Tuesday, December 9, 2008

DANIEL RONDA DI FACEBOOK

Bukan mau meniru Barrack Obama, namun dunia sudah berevolusi cepat dalam bidang komunikasi dan teknologi informasi sehingga pelayanan pun memerlukannya. Bagi yang ada sudah punya facebook, ayo saya undang dan kita boleh membagi informasi. "Hare gene gak punya facebook!!!"

Monday, December 8, 2008

SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU 2009

Kami sekeluarga (Daniel, Elisabet, Bunga dan bagus) mengucapkan Selamat Natal dan memasuki Tahun Baru 2009. Doa kami agar kita semua dipelihara senantiasa dalam kasih sang Penebus Juruselamat manusia. Memasuki tahun 2009 tidaklah mudah, namun bersama sang Gembala Agung kita akan senantiasa optimis memasuki tahun yang baru.
JADWAL PELAYANAN NATAL SEPANJANG DESEMBER:

3 Desember : GMII Makassar
5 Desember : GPdI El-Shaddai Makassar
7 Desember : GBI Menara Makassar
14 Desember : GKI Sulsel Rayon Tanjung Bunga
16 Desember : Komisi Agape GKI Sulsel
19 Desember : Komisi Pemuda GKKA Ujungpandang
21 Desember : GBI Hope Makassar
23-26 Des. : GKII Sintang Pontianak
28 Desember : GKII Rhema Makassar

Mohon Didoakan

Wednesday, October 1, 2008

MEMBANGUN KARAKTER GURU YANG DICINTAI ANAK-ANAK

Oleh Daniel Ronda

(Tulisan ini disampaikan pada Regional Counseling Workshop 8-10 Mei 2008 di Makassar kerjasama STT Jaffray dan LK3 Jakarta)

Pendahuluan

Tantangan pendidikan saat ini semakin kompleks. Pertanyaannya, siapkah orang tua (yang adalah pendidik di rumah) dan guru menghadapi tantangan ini? Hal lain adalah guru selalu bertanya apakah saya menjadi guru yang baik? Apa itu guru yang baik? Bagaimana menjadi guru yang baik? Guru bukanlah pekerjaan, tetapi profesi. Hal ini juga telah didukung undang-undang negeri kita. Karena profesi ini mulia, maka adalah kewajiban kita semua untuk mengembangkan secara maksimal potensi kita.

Dalam tulisan ini, saya mencoba banyak menggali dari hasil penelitian sehingga ini bukan sesuatu yang tidak mengena dan juga pengalaman penulis selama 14 tahun sebagai seorang pendidik di sekolah teologi.

Pandangan Para Pakar Pendidikan Tentang Mengajar yang Baik

Hasil penelitian dari Edward Sheffield tentang karakteristik dari guru yang efektif yang sering disebut atau Characteristics of Effective Teachers Most Often Mentioned (Edward Sheffield, Teaching in the Universities-- No One Way, 1974):

1. Menguasai bahan yang diajar dan memiliki kompetensi.

2. Pengajaran dipersiapkan dengan baik dan memiliki organisasi pengajaran secara teratur.

3. Pelajaran harus dihubungkan dengan hal praktis dalam kehidupan sehari-hari.

4. Mendorong murid bertanya dan memberikan opini.

5. Antusias tentang subyek yang diajar.

6. Dapat didekati murid (approachable), bersahabat, terbuka (available).

7. Peduli kepada kemajuan siswa.

8. Memiliki sifat humoris

9. Hangat, baik, simpati.

10. Menggunakan alat-alat atau media secara efektif.

Selanjutnya ada penelitian tentang guru yang hebat atau Characteristics of Great Teachers (Lea Ebro, Instructional Behavior Patterns of Distinguished University Teachers, 1977):

  1. Tidak menyimpang dari topik yang diajarkan.
  2. Tempo berbicara dalam mengajar itu tepat.
  3. Guru memakai berbagai variasi dalam strategi instruksional.
  4. Tetap pada subyek dan mengembangkannya berdasarkan subyek.
  5. Guru memakai humor.
  6. Guru bisa “memerintah” kelas, sehingga mereka tertib namun tidak dalam suasana takut dan tertekan.
  7. Guru berinteraksi dengan siswa.
  8. Guru memberikan tanggapan atas pertanyaan atau jawaban murid.
  9. Memberikan respons perbaikan-perbaikan.
  10. Menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang analitis dan penggalian.
  11. Memuji jawaban yang benar dengan dasar observasi atas jawaban yang benar yaitu memberi penjelasan mengapa jawabannya benar.
  12. Membuat suasana kelas yang hangat.
  13. Siswa secara bebas dapat menginterupsi setiap saat dengan pertanyaan.
  14. Memiliki rasa humor.
  15. Memiliki kemampuan komunikasi non-verbal.

a. Menggunakan gerak tubuh seringkali.

b. Berjalan waktu berbicara.

c. Ada kontak mata secara intensif.

Hasil Penelitian tentang mengajar yang baik dari Ron Smith, Concordia University, Teaching and Learning, Vol. 7, No. 1, Sept. 1980:

  1. Mengajar yang baik memiliki tes awal tentang kemampuannya.
  2. Mengajar yang baik ada “feedback” untuk guru:

a. Tes non-nilai, kuis

b. Diskusi dengan siswa

c. Kuesioner

d. Sadar akan respons yang bersifat non-verbal:

1) Kehadiran yang menurun atau kebosanan.

2) Tidur di kelas.

3) Apakah siswa membaca surat kabar?

  1. Mengajar yang baik disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan yang ada pada individu siswa.
  2. Good teaching provides (specific) feedback to the students.
  3. Mengajar yang baik itu fleksibel.
  4. Mengajar yang baik menggunakan pembelajaran siswa aktif.
  5. Mengajar yang baik memotivasi siswa. .
  6. Pengajaran yang baik itu jelas dan ditata dengan baik.

Ada juga proyek penelitian untuk melihat guru yang baik di kelas dalam “Characteristics of Effective Large-Class Instructors” (Karron Lewis, et al., from The Large Class Analysis Project conducted by CTE):

Penelitian ini mengkombinasikan pendapat dari siswa dan guru dalam penelitian tentang bagaimana mengajar dalam kelas besar secara efektif:

  1. Sangat antusias dengan subyek yang diajar.
  2. Menguasai subyek dan memiliki kemampuan mengkomunikasikan pengetahuan yang diajar.
  3. Peduli kepada kemajuan dan kesuksesan murid.
  4. Berani mendisiplin siswa untuk ketertiban kelas seperti keributan.
  5. Memiliki rasa humor.
  6. Menggunakan berbagai strategi instruksional.
  7. Berinteraksi dengan siswa selama di kelas, termasuk sebelum dan sesudah kelas.
  8. Memiliki rasa percaya diri atas pengajaran yang disampaikannya.

Inti Guru yang Baik

Menjadi guru adalah sebuah seni, sehingga menjadi guru yang baik itu melibatkan panggilan, kemampuan intelektual dan penguasaan materi, karakter, talenta dan kemampuan berkomunikasi. Dari semua itu yang terpenting dari semua adalah karakter. Ini didukung dengan hasil penelitian di atas tentang guru yang baik.

Hal ini juga ditekankan oleh William White. Ia berkata: “The personality of the teacher is the most important factor in a successful teacher. Teachers don’t need to be extremely bright and highly informed individuals, but they need to be critically thinkers about learning. They need to be caring and concerned as opposed to aloof and book centered, they need to be business-like and orderly as opposed ti being slipshod and careless; and they need to be enthusiastic, surgent, and full of hope as opposed to being dull and boring” (William White, “The Search for the TruthAbout Good Teaching”, hal. 73, 2001).

Guru Efektif adalah Konselor yang Baik:

Fakta yang menarik adalah bahwa guru yang baik ternyata harus menjadi konselor yang baik bagi murid-muridnya. Itu sebabnya seorang guru harus belajar mendalami konseling agar dia sukses. Dalam tulisan “Good Teaching” oleh Theodore R. Sizer, mantan Pembantu Rektor bidang Akademik di Harvard University College of Education mengatakan bahwa guru hendaknya menjadi guru profesional yaitu mengetahui hal-hal sederhana soal konseling, termasuk dalam hal-hal yang kecil sehingga murid bertumbuh. Ada beberapa poin yang dia sampaikan:

  1. Mengenal nama dari siswa dan panggil siswa dengan namanya.
  2. Memberikan salam kepada siswa dan rekan kerja dengan hangat dan ramah.
  3. Pergi menghadiri acara-acara siswa di luar kelas, misalnya ibadah, pertandingan, dan lain sebagainya.
  4. Mengingat sesuatu yang pernah digumuli oleh siswa sebelumnya. Contohnya: apakah mamamu sudah keluar rumah sakit?
  5. Hindari bersifat sarkastik dalam memberikan komentar atas kebodohan atau kenakalan yang dilakukan seorang siswa. Ini akan melukai hati siswa.
  6. Jangan pernah toleransi dengan masalah SARA, termasuk lelucon-lelucon masalah SARA.
  7. Ingat pepatah yang diberikan orang tua kita: jika kita tidak bisa menyampaikan atau melihat sesuatu yang baik tentang seseorang, jangan katakan apapun.
  8. Katakan suatu kebenaran atau teguran secara pribadi. Contohnya: Ayu, saya sebenarnya curiga kamu menyontek..., Amir, kamu kurang belajar dan malas sepertinya... Hasan, kamu kok bau ya, apakah kamu tidak mandi pagi? Besok mandi ya... Mei, kamu suka mengganggu...)
  9. Selalu mendorong bahwa kemampuan siswa lebih dari yang merasa dimiliki siswa.
  10. Jadilah guru yang positif, namun hati-hati bila selalu memuji pekerjaan baiknya. Tidak ada seorang pun belajar lebih cepat ketika dia merasa bahwa dia merasa berhasil.
  11. Pertunjukkan persahabatan dan jadilah jujur dan obyektif dalam penilaian terhadap murid-murid yang kita juluki “nakal” atau mengganggu.
  12. Menjadi teman siswa, namun jaga jarak juga.
  13. Jangan pernah menyerah dengan siswa kita, dan jangan menjuluki mereka secara permanen, misalnya: si bodoh, si cerewet, si pemalu, dsb.
  14. Setiap kali memberikan pedoman dan aturan, sampaikan alasannya dan jangan tidak disampaikan apa yang dimaksud.
  15. Tahu membedakan mana siswa yang hanya mendengar dan yang memperhatikan sehingga bisa menyerap. Caranya adalah mendengarkan mereka yaitu memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertanya.

Ada hal-hal teknis sebagai seorang guru yang harus diperhatikan sehingga dia dapat disebut guru yang berintegritas, yaitu seorang yang “walk the talk”:

1. Jangan lambat masuk kelas.

  1. Kembalikan tugas-tugas murid tepat pada waktunya dengan komentar yang menguatkan. returning papers to students within twenty-four hours
  2. Penting anak diingatkan untuk mengerjakan tugas dengan jujur. Ini karena banyak orang tua campur tangan mengerjakan tugas-tugas rumah.
  3. Anak diajar untuk menghargai formalitas kelas, tanpa harus formal dan kaku dalam mengembangkan pikiran-pikiran.

Akhirnya: Pendapat Anak Tentang Guru yang Baik:

Di akhir tulisan ini saya mencoba mengambil pandangan anak tentang guru yang baik. Ini adalah kutipan dari UNICEF tentang apa pendapat anak tentang guru yang baik. Kutipan ini sengaja saya ambil untuk kita dapat pelajari tentang apa kata anak sendiri tentang gurunya. Dan ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mewujudkan guru yang berkualitas dan dicintai anak-anaknya (seluruh bagian di bawah ini adalah kutipan):

Program Pendidikan dan Pengembangan Anak (MOE-UNICEF 2001-2005 China) mempromosikan lingkungan ramah anak untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memastikan semua anak usia sekolah dapat tumbuh dan belajar di lingkungan yang aman, ramah dan tidak diskriminatif. Guru adalah faktor kunci bagi pewujudan sekolah ramah anak (SRA) dengan cara membantu meningkatkan minat anak-anak dalam pembelajaran, partisipasi dan pengungkapan pendapat.

“Ibu guru Gao seperti ibu bagiku. Dia mendengar semua masalah dan keluh kesah kami serta membantu kami menyelesaikan masalah” Zhang Qi, siswa kelas 4

Akademi Ilmu Sains Beijing mengundang anak-anak China untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang guru ideal. 4.000 lebih anak-anak dari seluruh China telah memberi tanggapan. Lewat kata-kata dan gambar, pesan anak-anak dengan jelas menggemakan semangat Konvensi PBB tentang Hak Anak. Mungkin inilah waktunya bagi orang dewasa untuk mulai mendengar anak-anak, mendengar apa kata mereka mengenai hal-hal yang mempengaruhi mereka.

“Guru Shan selalu melucu dalam kelas menulis kami dan membuat kami sangat tertarik dalam pelajaran itu. Tanpa saya sadari, saya jadi sangat suka menulis dan secara bertahap, saya mempelajari beberapa trik untuk menulis dengan baik.”
Shi Yujing, Kelas 5

Anak-anak di Cina, melalui tulisan dan gambar mereka, mengungkapkan bahwa mereka ingin para guru menghormati harga diri siswa, sensitif terhadap kondisi emosi mereka, memberi kebebasan mengekspresikan diri dan bersikap adil pada semua anak apapun latar belakang, gender, kemampuan, dan ciri-ciri individual lainnya. Sebagian besar anak memimpikan guru-guru yang penyayang dan perhatian!

Definisi guru yang baik selalu diuji para pendidik, administrasi pendidikan, dan para guru sendiri. Pemerintah, pakar dan orang-orang yang berkompeten serta masyarakat dan media memiliki haparapan-harapan mereka masing-masing. Akan tetapi, belum banyak orang tanya kepada anak-anak sebagai penerima layanan pendidikan apa pendapat mereka mengenai hal ini. Pada kenyataannya, anak-anak merupakan alasan munculnya profesi guru dan melalui mereka pulalah profesi ini mendapat nilai yang berharga. Buku yang berisi pendapat anak dalam cerita-cerita dan gambar-gambar dapat berguna bagi guru dan pelatih guru sebagai katalis refleksi diri. Buku tersebut juga dapat digunakan dalam kelompok-kelompok belajar untuk memotivasi dan membantu para guru bersama-sama merefleksikan diri dan mencari cara mencapai standar yang diinginkan anak-anak pada mereka. Sangat penting bahwa ungkapan jujur anak-anak menginspirasi dan memotivasi para guru untuk mengembangkan tingkat tanggapan guru pada kebutuhan siswa.

“Dia memperlakukan tiap siswa dengan setara. Dalam kebaikan hatinya, dia tidak pernah memihak. Sebagai murid, ini adalah hal yang paling berharga tentang guru… Dalam kelas guru Chen, kami merasa santai dan hidup (bersemangat). Dia selalu “tanpa sengaja” mengajukan pertanyaan atau membuat kesalahan agar kami dapat membetulkannya. Jika kami mengatakan sesuatu yang salah, tidak menyalahkan kami. Dia bahkan akan berkata sambil tersenyum: “Kesalahan Bagus! Kesalahan membantu kami menemukan masalah-masalah". Tidak seberapa lama kemudian, bahkan siswa yang paling pemalu mau mengangkat tangan dan menjawab pertanyaannya.” Tang Yiyi, kelas 4

Di Pakistan, sebuah ulasan mengenai “apa yang membuat seorang guru dinilai baik” juga dilakukan dengan bantuan Save the Children-UK (2001). Tidak hanya murid, tapi juga orangtua dan para guru juga ditanyai pendapat mereka tentang seorang guru yang baik. Ulasan itu menunjukkan bahwa guru yang baik merupakan hasil kombinasi sejumlah faktor, termasuk pendidikan dan pelatihan, kompetensi dan pengawasan serta dukungan kepala sekolah dan guru.

“Guru kami tahu nama tiap anak”
Anak laki-laki dari Peshawar

“Dia menjelaskan pelajaran di papan tulis. Jika seseorang tidak paham, dia akan mendudukan anak itu disebelahnya dan menjelaskan lagi pelajaran itu.”
Anak perempuan dari Kasur

“Dia menghormati anak-anak, dia selalu memanggil mereka ‘aap’” (‘aap’ ~ bentuk sopan ‘kamu’)
Anak perempuan dari Lahore

“Guru kami selalu memperhatikan tiap anak ketika mengajar.”
Anak laki-laki dari Haripur

Guru yang mampu menangani hukuman dan manajemen kelas dalam cara yang positif sering disebut sebagai karakteristik guru yang baik. Manajemen kelas mengacu pada perilaku guru yang memfasilitasi belajar-mengajar. Manajemen kelas ini sangat penting terutama dalam penanganan kelas besar, pengajaran lebih dari 1 kelas secara simultan, berhubungan dengan anak-anak yang pandai, nakal, pemalu dan lemah. ‘Bagaimana guru yang baik itu’ menggunakan wawancara, diskusi kelompok, bermain peran dan gambar dalam mengumpulkan pendapat anak-anak tentang guru.

“Saya mengajar mata pelajaran yang berbeda-beda dengan cara yang berbeda-beda pula. Misalnya, saya mengajar bahasa Urdu seperti cerita. Pertama-tama, saya membaca lalu anak-anak memerankan pelajaran. Saya memberi tiap anak kesempatan membaca tiap hari, dan puisi-puisi dilagukan.”
Guru wanita Peshawar

Ulasan tersebut menunjukkan dengan jelas beberapa karakteristik guru yang baik. Guru yang baik pada dasarnya adalah manusia yang baik. Mereka memiliki kepribadian penyayang, baik, hangat, sabar, tegas, luwes dalam perilaku, bekerja keras, serta berkomitmen pada pekerjaan mereka. Pusat perhatian mereka bukanlah pada buku teks atau kurikulum, tetapi pada anak! Mereka sangat menyadari beragamnya cara anak-anak belajar, perbedaan antar anak-anak dan pentingnya metode beragam untuk mendorong siswa mampu belajar. Anak-anak yang belajar dengan guru semacam itu tidak perlu lagi mengeluarkan uang tambahan untuk mengikuti les sepulang sekolah.

Diambil dari “Anak-anak menentukan kualitas yang menjadikan seorang guru baik” (UNICEF, Cina, 2004) dan “Apa yang menjadikan seorang guru baik” (Save the Children UK, Pakistan, 2001).

Makassar, awal Mei 2008

MEMBINA HUBUNGAN HARMONIS MENANTU DAN MERTUA

Oleh Daniel Ronda

Artikel ini sudah dimuat di Majalah Kalam Hidup, Oktober 2008


“Pak Pendeta, tolong doakan mertua saya yang selalu ikut campur dalam urusan keluarga kami. Yang sedihnya suami tidak bela saya, bahkan cenderung mendiamkannya. Saya jadi marah dan tidak tahu mau buat apa!” Begitu keluhan seorang ibu muda soal rumah tangganya yang bermasalah karena campur tangan mertua, namun tidak tahu bagaimana mengatasinya.
Ini adalah satu masalah dalam keluarga-keluarga di Indonesia yang pada umumnya terjadi yaitu masalah antara menantu dan mertua. Menariknya, kebanyakan yang bermasalah adalah antara mertua perempuan dan menantu perempuan, walaupun ada juga mertua perempuan atau laki-laki dengan menantu perempuan dan laki-laki. Tidak ada data berapa banyak konflik ini, namun karena faktor kedekatan dan tinggal bersama antara mertua dan menantu sehingga konflik ini sering terjadi. Pengalaman penulis soal konflik ini cukup banyak, namun penyelesaiannya membutuhkan waktu, pengertian kedua belah pihak dan memiliki banyak kasih dan pengampunan. Umumnya masalah ini didiamkan dan baru diupayakan untuk diselesaikan jika sudah menjadi besar. Banyak menantu (suami atau istri) menjadi bingung, ke mana dia harus berpihak? Bila dia berpihak kepada pasangannya, maka dia dianggap tidak menghargai orang tuanya. Namun bila dia berpihak kepada orang tuanya, maka pasangan merasa bahwa dia tidak dicintai dan dihargai lagi.

Sebelum berbicara solusi, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah mengapa hal itu terjadi? Ada beberapa faktor penyebab rusaknya hubungan menantu dan mertua:

Pertama, adanya faktor budaya di mana orang tua merasa tetap bertanggung jawab walaupun anak mereka telah menikah. Orang tua khawatir anaknya tidak bisa mandiri, sehingga dia merasa perlu campur tangan. Pada sisi lain, anak dan menantu merasa sudah harus mandiri namun masih membuka celah untuk diintervensi, seperti masih bertanya dalam pengambilan keputusan penting..

Kedua, pada sisi lain adanya faktor ketidakmandirian di dalam diri anak setelah menikah. Misalnya, pasangan yang sudah menikah masih tinggal di rumah orang tua, masih bergantung secara finansial. Bila ada ketergantungan ini, maka tidak heran orang tua terlibat dan campur tangan dalam masalah keluarga. Faktor ketidakmandirian ini bisa juga karena belum mampu menjaga anak bayi, ketika suami istri harus bekerja. Apalagi kemudian ini bisa menghemat secara finansial. Namun ketidakmandirian ini beresiko bahwa orang tua atau mertua akan campur tangan dalam pendidikan cucunya. Si ayah atau ibu mendisiplin anaknya akan terbentur dengan mertua atau orang tua yang melindungi cucunya. Bukan tidak mungkin si cucu akan memanfaatkan situasi ini untuk kepentingannya.

Ketiga, belum mampunya seseorang memiliki kemampuan membangun relasi antar pribadi, termasuk dengan keluarga sendiri. Ada masalah psikologis di mana seseorang mudah tersinggung, cara berpikir negatif, tidak mampu berhubungan dengan sesama. Ini lebih kepada masalah pribadi orang tersebut di mana sikap negatif akan membawa kepada perselisihan, bukan hanya kepada keluarga sendiri tetapi juga kepada orang lain.

Keempat, adanya masalah soal kepemilikan, di mana suami pada satu sisi menghadapi dilema antara kasih terhadap orang tua dan pasangan. Pasangan mengharapkan bahwa dirinya adalah nomor satu, sedangkan dari pihak orang tua atau mertua menganggap anaknya adalah tetap “anak”. Orang tua yang membesarkan merasa memiliki hak atas anaknya, sedangkan menantu merasa memiliki hak atas dasar status pernikahan. Masalah kepemilikan (ownership) ini telah menjadi duri dalam hubungan menantu dan mertua.

Pertanyaan mendasar adalah bila terjadi konflik antara mertua dan menantu, bagaimana seharusnya pasangan bertindak? Di pihak mana pasangan kita berdiri? Apakah dengan orang tua atau pasangan? Jawabannya harus jelas bahwa pasangan harus berdiri di samping pasangannya. Loyalitas sudah harus berpindah dari orang tua ke pasangan. Artinya suami harus berpihak kepada istrinya lebih kepada orang tuanya. Alasannya adalah bahwa kedua pasangan yang sudah menikah sudah menjadi satu daging (Kej 2:24-25) dan dia sudah harus meninggalkan orang tuanya. Itu berarti prioritas ada pada pasangan dan bukan kepada orang tua. Ini tidak berarti kita tidak menghormati orang tua. Justru kita harus taat kepada Firman Tuhan daripada kepada manusia. Pasangan sudah menjadi satu dan bukan lagi dua. Bila salah satu dicubit, harusnya kita berdua merasakan sakitnya, bukan hanya seorang yang sakit (lihat Efesus 5: 28-29). Ia tidak akan membiarkan pasangannya disakiti, karena itu hakikat dari pernikahan Kristen.

Selanjutnya ada hal praktis lain yang harus dikembangkan pasangan agar hubungan menantu dengan mertua menjadi harmonis:

Pertama, pasangan mulai belajar untuk tidak bergantung kepada orang tuanya. Bila terpaksa bergantung, maka kita mulai kurangi ketergantungan. Pasangan harus belajar mengambil keputusan sendiri dengan pasangannya. Menanyakan keputusan kepada orang tua hanya sebagai pertimbangan berikutnya. Yang paling penting adalah di antara pasangan yang utama, di mana pasangan saling mendukung satu kepada yang lain. Penting bagi pasangan menjaga “jarak” dengan orang tua atau mertuanya. Jarak di sini bisa secara tempat atau lokasi (usahakan tidak bersama-sama akalau memungkinkan) atau jarak secara psikologis, di mana kita mulai tidak bergantung dalam hal-hal pengambilan keputusan. Misalnya, jangan sampai urusan makan, pakaian, memebesarkan anak dan hal-hal kecil masih selalu bertanya kepada orang tua.

Kedua, pasangan harus menyadari bahwa orang tua sudah banyak berkorban, kita harus menghargai pengorbanan mereka. Misalnya, kita mengingat ulang tahunnnya, atau ada hari-hari khusus yang perlu perhatian dari anak/mantu mereka. Prinsipnya selalu ada kontak di mana selalu diupayakan selalu menghargai orang tua. Begitu pula pasangan harus seimbang dalam memberi perhatian di mana menghargai keluarga besar pasangan masing-masing. Bila harus tinggal bersama dengan orang tua atau mertua yang sudah pensiun, tetap berikan penghormatan dan memperhatikan orang tua. Izinkan dia memiliki kesibukan-kesibukan yang berarti seperti merawat bunga, memasak, atau apa saja yang menjadi minatnya.

Ketiga, selesaikan konflik sekecil apapun. Bila menantu dengan mertua yang bertengkar, maka pasangan harus ada di pihak yang sama, tanpa harus menghilangkan hormat kepada orang tua. Kita perlu belajar untuk mengetahui apa yang menjadi sumber penyebabnya, lalu belajar mengampuni satu kepada yang lain. Bila kita mampu berempati kepada orang lain, maka empati itu juga harus bisa diterapkan kepada orang tua dan mertua. Banyak masalah terjadi ketika kita bisa mengampuni orang lain, namun sulit mengampuni keluarga sendiri. Ini tidak dibenarkan oleh Firman Tuhan.

Keempat, daripada bergantung senantiasa kepada orang tua atau mertua, justru harus ada komitmen untuk membantu mereka. Bantulah ortu kita punya kebutuhan seperti bantuan finansial, pengobatan, dan yang lainnya. Tentu perhatian dan kepedulian adalah hal yang paling penting. Misalnya, ajak mereka secara rutin ikut rekreasi.
Kelima, pasangan jangan percaya gosip dari pihak lain dan jangan mudah cerita masalah kita kepada sembarangan orang. Pengalaman penulis adalah kebanyakan masalah keluarga termasuk antara mertua dan menantu adalah adanya laporan cerita-cerita yang disertai bumbu dari orang lain, misalnya ipar, atau keluarga lain atau juga tetangga. Mungkin kita lagi jengkel, sehingga kita ceritakan masalah kita kepada orang lain. Ini sangat berbahaya, karena ketika dilaporkan atau diceritakan kembali sudah berisi tambahan yang bisa memperuncing konflik. Itu sebabnya setiap pasangan agar tidak mudah percaya kepada cerita-cerita pihak ketiga tentang masalah internal keluarga. Dan tentunya juga tidak mudah menceritakan masalah sendiri kepada orang yang tidak bertanggung jawab. Bila terasa beban yang sangat berat, maka baik diceritakan kepada hamba Tuhan di tempat kita yang kita yakin akan memegang rahasia dan mendoakan kita.

Monday, August 18, 2008

Ada Iblis di Rumah Kita

Oleh Stephen Suleeman (Dosen STT Jakarta)

Pengantar

Judul yang diajukan oleh Panitia kepada saya, “Ada Iblis di Rumah Kita”, kedengarannya agak bombastis dan menge­jutkan.Tapi saya pikir judul ini dapat merujuk kepada kenyataan yang kita hadapi, baik seba­gai orang Timur yang hidup di dunia yang akrab dengan dunia mistik seperti yang banyak dihadirkan dalam beberapa tahun ini lewat sinetron dan film-film kita, maupun kenyataan yang mau diangkat oleh Panitia lewat percakapan ini, yaitu kehadiran media dalam kehidupan kita sehari-hari dan dalam cara apa media dapat menjadi masalah dalam hidup kita.

1. Perkembangan perangkat telekomunikasi modern

Media komunikasi di dunia mengalami perkembangan yang sangat cepat. Saya masih ingat pada awal tahun 1960-an ketika untuk bertelepon orang harus menghubungi kantor pusatnya di Gambir atau di Kota. Pada per­te­ngahan tahun 1970-an pesawat telex masih dianggap canggih, dan pada tahun 1980-an telepon mobil adalah sebuah kemewahan yang tidak dimiliki setiap orang. Baru pada akhir dekade itu saya mende­ngar orang mulai berbicara tentang sebuah alat ajaib yang disebut “komputer”. Namun harganya masih mahal dan karena itu belum terjangkau orang banyak. Sekarang? Orang yang menenteng laptop sudah bukan pemandangan yang asing. Jaringan wi-fi tersedia luas. Sejumlah kota di dunia bahkan kini menyediakan wi-fi untuk seluruh penduduk kotanya.

Mungkin kita masih ingat tahun 1980-an ketika satu-satunya saluran televisi yang dapat kita saksikan hanyalah TVRI, sehingga pilihan kita hanyalah “take it or leave it”. Di akhir tahun 1980-an kita mulai menyaksikan kehadiran saluran-saluran televisi swasta yang dimulai oleh RCTI pada 1988 dan kemudian SCTV dua tahun kemu­dian. Tak lama kemudian kita mulai berkenalan dengan komputer pribadi, perma­inan komputer (dimulai dengan Nintendo dengan “manhole”, dan kemudian diikuti oleh Pacman, dll. dan perkembangan yang revolusioner dalam bentuk Play­station, Wii, Xbox, dll.), internet, HP, PDA, Blackberry, iPhone, dll yang semuanya telah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari. Saya cukup terkejut menyaksikan betapa SMS telah menjadi bagian hidup masyarakat Jakarta – setidaknya – hingga bahkan pembantu pun ikut menggunakan HP dan SMS.

Kini ada sekitar 16 stasiun televisi pemerintah dan swasta di Jakarta ditambah dengan sekian stasiun televisi di berbagai kota di seluruh Indonesia. Semuanya bersaing memperebutkan pangsa pasar yang jumlahnya tetap. Dan kita tahu bahwa apabila penawaran bertambah sementara pembelian tetap, maka kecende­rungan yang terjadi dalam hukum ekonomi ialah harga atau nilai barang yang ditawarkan pun akan berkurang – semuanya hanya karena keinginan meraih keuntungan yang sudah sangat minim. Kalau dulu masing-masing stasiun ber­usaha menampilkan cirinya masing-masing yang khas, kini mereka tidak peduli lagi dan hanya mena­yangkan acara-acara yang dinyatakan laku oleh perusahaan ratingnya.

2. Masalah dengan media

a. Daya pembangunan realitas

Apakah persoalan yang mendasar dengan media? Setiap media mempunyai sifat-sifatnya tersendiri yang khas. Dari sekian banyak media, saya hanya akan menyebutkan dua saja, yaitu radio dan televisi. Radio yang hanya mengha­dirkan suara, memiliki kemampuan menjangkau yang luas, khususnya program-program lewat gelombang-gelom­bang pendek (short wave), sehingga siarannya dengan mudah men­jang­kau ke berbagai negara. Sifatnya yang audio membuat radio menolong mencipta­kan imajinasi yang tinggi pada para pendengarnya, seperti yang diperlihatkan oleh siaran drama radio “War of the Worlds” yang dibu­at berdasarkan novel H.G. Wells pada tahun 1938 (difilm­kan pada 1953, dibuat ulang pada 2005). Drama radio ini menimbulkan kepanikan yang dahsyat di antara banyak rakyat AS yang meng­ikuti acara itu dan me­nyangka bahwa bumi benar-benar sedang diserang oleh makhluk-makhluk angkasa luar. Bandingkan hal ini dengan kecanduan masyarakat dengan drama radio “Saur Sepuh” beberapa tahun lalu.

Film dan televisi mempunyai sifat yang unik karena daya menghiburnya, tetapi juga pada saat yang sama mampu men­ciptakan realitas alternative dalam hidup kita. Industri film India di Mumbay (Bollywood), misalnya, merupakan industri film terbesar di dunia, yang bahkan melampaui Hollywood. Isi film-film India umumnya menggambarkan keluarga yang hidup serba mewah, jauh dari kenyataan hidup sehari-hari di India sendiri. Semuanya itu sangat disukai oleh rakyat kecil di India karena dengan menonton film-film seperti itu, mereka dapat melupakan kesulitan hidup mereka sejenak.

Kekuatan televisi jauh lebih hebat daripada bioskop karena televisi hadir di rumah kita, bahkan juga di kamar tidur kita, sementara bioskop tidak. Hitung saja, berapa kali kita menonton di bioskop dalam setahun dan berapa kali kita menonton film di tv? Ka­rena itu realitas yang ditampilkan televisi dapat lebih berpengaruh dalam hidup kita. Kita mungkin pernah mendengar kasus-kasus tentang anak-anak yang lompat dari tempat yang tinggi dengan pakaian Superman karena mereka mengira bisa terbang. Sebuah kasus menarik lainnya ialah ketika beberapa tahun lalu bintang-bintang telenovela Amerika Latin datang ke Indonesia dan para penggemarnya terheran-heran karena mereka ternyata tidak bisa berbahasa Indonesia. “Lho, bukankah di televisi mereka selalu berbahasa Indonesia?” begitu tanya mere­ka heran kebingungan, tanpa menyadari bahwa program siaran di televisi telah di-dubbing.

William F. Fore dalam bukunya “Para Pembuat Mitos” menyatakan bahwa ada kecenderungan orang untuk mempercayai suatu peristiwa karena peristiwa itu ditayangkan dalam televisi. Ia menyebutkan peristiwa gempa yang terjadi di suatu tempat di AS. Tak lama setelah gempa yang memporak-poranda­kan rumah-rumah, para penghuninya bergegas mencari televisi yang menyiarkan kejadian itu. Lewat televisi itulah mereka jadi percaya bahwa gempa itu benar-benar telah terjadi.

b. Manipulasi fakta

Kemampuan media dalam membangun realitas banyak dimanfaatkan oleh berbagai pemerintah. Di masa Orde Baru, misalnya, kita seringkali disuguhi program-program seperti “Dari Desa ke Desa” yang menggambarkan sukses-sukses program pembangunan pemerintah. Banyak dari kita yang tidak sadar bahwa pro­gram-program seperti itu dapat dengan mudah direkayasa. Seorang dosen di Departe­men Komunikasi UI pernah menceritakan bagaimana sebuah pabrik tahu milik seorang pengusaha Tionghoa diklaim sebagai perusahaan tahu milik sebuah koperasi unit desa. Di situ dilukiskan bagaimana suksesnya masyarakat setempat dalam membangun koperasi yang menyejahte­rakan rakyat. Sudah tentu gambaran itu jauh dari kenyataan yang sebenarnya, sebab pada kenyataannya rakyat bukannya diberda­yakan, sebaliknya malah diperdayakan. Demiki­anlah kenyataan yang terjadi selama Orde Baru, sehingga banyak orang yang terkejut menjelang runtuh­nya Orde tersebut – mengapa Indonesia ternyata gagal dalam menyejahterakan rakyatnya, padahal setiap malam kita menyaksikan program-program keberha­silan pemerintah?

Dalam penyerbuan ke Irak pada tahun 2003, pemerintah AS melarang para wartawan pergi sendirian mencari beritanya masing-masing. Dikenallah apa yang disebut “embedded reporter”, yaitu wartawan yang “ditanam” di tempat-tempat tertentu yang oleh pemerintah AS dianggap aman dan dengan demikian mereka dapat melaporkan hal-hal yang positif dari medan tempur.

c. Beda antara realitas dan fiksi

Kebalikan dari kasus di atas adalah ketika garis pemisah antara realitas dan fiksi dalam film dan Kenya­taan hidup kita menjadi tipis oleh karena gambaran-gambaran yang disajikan oleh media. Henri Nouwen dalam bukunya “Gracias!” menyebutkan kegelisahan yang dialami oleh seorang tentara AS yang terkejut setelah menembak mati seorang gerilyawan di Amerika Latin, dan ternyata orang itu benar-benar mati dan tidak hidup kembali. Ia baru sadar bahwa kini, dengan senjata sungguhan di tangannya, ia dapat benar-benar mencabut nyawa seseorang. Kon­flik ini jugalah yang tampaknya mendorong banyak pemuda AS yang terbuai oleh heroisme militer negaranya dan berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai tentara untuk dikirim ke Irak. Pemerintah AS berusaha menyem­bunyikan kenyataan ini dengan melarang penyiaran gambar-gambar dan film yang menampilkan tentara-tentaranya yang pulang dalam peti mati. Baru ketika media mengangkat berita ini setelah beberapa ratus tentara AS tewas pemuda-pemuda AS mulai sadar bahwa kecanggihan teknologi mereka tidak cukup untuk menutupi kenyataan pahit bahwa mereka keteteran di Irak.

d. Arus bebas untuk informasi dan hiburan

Sifat lain dari media ialah kenyataan bahwa arus – baik informasi maupun hiburan – yang dihadirkannya sangat sulit disensor, kecuali kalau kita mematikan alat atau pesawat tersebut atau tidak membelinya sama sekali. Kasus keruntuhan Orde Baru dan gerakan para bhiksu di Myanmar (Birma) sekarang ini memperlihatkan bagaimana arus infor­masi yang dibatasi ketat sekalipun sangat sulit dibendung. Kebe­basan arus informasi ini sudah tentu dapat berubah menjadi kebablasan, sehingga kemudian melahirkan dampak yang tidak kita harapkan. Kehadiran VCD dan DVD porno yang dapat dibeli dengan sangat mu­dahnya di berbagai tempat di kota kini – bahkan hingga ke kota-kota kecil sekalipun, menunjukkan betapa sulitnya kita membendung arus media modern dalam hidup kita.

Arus informasi dan hiburan yang bebas itu dapat diumpamakan dengan sebuah remote control yang dapat kita pergunakan sesuka kita – tergantung saluran dan acara apa yang kita inginkan – semuanya pasti bi­sa. Beberapa waktu lalu di salah satu saluran TV Jakarta disiarkan acara pengakuan dua orang remaja perem­puan yang foto-foto telan­jangnya beredar di masyarakat luas. Kasus ini hanyalah satu contoh kecil dari sekian ribuan atau bahkan jutaan kasus serupa. Berbagai video dan gambar-gambar porno tersebut yang diambil lewat HP ataupun video kamera seringkali diawali dengan iseng-iseng, namun entah bagaimana kemu­dian menyebar luas di masyarakat kita. Salah siapa semuanya itu? Salah kamera video atau HP-nyakah? Sudah tentu tidak, sebab semua itu hanyalah alat yang dapat dipergunakan oleh siapa saja untuk tujuan apa saja – baik ataupun buruk. Jadi pada akhirnya, semua terpulang kepada kita.

e. Keterpecahan keluarga

Tidak dapat disangkal bahwa kehadiran media seringkali memecah keluarga. Ketika TVRI menjadi satu-satunya saluran televisi yang ada, masih banyak keluarga yang berkumpul di sekitar televisi. Bahkan tidak jarang kita menemukan warga satu kampung berkumpul di depan televisi untuk menonton suatu acara tertentu. Namun setelah kehadiran begitu banyak saluran televisi swasta dan pemutar DVD hal ini hampir tidak ada lagi. Akibatnya, banyak keluarga kini harus membeli dua, tiga, atau lebih pesawat televisi untuk ditempatkan di setiap ruang dan kamar di rumah. Kebersamaan dalam keluarga semakin menipis. Tidak mengherankan bila ada keluarga-keluarga yang memutuskan untuk mengurangi waktu menonton televisi dan meningkatkan jam kebersamaannya, atau bahkan sama sekali tidak membeli televisi.

f. Nilai-nilai siapa?

Media hadir di rumah kitadengan nilai-nilainya sendiri atau lebih tepatnya nilai-nilai perusahaan yang membuat produknya (film, video game, dll) dan – dalam kasus siaran televisi, stasiun-stasiun televisi yang menyiarkan dan yang mensponsori produk-produk yang ditawarkan lewat iklan-iklannya. Kalau kita sering menonton film-film opera sabun atau telenovela, misalnya, kita dapat menyaksikan betapa para tokohnya berpindah dari pelukan seorang kekasih gelapnya ke pelukan kekasih gelapnya yang lain. Contoh lainnya, video game “Grand Theft Auto” yang laris di AS, seolah-olah menganjurkan betapa asyiknya mencuri mobil di Los Angeles. Sementara itu sebuah perusahaan video game lainnya membuat permainan video “'Left Behind: Eternal Forces” yang mempromosikan kekerasan dan intoleransi sehingga layak ditanyakan, nilai-nilai Kristiani menurut siapa?

3. Sikap kita sebagai orang Kristen

a. Sikap sebagai pribadi dan keluarga

Mungkin hanya segelintir negara saja di du­nia yang masih bisa menghindarkan diri dari gelombang pe­ngaruh me­dia, seperti Myanmar dan mungkin pula Korea Utara. Sementara itu, praktis di seluruh dunia manusia mengalami serbuan media dan isinya yang sangat dahsyat. Dunia seolah-olah dikuasai oleh segelintir produser dan pemilik media seperti Hollywood, Bollywood, Rupert Murdoch, Jakob Oetama, Kel. Soedarjo (?), Surya Paloh, dll. Tidak dapat disangkal bahwa revolusi media dapat menghadirkan materi dan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan iman dan nilai-nilai Kristiani. Oleh karena itu, seperti halnya kita meng­gunakan pisau yang dapat digunakan sebagai alat untuk bekerja dan membedah tetapi juga dapat dipakai sebagai alat pembunuh, maka media juga harus kita pergunakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Kita perlu mengembangkan sikap kritis dan cermat terhadap isi berita di suratkabar, televisi serta pro­gram-program televisi ataupun video yang kita tonton, sewa atau beli, karena semuanya itu dapat bergu­na, tapi juga dapat merugikan diri kita dan keluarga.

Banyak orangtua yang kuatir akan isi media yang bersifat porno atau dianggap porno yang dapat meru­sak penon­tonnya (dhi. anak-anak kita), seolah-olah itulah ancaman satu-satunya yang harus kita waspadai. Kita tentu masih ingat usaha-usaha untuk mengesah­kan UU Anti Pornografi dan Pornoaksi beberapa tahun lalu, yang mengun­dang berbagai pro-kontra. Sementara itu acara-acara TV dan video game yang penuh de­ngan kekerasan dianggap wajar, lumrah, dan tidak berbahaya. Belum lagi acara-acara TV yang menyajikan kebodohan lewat cerita-cerita horor, setan, kuntilanak, kubur, dll., yang tidak bermutu serta program-program yang menon­jolkan pola hidup kon­sumtif dan iklan-iklan yang membe­rondong penon­tonnya untuk terus-menerus berbelanja dan menikmati uangnya dan bersi­kap masa bodoh terhadap orang lain, sehingga muncul sikap, “Toh ini uang saya sendiri. Peduli amat dengan orang lain.”

Namun demikian ada juga program-program yang baik yang saya pikir perlu dipertimbangkan untuk menjadi bahan tontonan kita, seperti Oprah Winfrey Show, Kick Andy, dll. Program-program ini pada umumnya dapat kita katakan membangun dan membangkitkan inspirasi bagi kita untuk melakukan kebaikan untuk keluarga dan masyarakat kita.

Salah satu saluran televisi yang paling saya sukai di AS adalah Public Broadcasting System (PBS) di AS yang acara-acaranya sangat mendidik dan sebagian biayanya didukung oleh masyarakat serta perusa­haan-perusahaan yang peduli terhadap kepentingan umum. PBS tidak didukung oleh iklan, dan program-programnya sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah, sehingga pemerintahan Bush berulang kali telah berusaha menghapuskan subsidi untuk stasiun televisi ini. Sebuah programnya yang sangat saya sukai adalah “This Week in Religion News” yang berisi berita-berita yang berka­itan dengan agama-agama sepanjang minggu dan “Religion and Ethics” yang membahas masalah-masalah etika dalam kehidupan masyarakat. Ada lagi acara “Frontline”, “Now”, dll. yang berisi analisis tajam tentang masalah-masalah dalam masyarakat – umumnya bersangkutan dengan manipulasi oleh pemerintah terhadap masyarakat agar terus mendukung kebijakannya.

Memang ada banyak program media yang mengandung nilai moral maupun sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani, yang ber­tebaran lewat media dalam hidup kita. Selayaknyalah kita berhati-hati dengan semua itu. Baru-baru ini MUI bersama Departemen Agama dan KPI mengumumkan rencana untuk membuat komisi rating sendiri untuk program-program televisi kita. Barangkali orang Kristen dan gereja pun perlu mem­buat sebuah “media watch” untuk menilai bukan hanya sejauh mana tulisan dan program-program dalam media tidak mengan­dung pornografi, tetapi juga sejauh mana kekerasan dapat ditekan dan sebaliknya hal-hal yang positif diajarkan.

b. Sikap sebagai komunitas Kristen

Komunitas Kristen boleh dibilang orang-orang yang sadar akan pentingnya media. Sekitar 40 tahun yang lalu di Jakarta (dan Indonesia) ada dua surat kabar yang kuat dan berpengaruh, yaitu Sinar Harapan (1961) dan Kompas (1965) , masing-masing punya kelompok Protestan dan Katolik. Kedua media ini ke­mudian beranak. Sinar Harapan yang kemudian bertransformasi menjadi Suara Pembaruan dan ke­mudi­an menjelma dengan kembarannya yang juga bernama Sinar Harapan melahirkan Ragi Buana (majalah bulanan) dan Mutiara (majalah keluarga bulanan, kemudian berubah menjadi tabloid minggu­an, dwi-mingguan, dan akhirnya mati). Sementara Kompas melahirkan Intisari, Midi (majalah remaja yang kemu­dian bertransformasi menjadi Hai yang diambil alih kepemilikannya), Monitor, dan segudang media ce­tak lainnya di seluruh Indonesia, ditambah dengan saluran TV (Trans TV7). Kehadiran media Protestan dan Katolik ini pernah melahirkan ungkapan bahwa orang Indonesia makan pagi dengan Katolik dan makan malam dengan Protestan. Namun apa yang terjadi sekarang? Suara Pembaruan tidak berhasil mempertahankan tempatnya sebagai media yang tetap berpengaruh dan menggarami masyarakat Indo­nesia. Pangsa pasarnya kian mengecil dan tulisan-tulisannya tidak seberani pendahulunya Sinar Harapan yang lama sebelum dibredel rezim Orde Baru. Warna Kristennya pun semakin memudar. Kalau dulu se­tiap edisi Minggunya selalu memuat Renungan Minggu yang banyak ditulis oleh Pak Eka Darmapu­tera, sekarang renungan itu muncul tidak teratur. Tulisan-tulisannya pun – kalau ada – jauh di bawah kelas Pak Eka, meskipun saya sadar bahwa nilai kekristenan sebuah media tidak cukup diukur hanya lewat kehadiran sebuah Renungan Minggu. Sementara itu Sinar Harapan seperti mati enggan hidup tak mau.

Kompas semakin sadar bahwa umat Katolik sangat kecil di Indonesia dan karena itu koran ini semakin mempo­sisikan dirinya sebagai sebuah media sekular dan siap melayani agama apapun sehingga ia dapat diterima oleh siapapun. Di luar itu, tampaknya Kompas sadar akan pembentukan pemahaman yang benar tentang keberagamaan, seperti yang kerap kita temukan dalam tulisan-tulisan Rm. Franz Magnis Suseno, Rm. Mardiatmadja, Prof. Komaruddin Hidayat, Prof. Azyumardi Azra, Budhy Munawar Rachman, Karlina Leksono, dll.

Kita dapat membandingkan media-media ini dengan media Kristen di AS, seperti Sojourner dan Chris­tian Century yang selalu kritis terhadap berbagai gejala dalam masyarakat yang dinilai tidak mencer­minkan kebaikan bersama (common good) dan kehendak Allah untuk mendirikan tanda-tanda Kerajaan-Nya. Saya pikir inilah tugas dan tanggung jawab kita sebagai warga negara Indonesia dan sekaligus warga Kerajaan Allah. Tidak cukup kita bersikap waspada terhadap media di sekitar kita, tetapi lebih dari itu kita perlu memikirkan bagaimana kita memanfaatkan media dan bersikap pro-aktif untuk ikut serta membangun tan­da-tanda Kerajaan Allah di muka bumi. Mungkin kita juga perlu mendorong orang-orang muda dan mereka yang bermodal kuat untuk terjun ke dunia media dan dengan kekuatan tersebut kita ikut menggarami dunia.

Jakarta, 13 Oktober 2007

Teman saya Bapak Stephen Suleeman memiliki artikel menarik dan saya diberi izin memiliki copy tulisan ini. Dan saya masukkan blog ini agar kiranya bermanfaat bagi yang berminat menjadi pemerhati masalah dampak televisi dalam keluarga

[1] Makalah untuk Pembinaan Teologi Jemaat GKJ Eben Haezer, Pasar Minggu, 21 Oktober 2007.

[2] Dosen STT Jakarta, mahasiswa S-3 di Graduate Theological Union, Berkeley, CA, AS; S-1 Komunikasi Pemba­ngunan dari FISIP-UI (1987).

Friday, April 4, 2008

IMAN DAN PROFESI PENDIDIK

Iman dan Profesi Pendidik

Oleh Daniel Ronda

(Pernah Dimuat dalam SAHABAT GEMBALA)

Latar Belakang Pergumulan Pendidik

Profesi pendidik agama memiliki keistimewaan, karena dia sedang menolong kebutuhan anak didik dalam menemukan panggilan sang juruselamat, Yesus Kristus. Namun saat ini persoalan yang dihadapi pendidik secara umum ada dua hal yaitu pertama, soal finansial yang pas-pasan. Dan yang kedua adalah soal pengembangan diri sebagai seorang profesional yang tidak diperoleh. Padahal tuntutan saat ini adalah sudah semakin kompleks, di mana anak didik sudah semakin pintar karena banyaknya input yang diperoleh dari berbagai media, termasuk internet. Sedangkan guru untuk berlangganan koran yang bermutu saja masih harus pikir-pikir, apalagi harus membeli buku secara rutin. UU Sisdiknas memang menjanjikan anggaran yang menggiurkan untuk pendidikan, dan itu diharapkan akan menyangkut kesejahteraan pendidik juga. Tetapi apakah dapat terealisasi?

Hal lain yang menjadi persoalan para pendidik menyangkut soal imannya adalah sama dengan persoalan para rohaniwan:

1. Para pendidik dianggap serba bisa dan serba tahu.

Citra pendidik secara tradisional dianggap serba mengetahui semuanya dan serba bisa mengerjakan tugas yang di luar bidangnya. Dan ini yang menyebabkan kita bertanya tentang identitas kita.

2. Pendidik dan keluarganya dianggap orang suci dan tidak boleh salah.

Di sini para pendidik (khususnya agama) dianggap memiliki iman yang sempurna, tokoh spiritual yang menjadi teladan. Ia rela menderita karena mereka adalah wakil Kristus di muka bumi ini. Karena itu para pendidik diharapkan tidak boleh menuntut upah atau kesejahteraan, karena seperti Yesus maka dia harus menerima apa adanya. Dan mereka seperti “ikan dalam aquarium” yang diselidiki dan diamati setiap orang.

Tujuan dari Pertemuan

Tujuan yang diharapkan dari konsultasi ini adalah bagaimana:

  1. Kesejahteraan jasmani dan rohani terus dijaga dan diperhatikan.
  2. Mutu pengajaran guru ditingkatkan.
  3. Guru mendapat penghargaan atas profesinya sehingga ketika dianggap berharga, guru akan memberikan yang terbaik bagi anak didiknya, termasuk kepada gereja dan masyarakat.

Solusi Pemecahan

1. Kolegialitas

Penting bagi tiap pendidik menyadari bahwa dia memerlukan teman rohani. Ada teman-teman yang saling mendukung dan menguatkan. Persekutuan di gereja memang ada, namun apakah mereka concern dengan pergumulan yang kita hadapi? Di sini pentingnya suatu paguyuban guru agama Kristen, saling bertukar informasi dan memberikan dorongan satu dengan yang lainnya. Pengalaman penulis dengan para pelukis yang berkumpul bersama ternyata sangat efektif dalam meningkatkan kualitas lukisan mereka. Ilustrasi ini juga bisa dipakai dalam persekutuan di antara para pendidik.

2. Doa, pembacaan Firman Tuhan

Iman pendidik harus dipelihara dalam doa dan pembacaan Kitab Suci. Kelihatan ini basi terdengar, karena sering dipercakapkan. Namun apakah yang menjadi pegangan kita dalam pengharapan yang sekular ini? Ketika dunia menawarkan sesuatu yang materialistis, pegangan kita adalah doa dan Firman Tuhan. Dan itu harus dipraktikkan.

Begitu pula dengan Firman Tuhan harus kita dengar. Memang tanpa baca Alkitab, tidak mungkin kita mengajar, namun yang utama adalah membentuk kita. Bacaan Alkitab seharusnya tidak lantas diterjemahkan dalam jargon moral untuk anak didik, namun yang terutama melawat pemberontakan hati kita.

3. Keterlibatan dalam pelayanan

Adalah kewajiban sang pendidik bukan hanya menjadikan profesi guru sebagai pekerjaan, tetapi suatu panggilan. Dan diharapkan para pendidik terlibat dalam pelayanan di gereja.

4. Pengembangan diri

Pendidikan lanjutan adalah sebuah keharusan. Tanpa pengembangan diri dan menjadikan diri kita knowledge worker, kita akan kehilangan kesempatan menjadi efektif dalam profesi kita. Dan ketika tidak menjadi efektif, kita tidak profesional, begitu seterusnya. Dan ini menjadi lingkaran yang tidak bisa dilepaskan sampai kita memutuskan untuk mengembangkan diri.

Sumber inspirasi:

Andar Ismail (peny.), Mulai dari Musa dan Segala Nabi (Jakarta: BPK GM, 2000, cet. Kedua), khususnya tulisan Drs. L. J. Oosterom dan Drs. Gideon van Dam.

BISNIS DALAM PANDANGAN ALKITAB

(Pernah dimuat dalam Majalah Kalam Hidup)


Pendahuluan

Bagaimana seorang Kristen menjalankan bisnis yang baik dan berdasarkan Firman Allah adalah sesuatu topik yang penting diketahui para hamba Tuhan, karena mungkin ada jemaatnya yang adalah usahawan. Dalam tulisan ini saya membatasi diri kepada prinsip-prinsip Alkitab tentang bisnis.

Dalam topik tentang bisnis dalam pandangan Alkitab, maka perlu dibahas mengenai apakah dasar pegangan Alkitab dalam melakukan bisnis; apakah yang menjadi isu-isu di sekitar kita yang penting diberikan tanggapan termasuk etika dalam berbisnis. Kesemuanya ini lebih berfokus kepada refleksi teologis dan bagaimana isu yang muncul di sekitar bisnis dilihat dalam terang Firman Allah.

Dasar Pegangan Alkitab dalam Berbisnis

Bahwa kehendak Allah bagi manusia untuk bekerja, baik sebelum kejatuhan (Kejadian 1:28), maupun sesudah kejatuhan manusia (Kejadian 3:17-19). Sebelum kejatuhan, pekerjaan adalah suatu anugerah dan panggilan dari Allah sendiri. Sesudah kejatuhan, pekerjaan tetap merupakan anugerah dan panggilan, namun sekarang akibat dosa maka pekerjaan itu dilakukan dengan penuh persaingan. Di dalam Perjanjian Baru, Paulus menasehatkan jemaat bahwa hendaklah bekerja. Ia juga memperingatkan bahwa, “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (II Tesalonika 3:10b). Jadi bekerja adalah anugerah dan panggilan. Itu sebabnya seorang Kristen haruslah bekerja dan bila perlu bekerja dengan giat dan keras. Hilangkan budaya gengsi dan malu dalam bekerja. Gengsi artinya bagaimana pandangan orang lain tentang diri seseorang dan biasanya diasosiasikan dengan harta dan pekerjaan tertentu. Kekristenan tidak mengenal budaya gengsi. Pengejaran prestasi adalah karena dia adalah makhluk yang berharga di mata Tuhan dan penilaian manusia bukan didasarkan atas orang lain, melainkan hanya Tuhan.

Bagaimana dengan praktek bisnis? Adalah penting bagi orang percaya bahwa Alkitab menjadi satu-satunya penuntun dalam kehidupannya (sola scriptura), dan itu termasuk dalam melakukan kegiatan bisnis. Menurut Larry Burkett, ada beberapa dasar Alkitab dalam melaksanakan bisnis:[1]

Pertama, menjalankan bisnis yang mencerminkan Kristus. Dunia bisnis tidaklah selalu jujur. Oleh karenanya tiap orang Kristen wajib hidup dalam kejujuran. Tuhan sendiri berkat bahwa Ia bergaul erat dengan orang jujur (Amsal 3:32). Setiap pelaku bisnis pasti mencari untung dan semua orang mengetahui hal itu. Tidak mungkin ada sebuah bisnis berjalan bila tidak ada keuntungan. Tetapi hendaklah keuntungan bukan satu-satunya tujuan dalam praktek bisnis, sebab bila demikian seseorang akan berupaya menghalalkan segala cara untuk mencapai untung. Padahal setiap perilaku orang percaya ada di bawah terang Kristus.

Kedua, menjalankan bisnis yang bertanggungjawab. Maksudnya, pelaku bisnis mampu bekerjasama dengan orang lain dan bisa menerima masukan dari beberapa rekannya (termasuk pasangannya); menyediakan produk yang bermutu dengan harga yang sesuai; menghormati orang yang memberi hutang kepada Anda (Amsal 3:27-28); memperlakukan bawahan dan karyawan dengan adil terutama dalam hal upahnya; dan menjadikan pelanggan atau orang yang menikmati produk atau jasa Anda sebagai yang utama. Jangan menipu mereka.

Hal yang penting bagi para pelaku bisnis Kristen adalah (1) hendaklah setiap pelaku bisnis memiliki hati nurani; (2) kemudian hendaknya ia peka terhadap masalah-masalah sosial yang ditimbulkan dalam bisnisnya; (3) hendaknya ia melayani sesamanya.[2] Tantangannya adalah apakah para pelaku bisnis yang notabene orang Kristen mampu memiliki wawasan sosial sehingga pengejaran akan keuntungan hanya merupakan salah satu tujuan di samping menolong sesama dan memelihara lingkungannya.[3]

Isu-Isu Dalam Dunia Bisnis

Dunia bisnis di Indonesia penuh dengan lika-liku yang tidak gampang. Seorang yang mau terjun dalam dunia bisnis menghadapi setidaknya permasalahan yang cukup kompleks dan berat. Pada kesempatan ini saya mengangkat beberapa isu yang penting yang perlu dibahas dalam dunia bisnis di Indonesia:

(1) Masalah Upah/Gaji

Di Indonesia ada yang disebut ketentuan upah minimum untuk para karyawan atau buruh. Masalahnya mungkin adalah seringkali gaji masih di bawah upah minimum. Di sinilah kepentingannya kita melihat manusia bukan sebagai alat produksi tetapi sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah. Firman Tuhan berkata, “Celakalah dia yang membangun istananya berdasarkan ketidakadilan dan anjungnya berdasarkan kelaliman, yang mempekerjakan sesamanya dengan cuma-cuma dan tidak memberikan upahnya kepadanya” (Yeremia 22:13). Pada bagian lain Alkitab berkata, “Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu” (Yakobus 5:4). Ada beberapa pedoman tentang cara mengupah karyawan atau buruh dari ayat-ayat di atas: “1) Tuhan tidak menghendaki semua orang dibayar dalam jumlah yang sama; 2) Mereka yang melakukan pekerjaan lebih baik harus dibayar lebih besar; 3) Tuhan sangat menuntut keadilan di dalam membayar upah para karyawan; 4) Majikan Kristen bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan minimal para karyawannya.”[4]

(2) Masalah Suap

Bagaimana menyelesaikan suap yang begitu merajalela di Indonesia? Tidak mudah berbicara soal suap, karena sepertinya korupsi, uang pelicin, suap sudah merupakan “budaya” Indonesia. Tetapi benarkah demikian? Bagaimanakah kita mengatasinya? Bernard T. Adeney di dalam bukunya memberikan suatu saran bahwa suap (bribes) adalah dosa dan salah, namun kita bisa melakukan pemberian.[5] Pemberian (gifts) itu harus bersifat tulus dan tidak membelokkan kebenaran, serta tidak mendominasi, tidak mengontrol, dan tidak membelokkan hukum (Amsal 17:23).[6]

Penutup

Dalam mengakhiri tulisan ini, maka penting untuk menghubungkan bisnis dan pelayanan. Ide yang baik misalnya perlu mengadakan ibadah di kantor Anda. Ini untuk menolong karyawan bertumbuh secara rohani.[7] Juga perlu dipikirkan menolong pemuda-pemuda Kristen di gereja yang memerlukan pekerjaan (walaupun bukan tanpa masalah). Ini untuk bertolong-tolongan menanggung beban sesama (Galatia 6:10). Ada banyak ide yang bisa dibuat oleh orang percaya untuk dapat menjadi saksi Kristus, dan bukan semata-mata mengejar keuntungan.



[1] Larry Burkett, Kunci Sukses Bisnis Menurut Alkitab, terj. T.B. Herlim (Yogyakarta: Andi, 1997), 18-37. Larry menyebut ada enam dasar minimum Alkitab dalam bisnis, dan saya meringkasnya menjadi dua saja.

[2] E. G. Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 90.

[3] Ibid., 89-106. Singgih dalam hal ini menantang pelaku bisnis untuk memiliki wawasan sosial yang merupakan panggilan Allah baginya.

[4] Burkett, Kunci Sukses Bisnis Menurut Alkitab, 254.

[5] Alkitab Perjanjian Lama agaknya memiliki pandangan yang ambiguitas tentang pemberian ini. Lihat Amsal 15:27; 17:8; 17:23; 18:16;21:24; 22:16.

[6] Baca sepenuhnya tulisan Bernard T. Adeney, Strange Virtues:Ethics in a Multicultural World (Leicester, England: Apollos, 1995), 142-62. Menurut Adeney masalah suap harus dilihat dengan pendekatan holistik yaitu melalui Alkitab dan juga sosial atau budaya setempat.

[7] Burkett, Kunci Sukses Bisnis Menurut Alkitab, 402.