Thursday, December 31, 2009

Turut Berduka atas Wafatnya Gus Dur

Gus Dur telah wafat. Kami turut berduka atas kepergian beliau. Gus Dur adalah bapak bangsa yang konsisten memperjuangkan kaum minoritas. Sungguh bangsa ini kehilangan orang yang hebat, dan kami berdoa agar muncul Gus Dur generasi baru buat bangsa ini. Doa kami buat keluarga yang ditinggalkan!

Thursday, December 24, 2009

Setelah Nonton “Sang Pemimpi”: Telling Motivation Through Stories

By Daniel Ronda

Saya berkesempatan nonton film Sang Pemimpi bersama keluarga, karena memang saya senang dengan novel-novel karya Andrea Hirata yang dimulai dari Laskar Pelangi, lalu Edensor dan Maryamah Karpov. Saya juga sudah nonton Laskar Pelangi sebelumnya. Film ini hampir mirip dengan kisah saya dengan “setting” yang beda dan tentu nasib juga beda. Bagi saya novel dan filmnya saya harap menjadi alat motivasi bagi anak-anak saya agar bisa berprestasi lebih di sekolah dan terutama juga alat motivasi untuk memimpin orang-orang yang saya pimpin di lembaga saya bekerja.

Cuma sebelum bicara motivasi, saya mau komentar sedikit filmnya. Film “Sang Pemimpi” ini, aduh, maaf ya..kok lompat-lompat ya ceritanya dari masa lalu, kini, ke depan. Memang ini filosofi film ini menekankan kekuatan sebuah motivasi dan pentingnya kerja keras, serta jejaring persahabatan kalau mau mendapatkan kesuksesan. Cuma saya hanya bayangkan kalau orang yang tidak baca novelnya apa ya bisa ngerti ini film? Mungkinkah ini karena dibuat sorang Riri Reza dan coverage dan kekuatan media, termasuk novel yang bagus sehingga film ini meledak? Karena bukan orang film, saya tidak mau mengomentari lebih jauh. Cuma jujur, lebih asyik baca novelnya ketimbang film ini. Tiga dimensi waktu, masa lalu, kini, dan ke depan tertutur mengalir dengan apik dan mengharukan dalam novel ketimbang filmnya. Apalagi saya juga berkesempatan bertemu dengan penulis novel, Andrea Hirata di restoran Mangga Madu di Ubud Bali, Oktober 2008 lalu, sebuah restoran milik dari orang saya anggap orang tua saya sendiri. Fisiknya yang kecil, pendek namun ramah dan rela memberikan otograf, membuktikan tempaan masa lalu membuat dia menjadi “humble”.

Menurut saya benang merah dari novel dan film ini adalah motivasi dalam bentuk cerita apalagi ini merupakan kisah nyata. Ini menjadi kekuatannya di mana motivasi tidak lagi diceramahi, dikuliahi, tetapi diceritakan. “Telling motivation by stories” adalah cara efektif membuat anak di keluarga atau di konteks organisasi dapat mengembangkan diri secara optimal.

Kekuatan cerita motivasi jauh lebih dahsyat dari presentasi PowerPoint karena motivasi menyentuh pikiran dan hati. Sedangkan presentasi dan motivator biasanya menyentuh pikiran saja. Itu sebabnya para motivator yang terkenal di negeri ini selalu menggunakan cerita untuk menggugah hati dan pikiran pendengar dan pemirsanya. Konsep-konsep hanya menyentuh pikiran dan akan dilupakan. Namun tidak demikian halnya dengan cerita.

Pemimpin bijak di dalam suatu organsisasi selalu menolong bawahannya bagaimana mencapai sukses organisasi. Caranya dengan menceritakan kisah sejati (true story). Pemimpin selalu menghubungkan organisasinya dengan memakai kisah sukses masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, baik itu kisah organisasinya sendiri maupun kisah sukses orang lain. Misalnya, cerita favorit saya soal Coca Cola yang punya mimpi bahwa setiap orang di kolong langit ini akan minum Coca Cola atau Bill Gates yang memimpikan bahwa setiap pengguna komputer pakai microsoft.

Kitab suci agama samawi pun semuanya dapat bertahan berabad-abad karena berisi cerita tentang kesuksesan tokoh-tokoh dan campur tangan ilahi di dalamnya. Cerita ini bahkan bertahan sampai hari ini yang mampu mengubahkan manusia sepanjang abad.

Howard Gardner pernah berkata sebenarnya pekerjaan esensi seorang pemimpin adalah pencerita atau tukang cerita (storyteller) – (Bdk.Blackaby, 80). Cuma tukang cerita yang dimaksud adalah orang yang mampu bercerita dan pada saat yang sama mampu menghidupi cerita itu dalam kehidupan nyatanya. Misalnya, pemimpin memakai kisah Ikal (dalam Sang Pemimpi) untuk memotivasi bawahannya bahwa dengan bercerita kisahnya dan tentang pentingnya punya motivasi kuat seperti Ikal, ditambah kerja kerasnya. Tapi pemimpin sendiri harus menghidupi apa yang diceritakannya. Sangat mustahil cerita punya kekuatan kalau pemimpin tidak menghidupinya.

Ada tiga jenis cerita yang mampu menggugah hati dan pikiran orang. Pertama, cerita masa lalu. Entah itu cerita kesuksesan atau kegagalan, bisa dijadikan pelajaran dan alat motivasi. Cerita masa lalu itu penting, sebagaimana Winston Churchill pernah berkata semakin jauh ke belakang kita melihat sejarah, semakin jauh ke depan kita dapat melihat (Blakckaby, 80). Kedua, cerita masa kini itu penting karena bawahan kita atau pekerja kita adalah seorang yang bekerja saja dan kadang tidak mampu melihat dan membuat hubungan antara pekerjaan dan keberhasilannya. Jadi perlu pemimpin yang bercerita bahwa apa yang dikerjakannya telah menghasilkan keberhasilan kinerja organisasi. Ketiga, cerita masa depan penting karena bawahan perlu ada satu cerita dari pemimpin tentang gambaran masa depan. Menggambarkan masa depan lewat cerita-cerita sukses membuat bawahan memiliki “mental picture” tentang apa yang akan terjadi di depan, Itu akan membuat mereka bertambah semangat bekerja.

Akhirnya, terima kasih untuk film Sang Pemimpi. Cerita motivasi Ikal dan Arai lewat film sungguh menggugah. Ditunggu film ketiganya. Cuma filmnya mesti sebaik novelnya juga. Hidup film Indonesia! Biarlah kita terus termotivasi mencapai sukses!

Tuesday, December 15, 2009

Bad Preaching

Oleh Daniel Ronda

Ada banyak jemaat tidak menikmati kotbah di gerejanya. Mengapa jemaat mengeluh tentang kotbah? Bukankah Firman Tuhan seharusnya menjadi kekuatan sebuah gereja setelah era reformasi yang mengumandangkan “sola scriptura” yaitu hanya Firman Tuhan?

Masalah yang dihadapi adalah bukan pengkotbah yang tidak baik, namun kotbahnya sering tidak dimengerti, kepanjangan, membosankan, tidak ada daya tarik, tema yang itu-itu saja. Yang justru dianggap menarik adalah pengkotbah yang memiliki latar belakang kharismatik, sedangkan pengkotbah lainnya seperti kehilangan daya tariknya. Apalagi kotbah hanya berisi presentasi dari isi dengan gaya yang tidak menarik.

Menurut hemat saya, setidaknya ada beberapa penyebab mengapa kotbah itu tidak menarik. Pertama, isi atau berita kotbah yang sangat minim dan juga tidak akurat. Ini terjadi karena pengkotbah tidak menggunakan sumber yang tepat untuk menggali isi Alkitab dan hanya memakai cara yang dangkal dalam memahami kebenaran lewat pengalaman semata-mata yang diceritakan. Jemaat awam katakan, lebih banyak ilustrasi daripada isi. Biasanya pengkotbah ini suka melucu dan melenceng dari tema, yang mana sebenarnya tidak jelek. Pengkotbah justru perlu punya “sense of humor”. Namun semuanya harus terukur dan tepat penggunaan humor itu.

Kedua, kajian biblikanya mendalam namun miskin aplikasi dan cerita praktis. Eksposisi yang digali sangat tidak jelas dengan cara memuja eksegesis, hermeneutik, metode historis-gramatika, penuh dengan kutipan-kutipan para ahli dan gambaran historis masa lalu yang menyebabkan kotbah menjadi sangat membosankan tidak aplikatif bagi jemaat. Jemaat hanya diajak mengikuti masa lalu yang dalam tanpa pernah menyadari jemaat membutuhkan aplikasi.

Ketiga, adalah faktor miskin cara dalam berkomunikasi. Cara menyampaikan kotbah tidak koheren atau tidak beraturan sehingga jemaat sulit mengikuti apa yang menjadi tujuan dari kotbah. Harusnya ada tatanan yang baik yaitu mulai dari penjabaran tema, poin-poin yang menuju puncak, dan konklusi serta tantangan. Bila ini tidak beraturan bahkan keluar dari topik, jemaat akan menjadi bingung apa sebenarnya tema dan tujuan kotbah.
Faktor waktu berkotbah juga menyumbang kebosanan jemaat. Ada kotbah yang kepanjangan dalam menyampaikan gagasannya, bahkan berulang-ulang ditekankan sehingga jemaat menjadi bosan sekali. Daya tahan jemaat biasanya tidak lama. Sesekali bila ada pengkotbah tamu yang menarik mungkin jemaat bisa bertahan, namun tidak untuk selamanya. Jangan kita terobsesi menjadi pengkotbah yang bicaranya berkepanjangan.

Bagaimana memperbaikinya? Menurut saya sederhana. Menjadi pengkotbah adalah sebuah proses dan tidak ada pil ajaib yang dapat mengubah seorang pengkotbah langsung jadi. Ada proses waktu yang dijalani seorang pengotbah. Ia perlu banyak melatih diri dan memiliki jam terbang kotbah yang banyak. Namun semua juga sangat bergantung kepada Allah dan karunia dari Tuhan. Pengkotbah harus banyak berdoa.

Kita juga harus mengingatkan jemaat dalam menghadapi pendetanya yang kurang bisa berkotbah. Pertama, doakan hamba Tuhan kita agar Tuhan bisa dipakai dalam berkotbah. Kedua. Bila setelah didoakan belum ada perubahan, maka kita patut datang berbicara dengan pendeta kita dan katakan kepadanya dengan penuh kasih tentang kotbahnya. Ketiga, kirim pendeta kita untuk menghadiri peningkatan kemampuan dalam kotbah. Dan yang terakhir, bila belum ada perubahan mungkin sebaiknya hamba Tuhan itu menyadari bahwa Tuhan memberi karunia yang lain. Itu sebabnya kita undang hamba-hamba Tuhan lain dapat berkotbah di gereja kita. Setiap pengkotbah jangan putus asa untuk maju. Bila ada kritik dari jemaat, terima dengan senang hati sehingga menjadi kajian agar kotbah kita lebih baik di kemudian hari.

Wednesday, December 9, 2009

Budaya Malu Berkorupsi

Oleh Daniel Ronda
(Tulisan ini dibuat untuk memperingati Hari Anti-Korupsi Sedunia, 9/12)

Ungkapan bahwa korupsi adalah budaya Indonesia sudah banyak yang menentangnya. Tetapi kajian tentang pengaruh budaya atas perilaku korupsi membuktikan ada budaya-budaya yang menyuburkan praktik korupsi, terutama di budaya Timur termasuk Indonesia. Sangat disayangkan bila kajian korupsi lintas negara dan budaya tidak begitu banyak mendapat perhatian. Padahal tindakan pemberantasan korupsi ini harus memahami konsep yang sangat penting yaitu memahami konsep budaya yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung atas korupsi. Penelitian yang dilakukan John Hooker menemukan bahwa korupsi dalam suatu bangsa atau negara sangat dipengaruhi konsep budaya soal norma dan aturan hukum (rule) dan relasi (relationship). Kalau budaya itu menekankan pentingnya norma dan aturan, maka korupsi bisa diminimalisir. Namun bila relationship atau relasi yang penting, maka berbuat baik menolong sahabat dan atau keluarga jauh lebih penting daripada norma (lihat dan bandingkan tulisannya “Corruption from a Cross-Cultural Perspective”). Sebagai contoh, pejabat yang memasukkan anaknya atau keluarganya jadi PNS, lewat jalur "khusus" dianggap mulia dalam suatu budaya, karena dia melakukan pengangkatan nama keluarga, sekalipun anak itu kurang kemampuannya. Contoh lain adalah budaya berkorban bagi sesama jauh dianggap mulia dibanding dengan uang yang sudah diambilnya. Tak heran seorang koruptor dianggap pahlawan oleh komunitasnya. Misalnya, kasus koruptor anggota DPR asal Sulsel yang menjadi terdakwa dalam kasus penyuapan proyek lapangan udara dan pelabuhan di Indonesia Timur, justru menuai banyak suara di komunitasnya pada pemilihan kembali walaupun dia sudah ada di penjara. Apalagi korupsi yang dilakukan atas nama “rakyat” dan bertujuan untuk kebahagiaan rakyat dengan membangunkan rumah ibadah dan sarana lainnya. Ini sangat mulia di mata masyarakat, sehingga tidak mengherankan banyak pemimpin agama tutup mata akan hal ini. Bahkan ramai-ramai memasukkan proposal ke pejabat, tidak peduli dia dapat uang darimana, sekaliber pemimpin yang tahu kebenaran pun tidak mau tahu. Contoh yang nyata dan selalu muncul di sekolah adalah guru yang membantu memberikan jawaban kepada anak murid ketika sedang ujian dianggap mulia karena menolong anak ini dari kemungkinan ketidaklulusannya. Dan begitu banyak lagi contoh yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bagaimana mengatasinya? Mengapa sudah begitu banyak upaya mengatasi korupsi di Indonesia tidak membuahkan hasil yang optimal? Masalahnya adalah pendekatan Barat dalam mengatasi korupsi dipakai di dunia Timur termasuk di Indonesia jelas tidak mencukupi. Norma dan aturan yang dibuat dalam produk hukum akan selalu dicurangi. Apalagi mereka yang memiliki uang dengan mudah melakukan penyuapan kepada aparat penegak hukum. Lihat contoh nyata, pembukaan rekaman percakapan pengusaha yang terjerat hukum bisa dengan mudahnya berteman dengan pejabat tertinggi dan mengatur kasus-kasus hukum. Produk hukum tidak berdaya dengan penyuapan, karena sifat relasi yang begitu kental di dalam masyarakat Indonesia. Itu sebabnya, kita harus mengakui SBY yang tidak juga membebaskan besannya dari penjara, sekalipun dia bisa saja “bermain”. Alangkah menyedihkan bila SBY membiarkan produk hukum dicurangi oleh bawahannya dan memainkan hukum sesuai dengan kolusi pejabat dan pengusaha.

Sudah seharusnya pendekatan dengan konsep norma dan hukuman mendapat penekanan di dalam bentuk “shame culture” atau budaya malu. Penegak korupsi jangan hanya mendekati dari sudut pandang hukum dan norma yang ada. Harus ada upaya “mempermalukan” koruptor dan menegakkan budaya malu. Seharusnya penegak hukum belajar dari Asia seperti Jepang, Korea, China, dan Singapura dalam penegakan korupsi. Bila budaya relasi yang masih kental, maka sulit diharapkan terjadinya perubahan. Shame culture, dalam pandangan budaya berbicara soal kehormatan diri sebagaimana yang diharapkan dalam masyarakat. Bila kehormatan hilang, maka itu tidak dapat dipulihkan hanya dengan penjara (bdk. Paul Hiebert dalam Cultural Anthroplogy, 212-3). Itu sebabnya secara positif budaya malu terus dimasyarakatkan, yaitu budaya malu melanggar hukum. Sayang, budaya malu yang kita miliki lebih kepada kehormatan diri, keluarga dan kerabat, dan bukan malu karena melanggar hukum dan norma. Ini tantangan baru para penegak hukum soal korupsi.

Budayawan, rohaniwan, sosiolog, termasuk iklan TV oleh pemerintah dan media sendiri harus mempromosikan budaya malu. Jangan hanya mempromosikan kisah sukses pemberantasan korupsi saja, tetapi penegakan hukum yang disertai budaya malu adalah hal yang penting. Jangan sampai media juga yg adalah bagian dari pop culture justru tidak pernah mengedukasi pemirsa dengan norma dan rasa malu, serta kaitannya. Kasus Mbok Minah yang menghebohkan itu lebih didekati media dan pengamat dari unsur kemanusiaan dan rasa keadilan ketimbang penegakan hukum dan aturan apalagi disertai rasa malu.

Thursday, December 3, 2009

SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU 2010

Kami sekeluarga (Daniel, Elisabeth, Bunga, dan Bagus) mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru 2010 kepada sahabat, rekan, dan saudara dalam pelayanan. Kiranya Tuhan akan memakai kita lebih ajaib lagi di tahun 2010. Tuhan itu baik kepada semua orang dan doa kami agar menjadikan kita alat kebaikan Tuhan kepada DUNIA.

Monday, November 2, 2009

KEPEMIMPINAN MODEL GEMBALA

Oleh Daniel Ronda

TEKS ALKITAB PENUNTUN
Yohanes 10:11: “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya.”

I Petrus 5:4: “Maka kamu, apabila Gembala Agung datang, kamu akan menerima mahkota kemuliaan yang tidak dapat layu.”

Mazmur 78:72: “Ia menggembalakan mereka dengan ketulusan hatinya, dan menuntun mereka dengan kecakapan tangannya.”

Yesaya 11:5: “Ia tidak akan menyimpang dari kebenaran dan kesetiaan, seperti ikat pinggang tetap terikat pada pinggang.”

PENDAHULUAN
Mengawali tulisan ini, saya ingin memulai dengan perenungan: Apakah menurut pengamatan sebagai pemimpin, para pemimpin gereja saat ini di sekitar kita saat ini sedang memimpin dengan hati gembala (herding leadership) atau gaya “herder” (analogi anjing jenis herder)? Pertanyaan ini saya ajukan karena memimpin bukan hal mudah, tetapi membutuhkan sesuatu kemampuan khusus dari Tuhan, sementara banyak pemimpin yang putus asa terhadap pengaplikasian prinsip kepemimpinan dan memilih jalan pintas yaitu dengan cara “herder” yaitu gaya otokratik dan bahkan kekerasan. Sonny Eli Zaluchu dalam tulisannya tentang Intrik di Dalam Gereja mengatakan bahwa “Kelemahan kepemimpinan gembala biasanya ditandai dengan sejumlah aktifitas yang cenderung memaksakan kehendak, gaya penggembalaan yang tidak berkenan, mulut yang tidak terkontrol, menguatnya pengaruh dan intervensi orang-orang tertentu di dalam keputusan gembala (orang kuat, anak, menantu), visi yang lemah, doa yang kurang dan sikap yang mencerminkan kekunoan (seperti plin-plan, tidak mau mengakui kesalahan dan sikap tidak mau tahu). Hal yang paling utama adalah gembala yang tidak mau berubah dan selalu tertutup menerima masukan karena menganggap diri benar. “ Jalan ini seringkali diambil karena paling “aman” yaitu adanya anggapan bahwa mereka (baca: pengikut atau jemaat) tidak perlu tahu. Namun seperti yang kita sudah ketahui bersama, model dari kepemimpinan “herder” ini menghasilkan kehancuran baik diri sendiri maupun organisasi yang dipimpinnya.
Seharusnya menurut pendapat saya, memimpin dengan hati gembala adalah berbicara tentang melayani, menuntun, mengarahkan, menantang, dan membantu orang lain dan organisasi untuk bertumbuh. Kepemimpinan gembala tidak berbicara soal aktivitas manajemen belaka, namun menumbuhkan orang yang kita pimpin. Itu sebabnya mengawasi dan menuntun yang dipimpin akan lebih mudah dan akan menunjukkan hasil yang berbeda. Sudah dibuktikan bahwa orang yang dipimpin tidak dapat digerakkan dimotivasi oleh sebuah birokrasi atau prosedur sebagaimana teori manajemen. Orang hanya digerakkan oleh visi, nilai-nilai, prinsip-prinsip dan keyakinan tentang diri (Robert J. Stevens).
Hal ini diperkuat juga oleh seorang tokoh kepemimpinan dari India Anthony D’Souza, yang mengatakan tentang kepemimpinan gembala sebagai berikut:
Bagi pemipin-gembala, produknya adalah para pengikut. Bukan keuntungan , bukan pangsa pasar. Para pengikut itu sendiri yang menjadi tujuan dan produk dari upaya pemimpin-gembala. Dan, karena itu, ketika dombanya tetap hidup menghadapi berbagai bahaya dalam perjalanan, ketika mereka bertambah kuat, gembala dengan setia menunaikan tugasnya. Domba memang harus dibimbing, didorong, dan dimotivasi untuk mencapai kinerja terbaik. Namun, domba-domba inilah yang memenuhi [hati]pemimpin-gembala ketika tidur di malam hari dan yang pertama dicari ketika sinar mentari pagi menandai setiap hari baru. Gembala benar-benar merupakan pelayan domba-dombanya. Pertumbuhan dan pemeliharaan terhadap mereka menjadi tugas dan agendanya dalam mencapai sukses (28-9).

Tetapi dalam pengamatan saya, masalah yang terbesar dihadapi beberapa pemimpin Kristen adalah memiliki minat yang rendah dengan orang-orang serta tidak memiliki kemampuan menjalin hubungan dengan rekan-rekan (interpersonal relationship) dan tidak peduli kepada masalah-masalah emosional orang yang dipimpinnya. Hal lain adalah adanya sikap pesimis terhadap kehidupan di depan sehingga menurunkan semangat organisasi yang dipimpinnya. Ciri lainnya yang paling banyak muncul dalam kepemimpinan adalah bersikap antisosial, skeptis, kurang senyum, suka mendominasi dan agresif. Padahal ini berlawanan dengan kepemimpinan dengan hati gembala.
Fakta lain adalah pemimpin apapun jenisnya senang pendidikan formal, training, menghargai prinsip-prinsip kepemimpinan, dan juga kemampuan manajemen. Tetapi ada kelemahan mendasar kalau tidak memiliki kepemimpinan gembala yaitu hubungan (relationship). Padahal kepemimpinan yang efektif sebagaimana yang ditemukan dalam riset pakar kepemimpinan Kouzes dan Posner bahwa “kepemimpinan adalah hubungan (leadership is a relationship)”. Mereka berdua berkata, “Kepemimpinan adalah sebuah hubungan. Kepemimpinan merupakan hubungan antara mereka yang terpanggil untuk memimpin dan mereka yang memilih untuk mengikuti. (Versi Inggrisnya: Leadership is a relationship between those who aspire to lead and those who chose to follow. Sometimes the relationship is one-to-many. Sometimes it’s one-to-one. But regardless of whether the number is one or one thousand, leadership is a relationship). (21)”
Satu hal lagi yang diingatkan oleh Dr Stacy Rinehart dalam bukunya Upside Down yang berkata: “Banyak orang sudah tahu resep Yesus untuk sukses kepemimpinan yaitu ‘Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya (Markus 10:43-44)’, tetapi ketika hal ini hendak diterapkan dalam hal praktis, banyak pemimpin tidak mau memakai nasehat Yesus ini dan malahan menerapkan tren kepemimpinan duniawi”. [“Most believers are familiar with Jesus’ recipe for leadership success (“Whoever wants to become great among you must be your servant, and whoever wants to be first must be slave of all” [Mark 10:43-44 NIV]), but when it comes to putting that into practice, many leaders are content to leave Jesus’ advice on a dusty road in Galilee and follow society’s leadership trends.”] Banyak pemimpin mencoba mengikuti tren kepemimpinan dan melupakan prinsip Yesus tentang kepemimpinan gembala.

PRINSIP-PRINSIP KEPEMIMPINAN GEMBALA (HERDING LEADERSHIP)

Untuk itu pada orasi pagi ini, saya ingin menguraikan secara sederhana beberapa prinsip kepemimpinan gembala yang biblika yang sudah banyak juga diadopsi oleh tren teori kepemimpinan secara umum.

KEBAIKAN
Memimpin dengan kebaikan harus berpola kepada kebaikan hati Allah. Dalam teologi kata kebaikan (goodness atau chrēstotēs dalam bahasa Yunani) diidentikkan dengan kemurahan Allah (di bawah pembahasan Allah Mahakasih). Albert Barnes (teolog) memberikan arti kata ini sebagai kindness yaitu kebaikan hati, keramahan, perbuatan baik, kasih sayang. Allah baik di mana Ia penuh dengan belas kasih, baik hati, anugerah, mementingkan kepentingan orang lain (altruisme). Sehingga Allah yang penuh dengan kebaikan berarti Allah yang mengasihi umat-Nya, Allah yang lemah lembut, baik hati dan selalu memberikan anugerah baik dalam Perjanjian Lama sampai dengan Perjanjian Baru. Kasih setia Allah dicurahkan kepada umat-Nya, Israel, meskipun mereka terus berdosa. Ketika Allah harus menghukum Israel karena kebebalan hati mereka yang terus menyembah berhala, Ia tetap mengasihi mereka, sehingga setelah mereka bertobat Allah tetap mengasihi dan memulihkan keadaan mereka, yang walaupun kebaikan Allah tidak pernah boleh dipisahkan dengan keadilan Allah (diambil dari Denny Teguh Sutandio).
Pemahaman teologi ini akan menolong kita dalam mengaplikasikan kebaikan dalam kepemimpinan kita. Sifat moral Allah yang mahabaik menantang pemimpin Kristen untuk memiliki kebaikan moral dan semangat alturisme dalam karakternya.

KETULUSAN HATI
Ketulusan hati berbicara tentang integritas seorang pemimpin. Raja Daud dikatakan bahwa “Ia menggembalakan umat Israel dengan ketulusan hatinya, dan menuntun (memimpin-led) mereka dengan kecakapan tangannya” (Mazmur 78:72). Itu sebabnya memiliki kompetensi dalam kepemimpinan saja tidak cukup, dibutuhkan juga ketulusan hati.
Ketulusan hati tercermin dalam integritas kehidupan seorang pemimpin. Rendahnya integritas telah menjadi masalah kepemimpinan Kristen. John Maxwell mengatakan bahwa di dalam sebuah survei di Amerika yang ditujukan kepada kurang lebih 1300 para pimpinan perusahaan dan pejabat di pemerintahan, mereka ditanya kualitas apakah yang paling penting dimiliki untuk dapat sukses menjadi pemimpin. Jawabannya menarik karena secara mayoritas (71%) mereka memilih jawaban sebagai yang terpenting: integritas (173).
Arti kata integritas adalah keadaan yang sempurna, di mana perkataan dan perbuatan menyatu dalam diri seseorang. Seseorang yang memiliki integritas tidak meniru orang lain, tidak berpura-pura, tidak ada yang disembunyikan, dan tidak ada yang perlu ditakuti. Kehidupan seorang pemimpin adalah seperti surat Kristus yang terbuka (II Kor 3:2).
Integritas sebagai karakter bukan dilahirkan, tetapi dikembangkan secara satu lepas satu di dalam kehidupan kita melalui kehidupan yang mau belajar, keberanian untuk dibentuk Roh Kudus. Itu sebabnya seorang pemimpin terkenal berani berkesimpulan, bahwa karakter yang baik akan jauh lebih berharga dan dipuji manusia dibandingkan dengan bakat atau karunia yang terhebat sekalipun. Kegagalan sebagai pemimpin bukan terletak kepada strategi dan kemampuannya dalam memimpin, tetapi kepada tidak adanya integritas pada diri pemimpin (Lihat Maxwell, 178).
Itu sebabnya memimpin tidaklah mudah. Ada ungkapann yang berkata bahwa , “Pemimpin laksana ikan dalam akuarium (fishbawl) di mana semua segi kehidupannya diamati dan diawasi orang lain. Menariknya, orang lebih mengingat kejelekan kita daripada kebaikannya.” Memang kepemimpinan selalu menjadi sorotan dan ketika seseorang menjadi pemimpin, orang mulai menyoroti kelemahannya, tetapi dengan mengembangkan integritas akan menolong kita menghadapi hal ini.

KECAKAPAN
Memimpin dengan kecakapan berarti memiliki kompetensi, kemampuan serta keahlian. Menurut Dr. Yakob Tomatala, kompetensi meliputi banyak hal yaitu meliputi kompetensi karakter, pengetahuan, dan keahlian (Lihat Kepemimpinan yang Dinamis: 235-341). Dalam orasi ini saya khusus mengambil dua hal dari kompetensi keahlian yang menolong menguatkan kepemimpinan gembala kita yaitu kecakapan hubungan antar manusia (relationship) dan kecakapan keahlian teknis. Sebagaimana diringkas oleh Dian Pradana, maka kompetensi yang dimaksud oleh Dr. Tomatala itu meliputi dua hal.
Pertama, kecakapan yang berkenaan dengan “hubungan antar manusia” atau disebut juga “keterampilan atau kecakapan sosial”. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya menyadari bahwa ia membutuhkan orang lain, tetapi ia juga dengan penuh tanggung jawab dapat membina hubungan baik dengan orang lain yang menjamin kerja sama yang baik dan keberhasilan kerja. Hubungan baik dengan orang lain harus dimulai oleh pemimpin. Ia harus memiliki tekad untuk menyukainya, menghidupinya dengan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Prinsip kepemimpinan Tuhan Yesus tetap berlaku di sini, yaitu: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Matius 7:12). Tekanan utama yang diberikan di sini adalah bahwa apa saja yang dilakukan oleh seorang pemimpin, mencerminkan apa saja yang akan/nanti/telah diperbuat orang kepadanya. Apabila pemimpin menghendaki dan melaksanakan/membina hubungan baik dengan siapa saja, ia pun akan menerima kebaikan dari tindakannya.
Kedua, kecakapan yang berkaitan dengan “hubungan pelaksanaan tugas” di mana seseorang yang disebut ahli itu tahu dan dapat melakukan tugasnya dengan baik dan benar. Keterampilan atau keahlian atau kecakapan tugas berkaitan erat dengan hal-hal praktis yang bersifat teknis, sehingga dapat juga disebut keahlian teknis/praktis. Keahlian ini berkaitan erat dengan “bagaimana melaksanakan tugas”, yang harus dilaksanakan dengan baik dan . pemimpin harus memiliki keahlian khas, khususnya yang berkenaan dengan kecakapan memimpin.

Itu sebabnya dalam memimpin, seseorang tidak boleh pernah berhenti belajar baik dalam bentuk formal ataupun informal. Pembelajaran yang terus menerus akan menghasilkan kecakapan yang lebih banyak lagi. Pembelajaran tidak berfokus kepada gelar, namun kepada pemenuhan salah satu kunci sukses pemimpin-gembala yaitu cakap, yang meliputi cakap mengajar, cakap berelasi, dan cakap memimpin.

KESETIAAN DALAM KEBENARAN
Kata kesetiaan adalah penting dalam kosakata teologi Kristen dan juga pemimpin-gembala. Setidaknya dalam Perjajian Lama maupun Perjanjian Baru pemimpin dituntut Tuhan untuk mencintai kesetiaan (love mercy) disamping adil dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah (Mikha 6: 8). Kesetiaan harus ditunjukkan disamping kasih sayang kepada masing-masing sebab Tuhan akan menjadi Allah mereka dalam kesetiaan dan kebenaran (Zakaria 7:9 dan 8:8). Setidaknya ada tiga sebab mengapa kesetiaan itu penting. Pertama, kesetiaan adalah yang terpenting dalam hukum Taurat (Matius 23:23); kedua, kesetiaan salah satu buah Roh Kudus yang harus ada dalam kehidupan kita (Galatia 5:22); ketiga, kesetiaan merupakan salah satu yang harus dikejar disamping keadilan, kasih dan damai (II Timotius 2:22).
Dalam pengamatan saya, banyak ahli kepemimpinan tidak suka kata kesetiaan, karena beranggapan bahwa kata ini sering kali disalahgunakan sebagai tameng untuk berlindung dari kegagalan memimpin. Walaupun demikian, kesetiaan tidak boleh dihilangkan dalam kamus pemimpin-gembala, karena tanpa kesetiaan, maka kita tidak berhak menuntut loyalitas yang sama kepada pengikut kita. Justru ini yang menjadi kunci keberhasilan pemimpin-gembala.

KESIMPULAN
Tren kepemimpinan telah berkembang sangat pesat dan dapat dengan mudah dipelajari secara mandiri. Bahkan nilai dan prinsip biblika telah mewarnai semua lini prinsip ilmu kepemimpinan. Namun dalam lini praktika, kita diperhadapkan dengan kompleksitas kultural, masalah sosial, dan konteks yang sangat beragam. Saat ini kita tidak boleh berhenti dengan penerapan kepemimpinan dalam kehidupan kita. Ada banyak keunikan yang akan kita temukan di lapangan. Seperti kata Robert Clinton, kita sedang memasuki “universitas kehidupan” (“university of life”), di mana penerapan nilai kepemimpinan tidak pernah berhenti. Nilai-nilai itu harus terus digali dan diaplikasikan.
Salah satu hal yang menjadi solusi dalam kepemimpinan sat ini adalah perlunya pengembangan kepemimpinan yang berhati gembala. Nilai ini bersumber dari Yesus sendiri lewat hidup dan pengajaranNya. Prinsip itu didasarkan kepada kebaikan, ketulusan hati, kecakapan, dan kesetiaan dalam kebenaran. Prinsip ini kekal, namun penerapannya membutuhkan waktu dan kerja keras di dalam konteks masyarakat pascamodernitas ini.
Mengakhiri tulisan ini saya mengajak kita merenungkan kembali pernyataan Anthony D’Souza tentang hasil dalam menerapkan pemimpin-gembala:
Oleh karena itu, gembala adalah model bagi para pemimpin dari segala organisasi, termasuk perusahaan industri dan komersial. Pemimpin dituntut untuk bertindak sebagai gembala sejati atas organisasinya, yang pertama-tama dan terutama dilihat sebagai komunitas manusia. Dengan demikian, pemimpin semacam ini akan memperoleh loyalitas dan komitmen dari para pegawai dan pelanggan, dan pada gilirannya akan meraih apa yang tidak pernah dapat diperintahkan oleh pemimpin lain (29).

Sekali lagi berkat dan sukses kepemimpinan adalah bila dikembangkan model kepemimpinan gembala. Loyalitas pengikut dan pengembangan organisasi adalah suatu pencapaian yang terjadi sebagai akibat dari pengembangan kepemimpinan gembala secara konsisten.

Works Cited:

D’Souza, Anthony. Proactive Visionary Leadership. Jakarta: Trisewu, 2007.

Kouzes, James M. & Barry Z. Posner. The Leadership Challenge (Tantangan Kepemimpinan). Edisi
Ketiga. Terj. Revyani Sjahrial. Jakarta: Erlangga, 2004.

Maxwell. John C. Developing the Leaders Within You. Nasville: Thomas Nelson, 1993.

Rinehart, Stacy. Upside Down. USA: NavPress, 1998. Tersedia di
http://www.navpress.com/Store/Product/9781576830796.html. Diakses
1 Juni 2008.

Stevens, Robert J. Management Versus Leadership. 28 Februari 2006. Diakses 14 Mei 2008.
Tersedia di http://herdingcats.typepad.com/my_weblog/
2006/02/management_vers.html.

Sutandio, Denny Teguh. Murka Allah Terhadap Kebebalan Manusia dan Pentingnya
Pertobatan. Tersedia di http://dennytan.blogspot.com/2007/06/roma-23-4-murka-
allah-terhadap.html. Diakses 1 Juni 2008.

Tomatala, Yakob. Kepemimpinan yang Dinamis. Malang: Gandum Mas, 1997 (diringkas oleh
Dian Pradana, tersedia di http://www.sabda.org/lead/_htm/
menemukan_pemimpin_kompeten.htm, diakses 1 Mei 2008)

Zaluchu, Sonny Eli. Intrik dalam Gereja. http://www.glorianet.org/kolom/kolointr.html;
Gloria Cyber Ministries, Diakses 14 Mei 2008.

Sunday, October 25, 2009

DENGAR KOTBAH KOK NGANTUK?

By Daniel Ronda

Pagi ini saya ke gereja dan jarang-jarang dapat kesempatan mendengar kotbah karena biasanya selalu berkotbah di mimbar. Ketika sudah tiba waktunya kotbah, seorang yang diundang khusus dari luar kota, menyampaikan kotbah. Anehnya dalam tempo lima sampai sepuluh menit saya diserang rasa kantuk yang hebat. Rasanya ingin tutup mata saja. Saya tahan mata saya karena status sebagai hamba Tuhan. Kalimat lepas kalimat berlalu diucapkan kelihatan tidak bermakna dan mengena. Tiba-tiba pernyataan Haddon Robinson masuk di kepala saya “Apa ide besarnya?”. Ini yang tidak pernah saya dapatkan. Apakah mungkin saya kurang tidur? Rasanya tidak.

Untuk membuktikannya, lalu saya lihat sekeliling dan muai bertanya apakah kalau hanya saya yang bermasalah. Ternyata di depan saya seorang ibu sibuk perhatikan brosur acara pemuda “Booming Youth” yang dibagikan pada waktu kami masuk. Di seberang kursi ada bapak mapan asyik bolak balik buletin gereja yang sudah berkali-kali dibaliknya. Seorang oma, sebelah depan kanan saya, selalu gelisah membalikkan badan dan pantat duduknya sambil menggosok-gosok tongkatnya. Mungkin dia berpikir kapan acara itu selesai. Ada ibu tiga baris di depan saya sibuk mengipasi badannya dengan buletin gereja, padahal ruangan sudah cukup dingin. Suasana sungguh terasa lesu. Bahkan seorang Ibu sebelah sudut kiri kursi saya asyiki ber-sms ria sambil menyembunyikan telepon selulernya (hp) di balik Alkitab.

Rick Warren mengingatkan kita para pengkotbah, bahwa
Preaching is all about bridging THEN (interpretation) and NOW (application). The bridge is the Timeless Principle.” Kotbah adalah “menjembantani” masa lalu Alkitab lewat penafsiran yang baik dan penerapan prinsip-prinsip itu kepada masa kini. Konsep penjembatanan adalah kunci kotbah yang menarik. Banyak kali kita berkotbah hanya bagi diri, kita senang memfokuskan pada beritanya, kita asyik dengan argumen kita, tidak peduli apa jemaat mengerti atau berhubungan dengan kehidupannya. Itu sebabnya pengkotbah tidak peduli kalau jemaatnya gelisah, karena fokus kepada uraian penafsiran teks Alkitab yang berhubungan dengan masa lalu di Israel.

Namun ada juga yang asyik dengan aplikasi yang kelihatan menarik namun kadang tidak sesuai dengan teks yang dibahas. Sibuk dengan cerita dan ilustrasi masa kini, yang sebenarnya mengena dalam kehidupan sehari-hari, namun miskin prinsip penjembatanan.

Soal tidak sesuai antara judul dan isi kotbah, memang seringkali pengkotbah terjebak untuk mengangkat banyak ide besar. Pagi ini topik kotbah seringkali dikembangkan dari aslinya. Saya mulai mendengar pengkotbah mulai berbicara tentang rasa malu, lalu rasa bersalah, dan topik yang sepertinya penting yaitu perlunya air hidup. Namun ditambahkan topik misionari dan eksploitasi perempuan dari kisah perempuan Samaria. Aduh kok banyak sekali gagasan yang hendak disampaikan? Di sini tidak ada benang merah yang ingin disampaikan. Dari gagasan tentang pertobatan, kegagalan gereja menjadi saksi (semangat reformasi yang hilang), sampai kepada usaha misi. Wow!!!

Berkotbah bukan gampang, namun kalau tidak ada saya berikan analisa yang begini, banyak hamba Tuhan akan menggampangkan berdiri di mimbar. Seorang pengkotbah perlu terus menyempurnakan cara ia menyampaikan Firman Tuhan. Tentu prinsip rohani seperti berdoa, “berendam” dalam teks Firman adalah hal dasar yang harus dilakukan pengkotbah. Namun sudahkah kita berani mengevaluasinya? Tolong... jangan bikin ngantuk jemaat!

Friday, October 23, 2009

SEKS YANG BAIK

Oleh Daniel Ronda

Artikel sederhana ini merupakan saduran tentang seks yang baik dalam pernikahan Kristen. Ini bagian dari ceramah yang akan disampaikan dalam Komisi Pasutri Gereja Kristen Kalam Kudus Makassar, Oktober 2009:

A. Fakta Alkitab tentang seks:

  1. Seks memiliki kekuatan yang dahsyat (Kej 2:23-24)

Menjadi satu daging. Seks bukan hanya kesatuan fisik, tetapi juga kesatuan emosional, psikologis dan rohani. Dia laksana 2 kertas yang dilem menjadi satu. Bila coba dipisahkan akan menjadi robek. Seks mengikat tali perkawinan lebih dalam dan kuat.

Seks menjadi alat di tangan Tuhan sebagai pro-kreasi, di mana kuasa penciptaan Allah terjadi lewat hubungan seksual.

  1. Seks merupakan penemuan dan pencarian seumur hidup

Bacalah kitab Kidung Agung. Di sini Allah menghendaki manusia untuk menikmati seks, mengeksplorasi tubuh lewat membangkitkan gairah dan mencapai puncak. Tetapi film-film telah merusak citra seks, sehingga seks yang menggairahkan kalau baru bertemu (one night stand) atau perselingkuhan (affair).

Baca Amsal 5:18-19. Allah menghendaki pasangan menikmati hubungan seksual.

  1. Seks merupakan “bumbu” yang paling esensial dalam pernikahan.

Baca I Kor 7:3-5.

- Jangan membuat seks sebagai senjata untuk menghukum pasangan.

- Jangan pakai sebagai alat untuk memisahkan diri karena Setan bisa memakai keterpisahan untuk menghancurkan perkawinan.

- Analogi: seks adalah sebuah “busi motor”. Benda yang kecil tetapi sangat penting dalam kehidupan pasangan suami istri. Ia juga laksana garam dalam masakan.

  1. Seks adalah tindakan memberi

Baca: Ef 5:21-22, 25, 28-33. Janganlah seks menjadi alat pemuas diri, tetapi memberikan yang terbaik bagi pasangan. Belajar untuk memberikan kepuasan bagi pasangan. Masalah hubungan seks biasanya muncul ketika level keinginan berbeda terutama pada masa stres, kehamilan, dan pasca melahirkan. Jangan hanya menuntut pasangan memenuhi kebutuhan seks, tetapi belajar memahami situasi pasangan.

B. Enam kualitas sebagai pencinta ulung:

Masalah seks dalam pernikahan:

“Laki-laki tidak mendapat cukup seks; perempuan tidak mendapat cukup romantisme; Laki-laki langsung mau ke tujuan; perempuan mau lewat proses (jalannya); Laki-laki seperti kompor gas: langsung panas dan langsung dingin; perempuan seperti kompor listrik: lambat panas dan juga selesainya lambat dingin.”

Prinsip menjadi pencinta ulung dalam hubungan suami istri:

  1. Komunikasi yang baik

Seks menjadi bermasalah bila komunikasi suami istri bermasalah. Bangun komunikasi yang baik untuk mendapatkan seks yang baik.

  1. Kelembutan

- Melibatkan waktu untuk membangun romantisme dan keinginan (nafsu).

- Jangan hanya menyentuh istri bila hendak melakukan seks. Ini tanda yang buruk.

- Istri akan memberikan tubuhnya jika dia merasa aman, dikasihi, dan mesti merasa khusus.

- Jangan ada kekerasan dalam rumah tangga

- Survey: sebagian besar istri tidak tertarik badan macho, tetapi tertarik dengan pria yang lembut dan romantis.

  1. Responsif

Istri perlu memberikan respons atas cinta dan keinginan suaminya. Dia perlu bertindak atraktif terhadap suaminya. Istri tidak perlu malu, bahkan harus berani. Bacalah Kidung Agung 7:12-13.

  1. Romantis

Pasangan suami istri perlu menciptakan suasana yang mendukung adanya kegairahan dalam kehidupan suami istri.

  1. Antisipasi

- “The best sex starts at breakfast”.

- Perlu punya pikiran yang baik dan sehat.

- Hilangkan stres dan tekanan.

  1. Variasi

Seks yang baik meliputi kreativitas, pemikiran dan variasi

- Tempat melakukan hubungan seks

- Variasi dalam waktu

- Variasi dalam suasana (kamar)

- Variasi atas rutinitas. Atas dasar suka sama suka, menjaga kehormatan, dan pencapaian kepuasan bersama.

Wednesday, October 21, 2009

KEPENUHAN ROH KUDUS (2)

Oleh Daniel Ronda[1]

Masalah Baptisan Roh

Pribadi Roh Kudus adalah pribadi yang tidak kalah pentingnya dalam doktrin Kristen. Roh Kudus adalah Allah sendiri. Tetapi dalam penerapan ajaran tentang Roh Kudus menimbulkan kontroversi di dalam gereja-gereja. Topik-topik yang kontroversial itu antara lain baptisan Roh Kudus serta tanda yang mengiringi baptisan Roh.

Sedikitnya ada dua ajaran yang berbeda tentang baptisan Roh Kudus yang dianut gereja (bagi kaum evangelikal):

Pertama, ajaran yang percaya bahwa seseorang yang dibaptis air di dalam nama Kristus pada saat yang sama juga dibaptis dalam Roh. Paulus menyatakan kepada jemaat di Efesus bahwa mereka dimeteraikan oleh Roh Kudus pada saat percaya kepada Kristus (Efesus 1:13). Sehingga tidak diperlukan lagi baptisan Roh Kudus sebagai pengalaman yang berbeda setelah baptisan dalam nama Yesus. Yang diperlukan bagi setiap orang percaya adalah berjalan di dalam Roh atau yang biasa disebut kepenuhan Roh Kudus. Umumnya pandangan ini dianut oleh kaum evangelikal. Bagaimana dengan adanya peristiwa baptisan Roh Kudus yang berbeda dengan pengalaman pertobatan seperti yang ada dalam Kisah 2, 8, 10, 19? Bagi kaum evangelikal, Roh Kudus tercurah atas empat grup yaitu orang Yahudi, Samaria, orang-yang takut akan Allah (God fearers), dan orang kafir untuk menunjukkan bahwa mereka mulai saat itu terhisab di dalam gereja atau masuk dalam satu tubuh yaitu gerejaNya.[2] Lagipula peristiwa-peristiwa yang terjadi itu bukanlah merupakan suatu pengajaran yang bersifat dogamtis dan hanya berupa uraian. Rumus penafsiran kaum evengelikal adalah bahwa hermeneutika yang benar tentang ajaran Kristen adalah “harus dibangun hanya pada bagian-bagian Alkitab yang bersifat didaktis (bersifat ajaran).”[3]

Kedua, bahwa setiap orang yang telah dibaptis dalam nama Yesus memerlukan pengalaman kedua yaitu baptisan Roh yang berbeda waktunya dengan baptisan yang pertama. Umumnya ayat-ayat yang diambil adalah Kis. 2, 8, 10, 19. Ayat-ayat yang dipakai untuk menjelaskan adanya pengalaman yang berbeda. Walaupun demikian mereka juga menganggap pentingnya dipenuhi oleh Roh Kudus. Umumnya pandangan ini dianut oleh gereja-gereja Pentakosta, Sidang Jemaat Allah dan Gerakan Kharismatik atau Neo-Pentakosta (yang notebene juga masih merupakan bagian dari kaum evengelikal).

Kedua ajaran ini tidak dapat dipersatukan dan masing-masing berpendapat bahwa ajaran mereka berasal dari Alkitab. Namun isu ini perlu diangkat untuk mengetahui bahwa gereja-gereja memiliki pemahaman yang berbeda tentang hal ini.

Pentingnya dipenuhi Roh Kudus

Kepenuhan Roh ada hubungan erat dengan pengajaran baptisan Roh itu. Setiap orang perlu mengalami kepenuhan Roh di dalam hidupnya setelah pertobatan atau setelah mengalami pengalaman kedua (seperti yang dibahas di atas). Efesus 5:18b berkata, “Hendaklah kamu penuh dengan Roh.” Ini adalah perintah yang dapat dipegang sebagai doktrin. Kata ini adalah perintah untuk setiap orang yang percaya bahwa setiap orang harus dipenuhi dengan Roh Kudus. Artinya, orang yang dipenuhi Roh Kudus adalah orang yang dipenuhi pribadi Roh Kudus itu. Dia menguasai hidup dan memiliki kehidupan seseorang. Kata ini juga berbentuk present continous tense dalam bahasa Yunaninya. Itu berarti bahwa kepenuhan Roh adalah hal yang bersifat terus-menerus. D. Scheunemann berkata, “Titik berat pengajaran Perjanjian Baru tidak terletak pada suatu pengalaman Roh Kudus yang berlaku hanya pada waktu yang tepat, yang tidak dapat diulangi lagi, melainkan pada pembawaan diri dalam kepenuhan Roh yang terus menerus.”[4] Orang percaya perlu berdoa agar Tuhan memenuhi hidupnya dengan Roh Kudus setiap hari, karena kepenuhan bisa bermakna bahwa seseorang bisa dipenuhi dan pada suatu saat ia kurang dipenuhi oleh Roh Kudus. Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah artinya dipenuhi dengan Roh Kudus? Dalam menjawab pertanyaan ini perlu dibahas cara dan ciri dipenuhi Roh Kudus. Yang pertama menyangkut bagaimanakah seseorang dipenuhi Roh dan yang kedua adalah karakteristik orang yang dipenuhi Roh. Walaupun demikian seseorang tidaklah boleh terperangkap dengan memakai pola tertentu tentang cara seseorang dipenuhi Roh Kudus. D. Scheunemann secara tepat berkata, “Kita tidak boleh menentukan satu cara atau menggariskan satu pola tertentu tentang bagaimana kepenuhan Roh Kudus harus berlangsung dalam kehidupan Kristen. Karena justru cara-cara demikian telah mendatangkan banyak penderitaan dalam jemaat, dan mengakibatkan banyak orang Kristen mengalami pergumulan, keputusasaan, bahkan terlibat dalam peniruan yang fatal.”[5] Jadi sebenarnya masing-masing pribadi memiliki keunikan dalam berhubungan dengan Roh Kudus di dalam hidupnya.

Tetapi setidaknya ada beberapa prinsip tentang bagaimana seseorang dipenuhi Roh Kudus ada tiga yaitu pertama, kerinduan yang mendalam akan Tuhan. Kedua, penyerahan total, dan ketiga, ialah menerima dengan iman (Yoh. 7:37-39).[6] Dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang dipenuhi Roh tidaklah perlu baginya untuk mengalami baptisan Roh tersendiri yang berbeda dari pertobatannya. Dan tidak ada keharusan akan tanda bahasa Roh yang mengikutinya.

Sedangkan ada beberapa ciri yang menunjukkan seseorang dipenuhi oleh Roh. Pertama, kehidupan yang berisi pujian kepada Allah (Ef. 5:19-20). Kedua, orang yang dipenuhi Roh Kudus akan menghasilkan buah-buah Roh (Gal. 5:22-23). Ketiga, orang yang dipenuhi Roh akan menyalibkan keinginan daging karena berjalan dalam pimpinan Roh (Gal. 5:24-26). Artinya, dia hidup dalam kekudusan dan berjuang melawan semua dosa. Itu tidak berarti bahwa orang yang dipenuhi Roh adalah orang yang sempurna, tetapi senantiasa berjuang untuk melawan segala keinginan daging. Keempat, kepenuhan Roh adalah penting dalam pelayanan seseorang, di mana kepenuhan Roh memampukan seseorang dalam melakukan pelayanan (Kis. 4:31; 5:3).

Tentang Bahasa Roh

Bahasan terakhir yang tak dapat diabaikan adalah tentang bahasa Roh. Kelompok gereja tertentu menganggap bahwa bahasa Roh adalah tanda dari orang yang sudah dibaptis oleh Roh Kudus dan bukti dari kepenuhan Roh Kudus. Tentang hal inipun terjadi perbedaan pendapat. Bila melihat pengajaran Perjanjian Baru maka dapat disimpulkan bahwa bahasa Roh adalah salah satu karunia di dalam gereja.

Di dalam Perjanjian Baru ada tiga bagian dari 27 buku Perjanjian Baru. Referensi tentang bahasa Roh terdapat dalam tiga bagian yaitu di dalam Kisah (Kisah 2:1-13; 10:1-11;18:24-19:7); kemudian terdapat satu bagian di dalam 1 Korintus (pasal 12-14); dan satu frase singkat dalam kitab Markus (16:17). Dapat disimpulkan bahwa bila benar bahasa Roh adalah sesuatu yang penting bagi umat Kristen, tentulah Paulus harus menyebutnya dalam kitab-kitabnya yang lain. Tetapi yang ada adalah sebaliknya.

Di dalam daftar karunia-karunia yang didaftarkan oleh Paulus ternyata karunia bahasa Roh ditempatkan terakhir dalam dua daftar (1 Korintus 12:8-10, 28) dan tidak disebutkan dalam Efesus 4:11 dan Rom 12:6-8. Ini menunjukkan bahwa karunia ini bukanlah yang terpenting dalam kehidupan bergereja.

Paulus juga sering mengatakan bahwa karunia bahasa Roh tidaklah sepenting yang lain. Misalnya, hal ini terdapat dalam 1 Kor. 12:28-31, 14:5, 14:19. Paulus juga menjelaskan bahwa karunia bahasa Roh tidaklah untuk setiap orang (1 Kor 12:29-30). Ini menunjukkan bahwa bahasa Roh bukanlah tanda utama dari kepenuhan Roh dan tidak diperlukan dalam pertumbuhan iman orang percaya. Paulus juga tidak mensyaratkan bahasa Roh dalam pemilihan panatua dan diakon (2 Tim 3:1-13; Titus 1:5-9). Pemimpin gereja tidak diberikan syarat untuk memiliki karunia bahasa Roh.

Walaupun bahasa Roh tidak sepenting yang kita bayangkan dalam kehidupan bergereja, namun eksistensinya sampai saat ini masih ada.[7] Salah satu argumen yang saya pakai adalah bahwa bila karunia yang lain masih ada, maka karunia ini pun masih ada logikanya. Yang lainnya adalah bahwa dalam perjalanan gereja, sampai tumbuh pesatnya gerakan Pentakosta dan Neo-Pentakosta maka ada suatu hal yang perlu diakui tentang masih eksisnya bahasa Roh.[8]

Bahasa Roh sebagai fenomena gereja moderen perlu dimengerti sebagai karunia dari Allah. Tetapi, sebagaimana J. I. Packer mengamati bahwa saat ini bahasa Roh adalah “sought and used as part of a quest for closer communion with God and regularly proves beneficial at conscious level, bringing relief of tension, a certain inner exhilaration, and a strengthening sense of God’s presence and blessing.” Ia juga menambahkan, “Glossolalia represents, focuses, and intesifies such awareness of divine reality as is brought to it; thus it becomes a natural means of voicing the mood of adoration, and it is not surprising that charismatics should call it their ‘prayer language.’” Kemudian dia menyimpulkan, “All this argues that for some people, at any rate, glossolalia is a good gift of God, just as for all of us power to express thought in language is a good gift of God.”[9] Maksudnya, bahasa Roh saat ini merupakan suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan memakai bahasa Roh sebagai bahasa doa. Dan itu dapat dikatakan sebagai pemberian Allah, yang sama dalam tiap orang ketika dia mengekspresikan doanya kepada Tuhan di dalam bahasanya masing-masing.

Akhirnya, memakai bahasa Roh perlu berhati hati agar tidak memanipulasi secara psikologis orang lain. Firman Tuhan mengingatkan, “Sesungguhnya, Aku akan menjadi lawan para nabi, demikianlah Firman Tuhan, yang memakai lidahnya sewenang-wenang untuk mengutarakan firman ilahi. Sesungguhnya, Aku akan menjadi lawan mereka yang menubuatkan mimpi-mimpi dusta, demikianlah firman Tuhan, dan yang menceritakannya serta menyesatkan umatKu dengan dustanya dan dengan buahnya. Aku tidak pernah mengutus mereka dan tidak pernah memerintahkan mereka. Mereka sama sekali tiada berguna untuk bangsa ini, demikianlah firman Tuhan” (Jeremia 23:31-32). Ini menjadi awasan bagi setiap orang yang menyatakan diri menerima karunia bahasa Roh.



[1]Ketua (Rektor) STT Jaffray

[2] Lihat penjelasan lengkap: R. C. Sproul, Essential Truths of the Christian Faith (Wheaton, Ill.: Tyndale, 1992), 118-9.

[3] D. Scheunemann, Sungai Air Hidup: Roh Kudus dan PelayananNya (Malang: YPPII, 1979), 169. Lihat juga prinsip yang sama yang dikembangkan oleh Gordon Fee & Dauglas Stuart, How To Read The Bible For All Its Worth (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1981). Fee dan Stuart berkata, “Our assumption, alongwith many others, is that unless Scripture explicitly tell us we must do something, what is merely narrated or described can never function in a normative way,” hlm. 97.

[4] Scheunemann, Sungai Air Hidup, 168.

[5] Ibid., 169.

[6] Ibid., 170-1.

[7] Kesimpulan ini berbeda dengan pandangan profesor saya Randall C. Gleason, PhD (Dallas Theological Seminary) yang menyatakan bahwa bahasa Roh sudah tidak ada lagi dalam kehidupan berjemaat dewasa ini. Lihat Randall C. Gleason, Life in the Spirit (Manila: ISOT ASIA, 1998), 1-16.

[8] Argumen sejarah juga dipakai oleh mereka yang menolak eksistensi bahasa Roh sampai saat ini, di mana sejak Bapa-Bapa gereja sampai abad ke 19 tidak ada dalam catatan sejarah tentang adanya bahasa Roh. Lihat misalnya tulisan Thomas R. Edgar, “The Cessation of the Sign Gifts,” Bibliotheca Sacra 145 (1988):371-86. Saya memakai argumen sebaliknya, walaupun karunia bahasa Roh muncul lagi sebagai fenomena gereja moderen.

[9] J. I. Packer, Keep in Step with the Spirit (Old Tappan, N.J.: Fleming H. Revell Co., 1984), 210-11.

KARYA ROH KUDUS (1)

By Daniel Ronda

Karya Roh Kudus
Roh Kudus adalah Allah sendiri yaitu dalam ketritunggalanNya. Diberi judul karya Roh Kudus karena Roh Kudus adalah pribadi yang kehadiranNya nyata di dalam dunia, terutama juga di dalam gereja. Karya Roh Kudus meliputi empat hal yaitu karya yang evangelistis, organis, karismatis, pedagogis (Scheunemann, 1). Namun tidak bisa dikatakan bahwa karyaNya berlaku secara otomatis di dalam jemaatNya. Karena jemaat perlu memberikan respons yaitu iman dan taat, supaya karyaNya nyata dalam kehidupan orang percaya. Jadi respons kita terhadap karya Roh Kudus penting di dalam kehadiran dan karyaNya. Bila karya penyelamatan adalah anugerah semata-mata, maka penyucian perlu respons manusia atas panggilan itu.

1. Pelayanan Evangelistis
Roh Kudus menyadarkan manusia akan dosa-dosanya, sehingga akhirnya ia mengambil keputusan untuk menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya.

2. Pelayanan Organis
Karya Roh Kudus yang mana Ia memperbaharui hidup kita, menyucikan kita dari dosa, menghasilkan buah-buah Roh Kudus, memiliki hubungan harmonis dengan Tuhan dan sesama jemaat.

3. Pelayanan Karismatis
Memperlengkapi orang percaya dengan berbagai-bagai karunia-karunia untuk tugas pelayanan. Ini akan dibahas tersendiri di bawah.

4. Pelayanan Pedagogis
Roh Kudus memimpin, menghibur dan mengajar orang percaya di dalam kehidupan hari lepas hari. Misalnya, kita mampu menghadapi suka dan duka, tantangan, cobaan, dsb.

Karunia-Karunia Roh Kudus

Apa itu karunia rohani?
Karunia rohani adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh Roh Kudus dan dipakai dalam pelayanan gereja (Grudem, 1016). Karunia rohani sendiri berhubungan erat dengan bakat (natural gifts) seperti mengajar, berkemurahan, atau administrasi dan karunia rohani yang tidak berhubungan dengan bakat seperti nubuat, kesembuhan, karunia membedakan berbagai macam roh. Jadi yang termasuk karunia rohani adalah keduanya, karena keduanya berasal dari Allah dan dipakai untuk memabngun dan menguatkan jemaat.

Tujuan adanya karunia rohani
Tujuannya adalah untuk melengkapi gereja untuk dapat melaksanakan tugas pelayanan di dunia ini sampai Tuhan Yesus datang. Di samping membangun, karunia rohani juga memperkaya kehidupan rohani orang percaya sehingga mereka semakin bertumbuh di dalam Tuhan. Sehingga gereja yang sehat adalah gereja yang memberikan peluang seluas-luasnya agar gereja mempraktekkan karunia rohani.

Berapa banyak karunia rohani dalam gereja?
Sebenarnya tidak ada jumlah yang ditetapkan di dalam gereja berapa banyak karunia dalam jemaat. Ini dibuktikan dari ayat-ayat tentang karunia menuliskan daftar yang berbeda dengan urutan yang berbeda pula. Bahkan untuk jemaat masa kini, ada daftar karunia yang perlu ditambahkan dalam daftar. Yang paling penting setiap jemaat setidaknya memiliki satu karunia. Dan yang paling penting adalah tidak ada karunia yang lebih penting dari yang lain. Semuanya memiliki kedudukan yang sejajar.

Lihat daftar karunia rohani yang ada di Alkitab:
I Kor 12:28
Rasul, nabi, pengajar, mengadakan mujizat, menyembuhkan, melayani, memimpin (administrasi), bahasa lidah.

I Kor 12:8-10
Berkata-kata dengan hikmat, berkata-kata dengan pengetahuan, iman, menyembuhkan, mujizat, bernubuat, membedakan bermacam-macam roh, bahasa roh, menafsirkan bahasa roh.

Efesus 4:11
Rasul, nabi, pemberita Injil, gembala-pengajar.

Roma 12:6-8
Bernubuat, melayani, mengajar, menasehati (encouraging), membagi-bagi sesuatu, memimpin, kemurahan.

I Kor 7:7
Membujang

I Petrus 4:11
Berbicara (banyak karunia tercakup), Melayani (banyak pelayanan tercakup).
Bagaimana kita mencari tahu karunia rohani kita?
Gereja harus menyiapkan sarana di mana gereja bisa mempraktekkan karunia rohani. Semua jemaat harus sadar bahwa karunia rohani masih ada dan bahkan perlu diberi kesempatan untuk jemaat menggunakannya. Jangan ditutupi. Dari sanalah jemaat akan tahu manakah yang akan menjadi karunianya.
Tiap anggota jemaat berdoa dan meminta hikmat dan suatu keyakinan untuk menemukan karunia rohaninya. Cari Tuhan dan minta kepadaNya. Semuanya dipakai untuk memuliakan Allah.
Langkah terakhir tentunya jemaat mulai mempraktekkan atau terjun langsung ke berbagai pelayanan dan lihat bagaimana jemaat diberkati oleh pelayanan kita. Sehingga kita tahu manakah yang menjadi karunia kita, ketika jemaat mulai mengalami berkat dari pelayanan kita.

Karunia adalah alat, dan bukan tanda bahwa seseorang sudah dewasa
Seringkali terjadi salah kaprah bahwa kalau orang memiliki karunia, itu berarti dia sudah dewasa dalam iman, bahkan sempurna. Itu tidak benar. Jemaat Korintus adalah contoh untuk itu. Mereka memiliki banyak karunia, tetapi pada saat yang sama masih berjuang dalam menghadapi dosa. Bahkan Paulus menyebut jemaat Korintus seperti bayi rohani (I Kor 3:1). Jadi bisa saja ada yang punya karunia rohani, tetapi masih belum paham pengajaran atau masih “anak-anak” dalam hal pengenalan Alkitab. Bahkan ada yang masih berjuang melawan dosa. Jadi kita tidak bisa mengevaluasi seseorang yang dewasa rohani berdasarkan karunia rohaninya.

Bahaya yang mengancam karunia rohani di gereja:
1. Tidak pernah dipraktekkan di dalam gereja
Ada ketakutan dan kekhawatiran bahwa bila dipraktekkan bisa menyebabkan masalah. Sehingga yang terjadi adalah karunia rohani dibahas, dikhotbahkan, namun tidak pernah dibiarkan berkembang dalam kehidupan berjemaat.

2. Sombong rohani
Ada orang yang berkeinginan untuk menjadi orang yang terkenal secara rohani. Mereka mulai meniru-niru karunia rohani. Tidak mengerti benar apa itu karunia rohani, tetapi dengan kekuatan sendiri berupaya menghakimi orang lain.

3. Tidak bisa membedakan yang dari Tuhan dan manusia
Mendapat penglihatan dan mimpi untuk menyampaikan nubuatan adalah sesuatu yang Alkitabiah. Namun harus disampaikan dengan kata-kata yang dapat dimengerti serta sederhana, dan tidak membuat kekacauan (I Kor 14:40). Karena Allah tidak pernah bermaksud mendatangkan kekacauan di dalam jemaat. Hati-hati terhadap Iblis yang menunggangi fenomena yang ada, karena dia adalah oknum peniru yang paling hebat.
Jadi kita tidak boleh memadamkan Roh (I Tes 5:20-21, namun pada sisi lain Alkitab mengingatkan kita untuk tidak percaya kepada setiap roh, namun diuji apakah itu berasal dari Allah (I Yoh 4:1; I Kor 14:29).

Kesimpulan:
Karya Roh Kudus harus dipahami secara utuh yaitu evangelitis, organis, karismatis, dan pedagogis. Di dalam karyaNya, Dia ingin umat Allah mengalami semua karya Allah itu.
Karunia rohani adalah dari Tuhan dan untuk membangun jemaat. Karena karunia rohani itu pemberian dari Allah maka:
1. Manusia tidak ada hak membanggakan dirinya dan mulai merendahkan orang lain, menghakimi pihak lain yang berdosa. Padahal justru karunia dipakai untuk melayani orang berdosa.
2. Karunia rohani itu tidak ada keseragaman dan tidak ada yang lebih penting satu kepada yang lain. Jadi tidak semua misalnya mendapat karunia A atau B. Justru dalam keanekaragaman tubuh Kristus dibangun.
3. Hati-hati terhadap ketidakwaspadaan dalam perjuangan rohani melawan kuasa si jahat. Ia selalu menunggangi manusia bila gereja Tuhan bertumbuh.
4. Jangan takut untuk menggunakan karunia rohani di dalam jemaat. Bila ada jemaat memilikinya, marilah kita mendoakannya dan meminta supaya semua karunia bisa dipakai dalam pelayanan.

Wednesday, August 26, 2009

KISAH AKHIR HIDUP DR. R.A. JAFFRAY

Oleh Randall Whetzel

(Banyak orang ingin tahu bagaimana sebenarnya akhir hidup seorang tokoh besar dalam bidang misi seperti Dr. R.A. Jaffray. Kita tahu dia mati di tawanan Jepang, namun kita belum tahu akhir yang tragis itu. Randall Whetsel, teman sepenjaranya, mengisahkan kisah akhir Jaffray. Tulisan ini merupakan kiriman dari Rev. Dr. William Conley yang adalah mantan dosen STT Jaffray, dan beliau mengizinkan saya untuk menerjemahkannya. Terjemahan Daniel Ronda).

Jaffray Ditangkap

Ketika tentara Jepang mulai menyerang Asia Tenggara, R.A. Jaffray, istrinya, Minnie, dan anaknya, Margaret, sedang di Baguio, Filipina, beristirahat beberapa hari sebelum berangkat ke Kanada. Keluarga Jaffray diperhadapkan kepada pilihan yang harus diputuskan: kembali ke Timur memakai kapal laut untuk kembali ke Kanada tempat tinggalnya atau ke Selatan yaitu ke Indonesia (saat itu masih dijajah Belanda). Tanpa ragu, mereka kembali ke Makassar, Indonesia. Saya bertanya kepada Jaffray mengapa tidak ke Kanada saja sesuai rencana, apalagi misi C&MA (The Christian and Missionary Alliance) sudah menetapkan Pdt. Russell Deibler, pemimpin yang luar biasa, sebagai pemimpin. Dia menjawab, “Tempatku adalah dengan saudara-saudaraku di Indonesia.” Jaffray berpikir, sebagaimana saya juga, berharap bahwa dengan kepulangannya tentara pendudukan Jepang akan mengizinkan pekerjaan misi dilanjutkan. Justru dia kembali untuk ditangkap.

Jepang telah menyiapkan kamp tawanan untuk pria di Pare-Pare, sekitar 200 km sebelah utara Makassar. Kamp tawanan untuk perempuan dan tawanan di Kampili, dekat Makassar. Pada awalnya, orang laki-laki yang sudah tua ditempatkan di kamp perempuan, tetapi pada Juni 1943, semua orang tua, yang ditemani sekelompok anak-anak berusia 14 tahun ke atas, direlokasi ke kamp Pare-Pare. Ketika Jaffray mengucapkan selamat berpisah kepada Nyonya Jaffray dan Margaret, mereka pun tidak tahu apakah mereka akan bertemu kembali dalam keadaan hidup.

Tetap Sibuk

Di kamp tawanan, Jaffray bertemu Deibler dan Ernie Presswood, yang juga misi C&MA. Saya juga bertemu Jaffray untuk pertama kalinya pada sorenya. Dia dan 23 laki-laki yang sudah tua diizinkan tidak bekerja dan ditempatkan terpisah dan sedikit baik keadaannya. Jaffray tetap sibuk menerjemahkan ke bahasa Inggris buku-buku dan tafsiran-tafsiran yang dia telah tulis dalam bahasa China dengan suatu harapan bahwa setelah perang berakhir, mereka akan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Di sana ada tiga orang China di kamp tawanan: Konsul China, Bapak Wang; wakil-konsul, Lee Tsu Hwai dan anak laki-laki dari Bapak Wang, Mi Fu. Karena Konsul Wang adalah seorang diplomat, maka dia tidak perlu bekerja, Jaffray sering bercakap-cakap dengannya dalam bahasa China.

Dia setiap sore mengusahakan berjalan mengelilingi kamp dengan Deibler dan Presswood. Saya juga berupaya sesering mungkin bersama dia pada waktu malam sampai larut. Pelayanannya yang telah dilakukan di China, Vietnam (dulu Indo-China jajahan Perancis) dan Indonesia adalah suatu hal yang baru saya tahu. Dia tidak pernah lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang tak terhitung banyaknya. Setelah Russell Deibler meninggal karena diare tanggal 29 Agustus, hanya Presswood menjadi teman sandaran Jaffray. Ketika itu saya pergi selama enam hari dengan sekelompok grup kayu untuk menebang pohon dan memotongnya sebagai kayu bakar untuk dapur Jepang dan juga dapur kami. Waktu itu kami berhasil menyelundupkan berbagai jenis makanan ke kamp, ditaruh secara sembunyi di bawah tumpukan kayu bakar. Barang yang paling populer yang diselundupkan adalah telur bebek, di mana ini menjadi suplemen bagi makanan untuk kesehatan Jaffray.

Hari Minggu kami lebih memiliki waktu bersama. Presswood, Jaffray dan saya berbicara sambil minum teh dan kopi, dan Jaffray sering memberikan teka-teki tentang apa yang saya lihat selama 10 km jalan kami setiap hari untuk mencari kayu bakar. Dia adalah orang yang penuh humor, dan satu komentar dari penjaga Jepang sungguh membuat dia tertawa riang. Kebanyakan pada hari Minggu kami diizinkan beribadah, tetapi suatu minggu kami tidak diizinkan beribadah. Salah seorang penjaga menjelaskan dalam bahasa Indonesia, “Tidak boleh meong-meong!” (Maksudnya tidak boleh menyanyi seperti kucing).

Sasaran Lanjutan

Sebelum Perang Dunia Kedua, gereja Katolik dan Protestan Balanda di Indonesia terlibat dalam perang kata-kata. Saat di kamp, ternyata ada 40 imam Katolik, 80 awam Katolik dan 40 misionari Protestan yang ditawan bersama, dan perselisihan terus berlanjut selama beberapa minggu di dalam tawanan. Dan ketika pertemuan diadakan, salah seorang bertanya “Di fihak mana kita sebenarnya?” “Kita mempunyai musuh bersama, Jepang yang memenjarakan kita.” Sejak saat itu perdamaian terjadi. Saat itu Jaffray berkata bahwa dia berharap bahwa sebenarnya semua masalah dalam kehidupan teratasi sehingga sungguh heran mengapa orang percaya dari semua gereja tidak bersatu melawan musuh bersama yang terbesar yaitu Iblis.
Jaffray seringkali berbicara sasaran berikutnya: membuka daerah Burma (Myanmar) untuk Injil. Dia merasa bahwa pelayanan misi C&MA di Indonesia sudah berjalan dengan sehat, sehingga dia merasa bebas untuk melanjutkan visinya. Saya yakin sepenuhnya, bila dia mampu bertahan hidup dalam perang, dia pasti akan pergi ke Myanmar setelah keadaan lebih baik.
Di dalam kamp tawanan sipil seperti kami, ada beberapa profesor, guru dan dari berbagai profesi. Para tentara penjaga mengizinkan adanya kelas-kelas pendidikan yang diajar setelah makan malam. Beberapa dari guru memiliki buku teks, dan beberapa orang mengajar dari ingatannya. Banyak mata pelajaran yang diberikan, sehingga pilihan menjadi tidak terbatas. Saya mengambil kelas filsafat, atau ilmu burung (ornithology) dan sastra. Jaffray mengikuti kelas etnologi. Saya yakin bahwa ketertarikannya terkait dengan visinya ke Burma.

Pulang Ke Rumah Bapa

Tanggal 19 Oktober 1944, pasukan Sekutu mengebom kamp kami di Pare-Pare. Tentara penjaga memindahkan kami dengan berjalan kaki sepanjang delapan kilometer ke selatan ke beberapa gudang kosong, namun orang yang sudah tua diizinkan naik menggunakan kendaraan trailer besar yang biasa dipakai mengangkut kayu bakar. Kondisi kebersihan di kamp yang baru ini sangat mengerikan. Dalam waktu tidak lama terjadi wabah disentri. Bahkan ketika puncak wabah, ada sampai 400 dari 600 tawanan yang terkena wabah. Presswood dan saya kena penyakit ini, tetapi Jaffray tidak.

Pada Juni 1945, Pasukan Sekutu sudah mendekati pulau-pulau di utara Indonesia, dan tentara Jepang memutuskan untuk memindahkan kami lebih ke dalam lagi. Kami ada 30 dinaikkan ke sebuah truk dari kamp kami di pantai ke pegunungan di Toraja di mana waktu tempuh perjalanan selama 16 jam. Orang-orang yang lebih tua dipindahkan beberapa hari kemudian.
Kamp tawanan baru kami terletak di suatu lembah sekitar hampir dua kilometer dari ujung jalan. Waktu itu hujan terus menerus, sehingga jalanan berlumpur, licin, berlubang dan dipenuhi dengan batu-batu. Orang yang sudah tua tidak dapat berjalan masuk, sehingga kami membuat jalinan bambu dan membuatnya sepanjang malam sehingga jalanan bisa dilewati. Karena bahayanya, maka kami mengikat orang tua sehingga bisa lewat. Jaffray dan beberapa orang lainnya dibawa dengan terburu-buru ke tempat orang sakit, yang berdinding bambu sederhana dan atap jerami dengan lantai tanah. Selimut sama sekali tidak ada. Beruntung, Kolonel Woodward dari Bala Keselamatan (Salvation Army) memiliki jaket tebal sehingga dia menjualnya ke Jaffray US$20, di mana pembayaran akan diberikan setelah perang.

Kecuali yang sudah lanjut, seluruh tawanan dalam keadaan kelaparan. Seringkali tidak ada makanan sama sekali selama 24 jam, bahkan kadangkala 36 jam. Makanan harian adalah setengah gelas nasi, tidak ada garam dan gula, sayuran tidak teratur dan hampir tidak ada daging sama sekali. Jaffay sangat memerlukan garam dan gula, tetapi tidak ada seorang pun yang punya. Beberapa anak muda mencoba menyelinap keluar kamp pada waktu malam untuk mendapatkan benda-benda itu di desa terdekat. Mereka kembali dengan tangan hampa, dan tentara penjaga, yang mengabsen tawanan, memukuli mereka.
Berat badan saya turun menjadi 49 kg dari sebelumnya 75 kg namun saya tetap harus bekerja dengan rekan penebang kayu. Saya kena disentri lagi dan ditaruh di tempat orang sakit sekitar empat tempat tidur dari Jaffray. Hari lepas hari Jaffray semakin lemah. Perawat laki-laki memerintahkan Presswood dan saya untuk memeriksa apakah Jaffray sudah meninggal. Jaffray kemudian pergi ke rumah Tuhan di tengah malam tanggal 29 Juli 1945, beberapa minggu sebelum perang berakhir. Perawat tidak memanggil saya sampai pagi harinya. Presswood kemudian datang, dan kami berdua menangis di samping tempat tidur hamba Tuhan yang terpilih ini.

Presswood memimpin upacara pemakaman pada pukul 16.00 sore dalam suasana hari yang dingin dan berangin. Sekelompok paduan suara gabungan Katolik dan Protestan menyanyikan lagu “Makin Dekat KepadaMu, Tuhan “ (“Nearer My God to Thee”) dalam harmoni tiga bagian yang diaransir oleh sorang imam, Pastor Does. Nyonya Jaffray dan Margaret tidak tahu kematian orang yang dikasihinya sampai kami semua dibebaskan. Setelah perang berakhir, mayat Jaffray dipindahkan ke tempat yang layak di Makassar, di mana kuburannya masih ada sampai saat ini (catatan penerjemah: di kuburan Kristen Panaikang).

Kebenaran Yesus yang ada dalam Lukas 9:57-62 sangat tepat teraplikasi dalam kehidupan Jaffray. Ketika dia sudah melangkah untuk melayani tidak ada lagi titik balik, baik itu karena masalah rohani maupun fisik. Dia tidak mempunyai tempat untuk membaringkan kepalanya yang menjadi miliknya. Lewat pemeliharaan Tuhan, hanya saya dari empat orang yaitu Jaffray, Deibler, Presswood dan saya yang masih hidup. Lewat pengaruh dari ketiga hamba Tuhan ini, saya kembali ke Indonesia pada bulan Januari 1948 dengan istri dan keluarga sebagai utusan misi C&MA. Seseorang yang mengikuti Tuhan dengan begitu dekat dan penuh dedikasi, sebagaimana yang Jaffray lakukan, adalah seorang yang layak diikuti (1 Kor 11:1).

Mengenal Penulis:
Tahun 1947, F. Randall Whetzel ditugaskan oleh misi C&MA ke Indonesia, di mana dia menjadi Direktur Misi Indonesia dari tahun 1957–1963. Setelah memegang beberapa jabatan dalam bidang bisnis, dia menjadi pengarah aktivitas World Relief di Asia dari tahun 1985–1991 dan kemudian menjadi konsultan dari tahun 1991 sampai pensiun tahun lalu (2008). Dia tinggal di Vancouver, Wash.Kanada