, perselingkuhan emosional berakhir dengan perselingkuhan yang sebenarnya.

Menurut Debbie L. Cherry bahwa perselingkuhan umumnya dimulai dari persahabatan yang tidak ada motif apapun. Artinya dimulai dengan murni persahabatan. Umumnya persahabatan terjalin di tempat kerja, rumah ibadah, sekolah. Bila tidak dibuatkan pagar perlindungan maka biasanya akan terbentuk persahabatan yang lebih akrab, mulai dari jalan bareng, percakapan-percakapan berdua, dilanjutkan dengan chatting lewat internet (email, yahoo messenger, atau facebook), chatting lewat sms atau bbm (blackberry messenger), lalu ada percakapan telepon yang lama. Tanpa disadari hal ini sudah memasuki hubungan yang lebih akrab bahkan memasuki perselingkuhan emosional walaupun belum melibatkan sentuhan fisik.

Kehancuran mulai terjadi ketika kedua insan berlainan jenis ini mulai bertukar informasi, pikiran-pikiran, perasaan-perasaan yang seharusnya informasi dan perasaan itu sebenarnya hanya eksklusif milik suami istri. Dan mulai menjadi buruk ketika tidak ada kegairahan dan menjaga jarak dengan pasangan dan mulai merindukan teman untuk diajak bicara daripada pasangannya sendiri. Puncaknya adalah persahabatan melewati batasnya dan mulai muncul masalah pernikahan yang sebenarnya tidak boleh ada yaitu rahasia dan bohong. Dan ketika kebohongan ini dimulai akan sulit dihentikan. Perselingkuhan fisik tinggal menunggu momen yang tepat dan tidak ada yang bisa menghentikannya.

Karena perselingkuhan emosional tidak melibatkan masalah seks, maka banyak orang menganggap biasa-biasa saja dan mencoba membela diri dengan mengatakan bahwa mereka hanya berteman biasa, tidak ada sentuhan-sentuhan, walaupun pergi berdua kami tidak melakukan hal yang salah. Mereka menganggap hubungan yang tidak melibatkan seks (platonic) adalah hal yang wajar. Tetapi bila sudah memasuki perselingkuhan umumnya pasangan yang tidak setia sudah mengesampingkan rasa bersalah.

Memang sebelum pernikahan kita mungkin memiliki teman berbeda jenis banyak sekali, tetapi ketika sudah menikah, maka pasangan kita adalah yang utama dari segala jenis hubungan dan harus dilindungi dari berbagai ancaman. Kata kunci untuk mengatasi masalah ini adalah kejujuran dalam menghadapi perselingkuhan emosional. Coba jujur dengan pertanyaan di bawah ini di mana mungkin Anda sudah melewati batas persahabatan. Bila jawabannya “ya” mulai segera menyadarinya:
1. Apakah percakapan dengan sahabat membahas hal yang seharusnya hanya percakapan dengan pasangan kita?
2. Apakah Anda merindukan sahabat Anda itu siang malam untuk bicara dan bertemu?
3. Apakah Anda mulai menarik diri atau menjauh dari pasangan Anda secara fisik dan emosional?
4. Apakah Anda mencoba mencari-cari alasan untuk bertemu dan berbicara dengan sahabat Anda?
5. Apakah Anda membagikan pikiran-pikiran, perasaan dan problem dengan sahabat Anda dan bukan dengan pasangan?
6. Apakah Anda mulai percaya bahwa teman Anda lebih mengerti Anda daripada pasangan Anda?
7. Apakah ada kata-kata saling menggoda dan minat secara seksual meningkat antara Anda dengan teman Anda?
8. Apakah Anda mencoba mencari cara untuk menyentuh teman Anda secara “benar”, misalnya gandeng tangannya waktu menyeberang, pegang bahunya kalau jalan di pinggir jalan dengan alasan supaya tidak tertabrak kendaraan, dan hal lainnya?
9. Apakah Anda mulai berdandan lebih lama atau memperhatikan penampilan sebelum bertemu sahabat Anda itu?
10. Apakah ada rahasia dalam hubungan pertemanan itu (berapa lama Anda menghabiskan waktu, apa yang Anda lakukan, dan apa yang Anda percakapkan?)

Lindungi Pernikahan Anda: Tidak ada suatu pernikahan yang kebal akan perselingkuhan. Semua kita (termasuk saya) bisa dalam ancaman untuk terjebak ke dalam perselingkuhan emosional. Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam melindungi pernikahan pemimpin:
1. Berusaha jujur dengan diri sendiri dan pasangan Anda. Jika Anda tertarik dengan seseorang, akuilah itu kepada diri dan jika memungkinkan kepada pasangan. Kejujuran adalah kata kunci melindungi diri dari perselingkuhan.
2. Bersikap kritis terhadap film, majalah atau bentuk media apapun yang bertoleransi terhadap perselingkuhan.
3. Coba melihat hubungan Anda dalam perspektif pasangan Anda. Apakah pasangan Anda nyaman punya sahabat lawan jenis yang begitu dekat? Apa perasaan pasangan Anda jika mengetahui apa yang Anda lakukan?
4. Jangan menggoda secara seksual. Kebanyakan perselingkuhan dimulai dari godaan yang tidak ada rasa bersalahnya ("innocent flirting"), tetapi prinsip persahabatan itu jelas bahwa persahabatan tidak pernah melibatkan godaan secara seksual.
5. Jadikan pernikahan sebagai prioritas paling utama. Kita mengupayakan untuk memenuhi kebutuhan pasangan kita.
6. Bertumbuh dalam kerohanian secara bersama-sama di mana saling mendoakan dan berdoa bersama-sama dalam keyakinan kita.
7. Cipatakan batas dalam bagaimana kita berinteraksi dengan teman kita yang berbeda jenis kelamin. Misalnya, Anda memutuskan untuk tidak mau berduaan untuk pergi ke suatu tempat dengan lawan jenis, sekalipun itu urusan bisnis.
8. Upayakan berteman dengan pasangan-pasangan bahagia yang tidak melakukan hal-hal aneh dalam pernikahan mereka.
Pemimpin dan siapa saja bisa melindungi pernikahan dari perselingkuhan emosional, tetapi itu melibatkan suatu komunikasi yang jujur dan terbuka dengan pasangan, dan adanya suatu komitmen untuk melindungi pernikahan. Keluarga kita adalah yang paling utama.

(Tulisan ini diambil sebagian besar ide dari Dr. Debbie L. Cherry: tulisan ini pertama kali muncul di “the Couples” Edisi Mei, 2008 issue of Focus on the Family magazine. Copyright © 2008 Dr. Debbie L. Cherry)

Friday, February 18, 2011

Humor dalam Kotbah

Daniel Ronda

Bulan Desember ini saya ditelepon seorang panitia Natal untuk berkotbah di gerejanya. Setelah saya menyetujui karena memang belum ada jadwal, maka panitia menitip pesan kepada saya agar dalam kotbah agar banyak diberikan humor. Berkali-kali dalam telepon itu dia menekankan agar saya melucu. Saya mengiyakan, namun hal ini membuat saya bertanya-tanya, apakah dia memerlukan pengkotbah atau pelawak? Bagaimana sebenarnya kedudukan humor dalam kotbah?

Humor adalah bagian penting yang patut dipertimbangkan dalam menyampaikan kotbah. Menjadi humoris tentu tidak mudah, namun kemampuan tertawa dan menertawai diri adalah hal yang perlu dilatih dan itu adalah sebuah pilihan. Umumnya pengkotbah terkenal memiliki selera humor (sense of humor) yang baik. Sebut saja misalnya, Charles Spurgeon. Ia dikenal menggunakan humor. Cuma harus diingat bahwa humor bukan sebuah keharusan di dalam sebuah kotbah, karena humor harus dipergunakan dengan hati-hati. Tidak sedikit pengkotbah menggunakan humor yang tidak ada hubungan sama sekali dengan isi kotbahnya. Bahkan ada pengkotbah yang tidak lagi humoris tapi sudah seperti pelawak. Harus diingat, panggilan pengkotbah tidak sama dengan profesi pelawak, dan tujuannya bukan untuk menjadi penghibur yang kerjanya hanya membuat jemaat tertawa terpingkal-pingkal. Jemaat pun umumnya senang kalau pengkotbah itu banyak humornya. Walaupun ada penyalahgunaan humor dalam kotbah, tetapi tetap humor itu sah dalam kotbah, seperti yang dikatakan John Stott, “Humour is legitimate.”

Apa sebenarnya kegunaan humor dalam kotbah? Dalam tulisannya, John Beukema menuliskan beberapa keuntungan dalam menggunakan kotbah. Pertama, humor mengatasi kekerasan hati manusia (humor overcomes defenses). Manusia umumnya susah ditegur dan dikritik secara langsung. Maka cara yang lain yang bisa meredakan sikap defensif dalam mendengar teguran Tuhan yaitu dengan humor. Bila dibandingkan dengan budaya di Jawa, maka para raja Jawa sendiri sering dikritik bawahannya lewat humor, maka muncullah punakawan (Bagong, Gareng, Petruk, Semar) yang kerjanya mengkritik dengan humor. Dalam pengalaman pelayanan pun, pengkotbah merasa nyaman mengkritik keras lewat humor dan jemaat pun bisa menertawai kelemahan dan dosanya.

Kedua, humor melepaskan ketegangan (humor relieves tension). Dalam kotbah, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa argumen-argumen, data, statistik, kalimat retorika dan cerita bisa membuat tegang pendengar. Maka dengan memasukkan humor kita akan melepaskan ketegangan jemaat dalam mendengar kebenaran yang berat di telinga kita. Logika dan argumen telah memberatkan kotbah dan konsep-konsep menjadi suatu yang tidak menarik, apalagi itu berhubungan dengan masa lalu yaitu sejarah Israel. Humor akan membantu membawa kepada lepasnya ketegangan itu.

Ketiga, humor meningkatkan minat mendengar kotbah (Humor Heightens Interest). Bila konsep membosankan, apalagi pernyataan itu sudah sering atau berkali-kali didengar maka humor meningkatkan minat mendengar kalimat-kalimat yang disajikan berikutnya.

Keempat, humor menunjukkan kemanusiaan kita (Humor Shows Our Humanity). Humor juga menyatakan bahwa kita adalah manusia. Dengan mempertunjukkan sisi kelemahan manusia, justru membuat orang menyadari kekurangannya dan mencoba berubah menurut tuntunan Tuhan.

Kelima, humor mengekspresikan sukacita Tuhan (Humor Expresses the Joy of the Lord). Tidak ada kata sukacita kalau tidak ada ekspresi dalam wajah dan tubuh. Itu sebabnya Tuhan mau kita tertawa karena tertawa adalah cara mengekspresikan sukacita yang dari Tuhan.

Keenam, humor menciptakan hubungan antara pembicara dengan pendengarnya (Humor Establishes a Connection Between the Speaker and the Audience). Hubungan yang dimaksud adalah perhatian dari pendengar sehingga tercipta suatu relasi sebelum isi kotbah disampaikan. Humor bisa juga membuat kedekatan pengalaman antara pengkotbah dan jemaat.

Ketujuh, humor mendorong rasa kebersamaan (Humor Encourages a Sense of Community). Jemaat dan pengkotbah ada jarak saat dia berdiri di depan mimbar dan jemaat send iri juga terasing di tempat duduknya. Maka dengan humor di awal kotbah bisa menjadi pemecah kedinginan dalam suasana sehingga menjadi cair dan saat yang sama jemaat merasakan kebersamaan ketika tertawa.

Kedelapan, humor menuntun perhatian jemaat kepada kebenaran (Humor Draws Attention to the Truth). Bila dalam budaya Jawa khususnya dalam pewayangan dan sendratari, humor para punakawan (Bagong, Semar, dan lainnya) adalah sebenarnya cara untuk mengkritik pemimpin mereka (baca Raja), karena dalam humor ada kebenaran. Begitu pula dalam kotbah. Ketika seorang menyampaikan kebenaran lewat humor, maka jemaat akan tertawa lalu menyadari dosa dan kesalahan mereka dan menuntun mereka kepada kebenaran.

Kesembilan, humor adalah bahasa universal dari budaya kita (Humor Is One Language of Our Culture). Bila setiap budaya memiliki keunikan masing-masing, maka senyum dan tertawa adalah bahasa universal manusia.

Bila demikian, apa kriteria humor yang baik? Ada beberapa humor yang tidak diperbolehkan dalam kotbah. Pertama, ada humor yang merendahkan orang lain, menertawai kelemahan fisik seseorang, suku dan ras, kecacatan fisik seseorang. Kedua, ada juga humor yang mengarah kepada percakapan seks kotor atau istilah populernya bicara porno atau yang menyerempet ke arah itu. Ini dilarang oleh Firman Tuhan untuk berbicara hal-hal yang cabul (Ef 5:4). Ketiga, sangat tidak pantas menertawakan hal-hal yang suci seperti soal perjamuan kudus, baptisan, atau doktrin tentang Tritunggal, termasuk keilahian Kristus. Prinsipnya adalah jangan mempermainkan sesuatu yang dianggap suci dan serius oleh Tuhan.

Kriteria humor yang baik adalah spontan, menjadi diri sendiri di mana tidak meniru orang lain, akui bila humor itu agak berlebihan, buat kejutan dalam humor. Jangan paksakan humor. Lebih baik tidak pakai humor daripada memakai humor yang tidak lucu dan tidak bisa membuat orang tertawa. Humor berhasil bila selesai diceritakan jemaat tertawa.

Darimana mendapatkan bahan humor untuk kotbah? Jawaban yang paling klasik yang diberikan oleh dosen saya adalah membeli buku-buku ilustrasi dan humor. Untuk itu setiap kali menggunakan buku, harap disebutkan sumber darimana dia mendapatkannya. Tetapi kehidupan sehari-hari bisa dijadikan bahan humor. Ada banyak kejadian dalam hidup ini yang bisa ditertawakan. Begitu pula cerita sahabat dan berbagai sumber bisa didapatkan humor. Asalkan selalu diingat bahwa humor itu hanya alat penunjang kotbah dan bukan tujuan dari kotbah itu sendiri.

Wednesday, February 16, 2011

Kotbah Ekspositori atau Kotbah Eksposisi?

By Daniel Ronda

Ketika saya mulai masuk sekolah teologi, saya selalu diberitahu baik teman-teman, kakak tingkat, bahkan dosen Homiletika saya bahwa kotbah yang Alkitabiah itu adalah kotbah Ekspositori. Saya sendiri awalnya tidak mengerti apa itu ekspositori, namun setelah belajar sedikit lalu saya fahami sebagai bentuk kotbah, dari antara bentuk kotbah lain seperti kotbah tekstual, kotbah topikal, dan kotbah naratif. Akibatnya saya mulai menganggap kotbah selain kotbah ekspositori itu salah. Itu karena saya terfokus kepada bentuk, di mana seorang pengkotbah fokus kepada satu paragraf teks dan kemudian mengeksposnya keluar dalam bentuk poin-poin kotbah.

Tetapi benarkah bentuk kotbah yang lain salah? Ternyata pandangan saya keliru. Sekarang saya menyadari bahwa apapun bentuk kotbah, entah itu topikal, tekstual, doktrin, naratif adalah tidak salah sepanjang menunjukkan kesetiaan dalam mengekspos firman Tuhan dan bukan hanya meminjam ayat-ayat Alkitab lalu memasukkan pikiran kita dalam berkotbah. Teks firman Tuhan lalu hanya stempel. Jadi kaidah eksposisi yang lebih penting daripada hanya mempertahankan istilah ekspositori sebagai bentuk kotbah. Bisa saja seseorang berkotbah dengan topik persembahan, tapi dia setia dengan firman Tuhan yang disajikan dengan mengekspos teks firman Tuhan yang dipilihnya. Seseorang bisa berkotbah secara naratif dan tetap setia mengekspos firman Tuhan.

Walaupun ada perdebatan panjang soal ekspositori atau eksposisi, maka banyak orang merujuk kepada Haddon Robinson yang mengatakan bahwa: “The type of preaching that best carries the force of divine authority is expository preaching.” (Tipe kotbah terbaik yang membawa kekuatan otoritas ilahi adalah kotbah ekspositori). Robinson jelas menunjuk kepada kotbah ekspositori dan meyakini bahwa otoritas Allah hanya terwujud jika kita setia kepada firman Tuhan yang kita ekspos dalam bentuk kotbah ekspositori. Saya setuju sekali dengan beliau. Cuma saya tidak sepakat di soal bentuknya. Bagi saya bentuknya bisa berbagai model kotbah. Sedangkan kata kunci yang saya sepakati adalah menjelaskan firman Tuhan.

Kata Ekspositori itu berasal dari akar kata “expository” yang diambil dari kata “expose”, yang berasal dari kata Latin “exponere”. Jadi kata Ekspositori dalam Latin (A.D. 180-600) atau exponere berarti “menafsirkan, membuat jelas atau menerangkan.” Jadi kotbah yang ekspositori secara etimologis berarti suatu prokalamasi di mana suatu subyek/teks dibuka dengan cara menjelaskan. Jadi katanya sendiri menunjuk kepada pembukaan dengan menjelaskan. Tetapi tidak berarti dikungkung dalam bentuk kotbah ekspositori yang dikenal selama ini di mana harus dua ayat lebih sampai satu paragraf, harus ada presuposisi teologis yang keluar dari teks. Dengan kata lain, bentuk kotbah ekspositori didasarkan kepada teks lebih dari dua ayat. Pembagian garis besar dan tema muncul dari teks itu. Pikiran dikembangan dari teks itu tanpa mengimpornya dari bagian Firman yang lain.
Namun bentuk kotbah ekspositori yang kita kenal di atas adalah hanya salah satu bentuk kotbah yang kita gunakan. Jangan salah faham, kotbah ekspositori itu sendiri hal yang sangat baik tetapi bukan satu-satunya bentuk kotbah.

Misalnya, Haddon Robinson mendefinikan “kotbah ekspositori adalah komunikasi konsep Alkitab, berdasarkan studi historis, gramatika, literatur teks dalam konteksnya, di mana Roh Kudus pertama-tama membentuk si pengkotbah, dan kemudian kepada jemaat.” Hal ini didukung oleh J. Osborn yang mengatakan “Selanjutnya kotbah ekspositori pertama-tama mempelajari apa yang Alkitab sesungguhnya katakan (says) lewat eksegesis. Lalu mempelajari apa sesungguhnya makna (means) lewat hermeneutika. Itu diikuti dengan penjelasan apa yang dikatakan dan apa makna kepada jemaat dengan menunjukkan bahwa ini relevan dalam kehidupan saat ini. Begitu juga definisi George Wood yang mengatakan bahwa kotbah Ekspositori: “berarti mengambil teks dari Alkitab, bisa panjang atau pendek, yang menjawab dua pertanyaan: “Apa yang telah dikatakan?” dan “Apa yang dikatakan saat ini?” Teks mengontrol semua isi kotbah.” Baumann, juga menyatakan bahwa kotbah ekspositori disatukan dalam satu tujuan dan subyek, dan berusaha menampilkan berita masa lalu dan sekarang. Tidak boleh dibingungkan oleh berbagai tafsiran, dan berbagai pandangan. Dia memiliki satu tema yang dikembangkan dari teks atau satu tema sebagai dasar memilih bagian teks Firman Tuhan. Jadi jelas bahwa kotbah ekspositori adalah baik, tetapi dalam kotbah tekstual pun bisa dilakukan eksposisi, dalam kotbah topikal bisa dilakukan eksposisi, dalam kotbah doktrin bisa dilakukan eksposisi, dan kotbah naratif dilakukan eksposisi. Bagi saya ekposisi firman Tuhan itulah kunci kotbah efektif dan baik.

Dapat kita simpulkan bahwa kotbah yang baik dan efektif adalah kotbah yang teks Firman Tuhan dieksposisi atau memiliki kaidah eksposisi. Kita dapat menguraikannya sebagai berikut: pertama, kotbah yang mengikuti kaidah ekposisi menguraikan bagian teks Firman Tuhan dengan kesetiaan dan tidak pergi ke sana kemari memakai teks yang hanya disebutkan secara sepintas, apalagi ayat firman Tuhan hanya tempelan belaka.
Kedua, kotbah yang mengikuti kaidah eksposisi memiliki integritas hermeneutik di mana teks diuraikan dengan menggali lewat studi historis, gramatika dan literatur teks penunjang di sekitar budaya teks baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Ketiga, kotbah yang mengikuti kaidah eksposisi memiliki kesinambungan nilai-nilai universal yang berlaku sampai saat ini. Benny Solihin menyebut adanya amanat kotbah sebagai kesinambungan dari amanat teks. Itu sebabnya tugas pengkotbah menemukan apa amanat teks lalu mengangkatnya menjadi amanat kotbah yang memiliki kebenaran abadi.
Keempat, kotbah yang mengikuti kaidah eksposisi memiliki aplikasi yang dapat dibawa jemaat ke dalam kehidupan jemaat saat ini. Aplikasi adalah suatu hal yang penting yang tidak bisa diabaikan. Tanpa penerapan yang memadai maka kotbah akan kehilangan maknanya.

Jadi kotbah ekspositori jangan dibatasi kepada bentuk, yang penting semua pengkotbah harus mengembangkan kotbah yang ekposisi.

Tuesday, January 18, 2011

Buku Baru dari Daniel Ronda

Buku baru "Leadership Wisdom" karangan Daniel Ronda terbitan Kalam Hidup Bandung akan terbit akhir Januari 2011.


Berikut komentar rekan dan senior penulis:

“Tulisan pendeta yang disayangi oleh banyak orang yang mengenalnya ini memberikan baik uraian tentang kerangka teoritis kepemimpinan. Lebih dari itu, penulis juga memaparkan bagaimana pemimpin menerapkan kepemimpinan rohani, kepemimpinan hamba dan kepemimpinan transformatifnya di dalam konteks pelayanan yang sedang berubah.” (Dr. Robby I. Chandra -Ketua Komisi Kependetaan Sinode GKI, Ketua Badan Bina Pendeta GKI SW Jabar, Wakil Ketua Badan Pengurus Young Leaders Indonesia, dan dosen MM Ukrida Jakarta jurusan Manajemen Gereja.)

“Buku “Leadership Wisdom” memperingatkan saya untuk mengatakan bahwa “Kepemimpinan bukan segalanya, dan segalanya bukan kepemimpinan. Kepemimpinan memang membutuhkan segalanya, karena tanpa segalanya, kepemimpinan tidak akan ada artinya. Artinya, dengan mempelajari seperangkat ilmu kepemimpinan, tidak akan berarti tanpa dukungan dari ilmu pengetahuan lainnya.  Tetapi pada sisi lain, dapat dikatakan bahwa tanpa kepemimpinan, segala yang lain tidak akan tajam. Karena itu bidang-bidang apa pun membutuhkan ilmu kepemimpinan yang merupakan dinamika bagi ketajaman performansi semua yang lainnya.” Dengan demikian, saya merekomendasikan buku: Leadership Wisdom  karya Dr. Daniel Ronda sebagai bagian dari upaya memperkaya ilmu lain yang kiranya memberikan kemanfaatan besar bagi para pemimpin pembelajar untuk memperkaya diri menjadi lebih berkualitas yang kiranya dapat mewujudkan upaya memimpin yang berhasil dalam dunia yang berubah. Selamat!” (Dr. Yakob Tomatala -CEO YT Leadership Foundation, Jakarta Motivator dan Pakar Pengembangan SDM Kepemimpinan Kristen)

"Penulis berhasil mengangkat berbagai masalah aktual dan cara penanganannya berdasarkan prinsip kepemimpinan Kristen. Wajib dibaca agar para pemimpin dapat terus mengedepankan integritasnya.” (Christono Santoso - Direktur Eksekutif Yayasan Haggai Indonesia)
HADIRILAH KULIAH UMUM...GRATIS
TOPIK : LEADING CHANGE IN CHURCHES (Memimpin Perubahan dalam Gereja)
Pembicara : Dr. Alan McMahan (Ketua Departemen Intercultural Studies Biola University USA) -mantan dosen STT Jaffray
Tempat : Kapel STT Jaffray
Tanggal : 21 Januari 2011
Waktu : Jam 09.00-12.00
Seminar ini cocok bagi hamba-hamba Tuhan, mahasiswa teologi dan aktivitas gereja. Mohon sampaikan dan sebarkan. Terima kasih.