Saturday, November 13, 2010

Artikel "Preaching": Pentingnya Alkitab

Pengkotbah, pertama tama haruslah cinta akan Alkitab. Tanpa itu dia tidak bisa menjadi pengkotbah yang efektif dan diurapi. Prinsip dasar ini dikumandangkan dosen saya, Elsworth Kalas, di mana dia mengartikulasikannya dalam buku “preaching from Soul”. Namun godaan terbesar seorang pengkotbah adalah terbiasa dengan Alkitab dan Alkitab sering menjadi obyek pembelajaran sehingga kitab suci ini bukan suatu kitab di mana kita kagum kepadanya. Ketika kita mempelajari Alkitab, kita jadikan bahan studi belaka. Memperlakukan kitab seperti ini akan membuat Alkitab hanya dijadikan dokumen sejarah dan tradisi belaka. Padahal kita harus mencintai Firman Tuhan karena itulah dokumen tertulis yang adalah firman Allah yang menjadi sumber kehidupan kita, di mana penilaian kita atas hidup sangat bergantung kepada Alkitab.

Memang tantangan pengkotbah abad ke 21 ini beda dengan tantangan teolog abad ke 16 di mana Calvin, Luther, dan tokoh reformasi lainnya hidup. Hari-hari ini Alkitab menghadapi kritik dari berbagai arah. Ada kritik yang internal dan ada kritik yang eksternal. Ada berbagai kritik Alkitab (biblical criticsm), di mana ada yang baik, namun tidak sedikit yang meragukan teks Alkitab. Bahkan ada teolog yang berani mengklaim ada kubur Yesus, seperti dilakukan oknum teolog di Jakarta beberapa tahun yang lalu. Kritik yang meragukan keabsahan Alkitab tentunya dapat menjadi tantangan tersendiri bagi pengkotbah yang mencintai Firman Tuhan tertulis ini. Belum lagi tantangan eksternal dari kaum pluralis yang menantang keeksklusifan kebenaran Firman Tuhan. Semua kebenaran Firman Tuhan, menurut kaum liberal, tidak bisa diklaim sebagai kebenaran, dan hanya sebagai salah satu kebenaran dari berbagai macam kebenaran. Ini tantangan terbesar bagi pengkotbah. Dapat dikatakan ini menjadi trauma bagi pengkotbah modern karena para teolog masa kini telah memandang Alkitab tanpa respek dan cinta, dan ini membuat Alkitab diperlakukan sewenang-wenang.

Bagi saya, pengkotbah harus memiliki keyakinan khusus akan Alkitab. Alkitab harus diyakini sebagai Firman Allah yang diwahyukan Allah, tidak ada kesalahan dalam naskah aslinya, memiliki ororitas dan menjadi norma bagi kehidupan manusia. Itu sebabnya ketika pengkotbah naik mimbar, dia memiliki otoritas dalam berbicara dan menyampaikannya dengan keyakinan yang kokoh. Mungkin pandangan saya ini dianggap terlalu keras bagi teman-teman teolog lainnya, di mana mereka berpandangan menghormati Alkitab sebagai dokumen dan tradisi. Tetapi saya tentunya harus memiliki keyakinan seperti ini, karena otoritas hanya bisa ada bila kita mempercayai Alkitab sebagai Firman Allah.

Namun ada juga yang mendekati Alkitab bukan sebagai buku yang didekati dengan memakai pendekatan eksegesis dan hermeneutika biblika yang baik, tetapi mendekati dan menyampaikan Firman Tuhan hanya dengan menggunakan pengalaman hidupnya dan apa arti firman dalam hidupnya. Pengalaman bahkan kemudian menjadi ajaran gerejanya, sehingga tidak heran banyak ajaran aneh muncul karena mendasari diri dalam pengalaman semata. Meskipun saya juga melakukan hal yang sama yaitu menghargai pengalaman bertemu Tuhan, tetapi setidaknya saya melakukan studi mendalam dan meditasi Firman yang membuat saya mampu menggalinya, menjelaskannya dengan kejelasan dan menyajikannya dengan aplikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk menjelaskan kecintaan kepada Alkitab yang seharusnya dimiliki oleh seorang pengkotbah, maka dosen kotbah saya Elsworth Kalas memberikan beberapa pengertian, bagaimana seharusnya seseorang memelihara Alkitab secara serius dan penuh cinta. Saya mencoba untuk menyadur dan memberikan intisari dari pemikirannya (J. Elsworth Kalas, Preaching from Soul (Nashville: Abingdon, 2003), 10-14).

1. Percaya bahwa Alkitab untuk setiap pembaca sampai saat ini. Kita mengakui bahwa setiap orang percaya adalah imamat yang rajani dan memiliki kesamaan kedudukan dalam mempelajari Firman Tuhan. Tetapi, sengaja atau tidak, para teolog pengkotbah seringkali memberi kesan dalam tulisan maupun kotbahnya bahwa jemaat biasa tidak akan bisa mengerti Firman Tuhan sebagaimana yang mereka fahami. Memang benar bahwa teolog pengkotbah memiliki keahlian studi biblika, namun dalam penerapan Alkitab ke dalam kehidupan sehari-hari belum tentu mereka kalah, malahan mungkin mereka lebih baik. Profesionalitas kita tentu tidak salah, di mana kita tetap menggunakan bahasa Ibrani, bahasa Yunani dan semua latar belakang sejarah dan geografi Timur Tengah dan budaya Yunani. Tetapi kita tidak bisa memberi kesan kepada jemaat bahwa tanpa studi eksegesis jemaat tidak dianggap benar dalam membaca Alkitab. Kotbah kita harus mendorong jemaat membaca Alkitab secara meditatif dan studi sederhana sehingga jemaat punya keyakinan bahwa Alkitab adalah untuk seluruh umat manusia dan memberikan pedoman bagi manusia.

Itu sebabnya seorang pengkotbah harus menyadari soal waktu “saat ini”, karena banyak pengkotbah merasa seperti sejarawan, ahli sosiologi, politikus, pembawa acara berita TV dalam menyampaikan kotbah. Apalagi sibuk menggali masa lalu, di mana merasa sangat nikmat rasanya mendapat hal baru dari penggalian sejarah Alkitab. Kita lalu merasa berkewajiban menjelaskannya tanpa menyadari bahwa jemaat tidak tertarik kepada masa lalu. Jemaat memerlukan pengkotbah yang sadar waktu “saat ini” dalam menyampaikan Firman Allah.

2. Mengenal dan menguasai Alkitab secara keseluruhan, tetapi membaca seperti Anda belum pernah melihat sebelumnya. Ini mungkin bicara berlebihan dan menuntut kesempurnaan, namun itulah tanda seorang yang mencintai sesuatu. Saya sudah membaca Alkitab secara keseluruhan berkali-kali, tetapi saya tetap berkomitmen membacanya lagi dan lagi. Agar tidak merasa sebagai rutinitas, maka perlu membaca dari berbagai terjemahan dan beberapa Alkitab studi terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) atau juga Alkitab..., terbitan Gandum Mas, Alkitab terbitan Yaperin Jangan berfokus kepada perbedaan teologi, tetapi bagaimana berbagai ahli memahami Alkitab yang dapat memperkaya kehidupan rohani kita.

3. Pengkotbah harus skeptis terhadap diri sendiri. Maksudnya adalah setiap pengkotbah harus mengakui bahwa ia mendekati Alkitab dengan penilaian yang sudah ada pada dirinya (prejudice). Kita biasanya serius menafsir Alkitab, tetapi kita tidak pernah memberi perhatian secara seriuss bagaimana sebenarnya kita memahami sebuah teks dan bagaimana kita menafsir sebuah teks. Kita perlu punya hati dalam berkotbah, tetapi kita mudah tergoda untuk menafsir Alkitab berdasarkan tujuan gereja, pergumulan pribadi dan sasaran yang ingin kita capai. Karenanya kita memerlukan kontrol lewat pengajaran gereja yang ada, leksonaris gereja, tuntunan buku-buku tafsiran bermutu yang akan secara obyektif mengontrol tafsiran atas teks yang kita pelajari.

4. Jangan takut bergumul dengan Alkitab. Pengkotbah biasanya sangat profesional dengan penggalian Alkitab dengan memakai berbagai teknik penafsiran, tetapi sedikit sekali waktu menggumuli masalah diri dan jemaat dengan Alkitab. Pengkotbah sepatutnya diam sejenak dalam penyampaian Firman, terutama ada jeda dalam setiap poin yang disampaikan, di mana kita mengizinkan jemaat menggumuli firman dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu tentunya pada waktu pengkotbah menyiapkan diri menyampaikan firman, ada waktu dia menggumuli makna teks ke dalam pergumulan pribadinya. Bahkan menggumuli apa yang terjadi pada jemaatnya, karena pengkotbah adalah wakil Allah bagi jemaatnya. Di sini akan terlihat orisinalitas kotbah yang hidup dan bukan hanya sebuah studi teks belaka. Ini akan membuat sebuah kotbah memiliki jiwa. Pengkotbah telah memiliki hati gembala karena menggumuli teks dengan kehidupan jemaat.

5. Mempraktikkan eksegesis psikologis. Teks tentu harus dipelajari sebagai teks tertulis, tetapi teks seharusnya juga bisa difahami dengan menghidupkan karakternya lewat imajinasi dan emosi kita. Itulah yang dimaksud Dr. Kalas sebagai eksegesis psikologis. Artinya, dalam membaca Alkitab kita belajar masuk ke dalam karakter tokoh atau situasi itu dan membayangkan emosi dan perasaan dan suasana pada waktu itu.

Sebagai contoh, ketika saya berkotbah secara naratif dalam Lukas 17:11-19 tentang 10 orang kusta yang hanya satu orang bersyukur ketika disembuhkan Tuhan. Dengan melakukan penelitian yang mendalam dari teks Perjanjian Lama dalam kitab Imamat dan Ulangan soal orang sakit kusta, maka saya bisa membayangkan jeritan hati seorang kusta yang berteriak, “Yesus, guru, kasihanilah kami!” Ada perasaan haru karena orang kusta harus tinggal terpisah, bahkan harus berteriak najis ketika melewati seseorang dan berhak diludahi sebagai seorang najis.

Atau waktu membaca kisah Yesus mengusir roh jahat dari seorang anak (Lukas 9:37-43), apakah kita bisa membayangkan betapa pedih hati seorang bapak yang mengadu kepada Yesus tentang anaknya yang diserang kuasa setan dan sampai mulutnya berbusa-busa. Memang ini tidak ada dalam catatan sejarah dan berbagai tafsiran, tetapi membiarkan hati bapa hidup dalam cerita ini membuat kita masuk dan merasakan hidupnya kisah ini, sehingga kita menyuskuri lebih dalam lagi akan maksud teks tentang kuasa Yesus. Kita akan melihat dimensi baru akan kuasa penyembuhan yang Yesus lakukan.

Alkitab secara ajaib berbicara juga soal karakter dari tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Di dalam Alkitab kita melihat ada sukacita, kegembiraan, ketakutan, frustrasi dan bahkan ada pribadi yang tidak menyenangkan. Contoh yang nyata adalah kitab Mazmur, di mana pujian syukur dan pengagungan berisi ungkapan emosi dari penulisnya tentang kegembiraan, kesedihan, dan berbagai emosi lainnya. Tulisan Rasul Paulus juga penuh dengan doktrin yang diselipi dengan emosi dan ungkapan hati seorang Paulus, di mana ada syukur, ada sukacita, ada penguatan, ada kesedihan, termasuk kemarahan dan teguran. Semuanya terjalin dalam doktrin yang ditulisnya. Ini membuktikan pentingnya kita memasuki karakter seseorang.

Cara ini bukan hal baru yang dilakukan, di abad ke-4 seorang pengkotbah Chrysostom telah menafsir Paulus bukan hanya dari sudut teks saja tetapi bercakap-cakap dengan dia. Dikatakan bahwa dia menafsir Paulus bukan “a depersonalized, neutral endeavor in which a person (the reader) meets an object (a written text), but rather [as] a conversation among friends.” Ini yang membuat dia sangat dikenal sebagai pengkotbah yang sangat ahli soal Paulus.

Ini bukan berarti membiarkan pengkotbah menjadi malas dalam melakukan studi teks. Eksegesis psikologis bukan pengganti dari studi tentan teks. Ini dimaksudkan sebagai penunjang mengingat teks bukan sesuatu yang dingin pada waktu ditulis, tetapi cerita dan kepercayaan yang lahir dari sebuah pengalaman rohani bersama Tuhan.

Dari kelima poin di atas, kita dibawa untuk melihat Alkitab secara serius dan penuh dengan cinta dalam menghidupi dan menyajikannya. Dalam pengalaman saya bergaul dengan teolog dari berbagai aliran dan mendengarkan kotbah mereka, saya merasakan atmosfer yang berbeda. Pada satu sisi ada kelompok teolog yang sebenarnya tidak mencintai Firman Tuhan. Mereka merasa malu punya Alkitab daripada merasa terinspirasi oleh Alkitab. Itu sebabnya dalam tulisan maupun kotbahnya dia melontarkan berbagai kritik tajam dan bukannya menjadi ekspositor yang menjelaskan Alkitab dengan penuh antusias. Pada sisi lain ada juga teman-teman pengkotbah yang menggebu-gebu cinta akan Alkitab, tetapi dalam penyajiannya mereka mengandalkan pengalaman pribadi, kesaksian, buku ilustrasi dan tidak menguraikan Firman Tuhan dengan sebenarnya. Firman Tuhan diuraikan sangat sedikit dan lebih banyak cerita ilustrasi yang kadangkala tidak berhubungan dengan teks yang dibahas. Itu sebabnya muncul istilah “entertainer preacher” atau pengkotbah penghibur seperti yang dikatakan John Piper.

Sunday, October 10, 2010

Perbedaaan Komunikasi dan Kotbah

Great Preachers are good communicators, but good communicators are not necessarily great preachers – Pengkotbah besar adalah komunikator yang baik, tetapi komunikator yang baik belum tentu pengkotbah besar (Crawford Lorrits)

Apakah penting belajar komunikasi dalam kotbah? Seberapa beda antara komunikasi dan kotbah? Harus dicatat bahwa bagi pengkotbah perlu belajar komunikasi dengan lebih intens, karena kajian ilmiah komunikasi terbukti sangat menolong seseorang menjadi efektif dalam berbicara, baik secara hubungan antar pribadi (interpersonal relatinship) dan berbicara di depan publik. Teori komunikasi sendiri merupakan keahlian yang harus dipelajari dan diperdalam dalam kehidupan intelektual seorang pengkotbah.

Tetapi menjadi pengkotbah tentu berbeda dengan menjadi orator, berpidato di depan massa. Walaupun kelihatannya harus memiliki teknis keterampilan yang sama yaitu sama-sama berbicara di depan publik, secara hakikat berkotbah sangat berbeda dengan berkomunikasi. Kotbah lebih dari sekadar berkomunikasi, dan bukan sekadar cara membuat pendengar terkesan. Kotbah adalah sebuah percakapan rohani di mana dia mewakili Allah menyampaikan maksud hati Allah kepada umat-Nya. Kotbah adalah sebuah tugas suci menyampaikan maksud hati Allah dari amanat teks yang Tuhan sudah maksudkan dari firmanNya.

Itu sebabnya kotbah berbeda dengan komunikasi. Crawford Lorrits menuliskan hakikat kotbah, yang membuat kotbah berbeda dari komunikasi pada umumnya. Prinsip komunikasi kotbah adalah (The Art and Craft of Biblical Preaching, hal. 36-38):
1. Jangan pernah berdiri di depan jemaat untuk berkotbah, di mana Alkitab sudah di tangan, tetapi tidak mengharapkan perubahan. Alkitab sebagai buku suci yang kita pegang adalah buku yang mengubahkan, maka kita harus punya suatu keyakinan bahwa Tuhan akan mengubahkan umatNya ketika Firman Tuhan disampaikan. Tanpa keyakinan seperti itu, kita tidak layak disebut seorang pengkotbah. Maka setiap pengkotbah patut bergumul tentang perubahan apa yang Tuhan harapkan untuk disampaikan kepada jemaat.

2. Selalu mengingat prinsip bahwa tujuan dari pelayanan adalah transformasi (perubahan). Misi ini harus diemban seorang pengkotbah, yaitu misi transformasi. Dia tidak hanya berkotbah dengan tujuan agar diterima oleh majelis dan jemaatnya. Kebanyakan pengkotbah, terutama yang bekerja menetap dalam gereja, memiliki kecenderungan berhati-hati dalam berkotbah. Ada semacam tindakan refleks untuk tidak menyinggung masalah bila berhubungan dengan masalah yang ada dalam pemimpin dan kepemimpinan dalam gereja. Pengkotbah merasa perlu untuk tidak menciptakan masalah dengan berusaha “menyenangkan” majelis (baca kepemimpinan gereja). Tujuannya agar dapat diterima.

3. Prinsip utama yang tak kalah penting adalah bahwa kotbah haruslah lahir dari kehidupan suci dari sebuah pribadi yang utuh. Berbeda dengan orator yang tidak terlalu dipedulikan kehidupan pribadinya, maka seorang pengkotbah harus menghidupi apa yang dikatakannya. Tidak ada pengkotbah sempurna, tetapi kehidupannya menunjukkan komitmen suci dan nampak dari kepribadian yang bertumbuh dewasa dan tidak kekanak-kanakan. Pribadi kekanak-kanakan seperti tidak mampu mengontrol diri, emosial, temperamental sehingga dikenal sebagai cepat marah, tersinggung dan wawasan yang sempit. Sulit bagi seseorang menerima bila dia mengetahui kehidupan pribadi yang tidak mencerminkan apa yang telah disampaikannya.

Tetapi apa yang benar-benar membedakan antara kotbah dan komunikasi pada umumnya? Bila komunikasi, motif hati bisa apa saja dan tidak perlu dinilai, tetapi motif kotbah hanya satu dan harus murni yaitu menyampaikan hati Allah, dan bukan mencari keuntungan. 2 Korintus 2:17, berkata, “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya.”

Bila menyampaikan kotbah, maka kita bukan aktor yang berbicara dengan mimik dan emosi yang meyakinkan, tetapi motif hati tidak dipertanyakan. Bisa saja seorang orator menangis atau tertawa, tetapi belum tentu tangisan itu keluar dari hati atau tertawa sukacita palsu. Itu terjadi karena kita sedang berperan sebagai aktor. Sedangkan kotbah keluar dari prinsip integritas hati dan bukan “akting”. Ketika seseorang berakting, maka mimik, kata-kata dan gerak tubuhnya sangat meyakinkan. Namun semua itu tidak bisa mengubahkan, karena tidak lahir dari hati yang terdalam.

Itu sebabnya seorang pengkotbah tidak berfokus kepada upaya membuat jemaatnya tertawa, walaupun humor penting. Humor yang baik lahir dari sebuah pergumulan pengkotbah untuk membuat amanat teks lebih jelas lewat kemampuan menertawakan kebodohan diri dan kemauan untuk berubah. Tetapi membuat jemaat tertawa agar disenangi jemaat menjadikan kotbah tidak lebih dari hiburan lawak yang tidak memiliki kuasa rohani. Jangan salah mengerti, humor penting. Saya akan bahas secara khusus nantinya mengapa humor penting dalam sebuah percakapan.

Orator biasanya berharap mendapatkan tepuk tangan dan pujian berdiri (standing ovation) dari pendengarnya. Karena bila tidak feedback seperti itu, maka seorang orator akan kehilangan daya tariknya. Sedangkan seorang pengkotbah tidak memfokuskan diri mendapatkan tepuk tangan, tetapi adanya perubahan sikap dari jemaat. Kita tidak sedang berkotbah dengan tujuan untuk mendapatkan pujian dan senyuman atas kalimat-kalimat yang disampaikan.

Lebih lanjut, dalam berkotbah kita tidak sedang bersinetron dalam berkotbah. Kotbah sedang berbicara tentang kebenaran kekal dengan cara yang penuh integritas dan transparan. Ketika disampaikan dengan penuh integritas, maka prinsip komunikasi memperkaya kotbah seseorang dan bukan kemampuan komunikasi yang menggantikan kotbah seseorang.

Kesimpulannya, komunikasi penting dan harus didalami. Tapi jauh lebih penting kotbah yang bukan mendasari dalam prinsip komunikasi, tetapi kepada menyenangkan hati Allah. Komunikasi sebagai alat pendukung yang didasari pada prinsip Allah dalam berkomunikasi.

Sunday, September 12, 2010

Skandal "Gay Sex" Pemimpin

Di tahun 2006, publik Amerika dikejutkan oleh skandal seks yang dilakukan tokoh terkenal Pendeta Ted Haggard, seorang tokoh yang memiliki umat 14.000an dan juga dikenal dekat dengan mantan Presiden George W. Bush yang sekaligus menjadi penasehat presiden negara adidaya itu. Dikatakan menghebohkan, karena di samping Ted Haggard sudah punya istri, anak dan cucu, dia terlibat skandal di mana dia ketahuan menyewa PSK pria dan membelikan narkoba kepada PSK yang sekaligus pemijatnya. Perselingkuhan ini ketahuan setelah Ted sibuk berkampanye anti pernikahan sesama jenis di media, termasuk televisi. Pria PSK yang kebetulan menyaksikan hal ini di TV, yang kemudian dikenal bernama Mike Jones, kemudian menghubungi fihak media dan menyatakan bahwa Ted adalah teman kencannya. Kontan saja ini menghebohkan semua fihak, baik dari kaum agamawan dan orang yang beragama tentunya. Apalagi kaum yang menentang agama (baca: ateis) menjadikan skandal ini sebagai bahan lelucon dan olok-olok di berbagai media. Intinya mereka menertawakan dan membuktikan betapa munafiknya kaum rohaniwan dan agama sebetulnya tak lebih dari sebuah kemunafikan.

Ted kemudian berhenti dari kepemimpinan di gerejanya dan berbagai kepemimpinan lainnya. Dia mengikuti program konseling dan juga mengikuti beberapa mata kuliah di universitas yang berhubungan dengan konseling selama kurang lebih dua tahun.

Setelah lama tidak terdengar kabarnya, maka pertengahan tahun ini (2010), Ted Haggard kembali ke publik dengan melakukan tur pertobatan (repentance tour), mengumumkan pendirian gereja baru dan istrinya Gayle menerbitkan buku baru yaitu “Why I Stayed: The Choices I Made In My Darkest Hour” di mana istrinya ternyata mengampuni perselingkuhan suaminya dan tetap mempertahankan pernikahan. Ia pun mengklaim bahwa suaminya sudah sembuh dari sisi “gay” yang ada pada suaminya. Hal ini menarik publik Amerika yang ingin tahu mengapa Gayle rela kembali kepada suami yang mengkhianatinya. Ia pun diundang di berbagai TV nasional termasuk Oprah Winfrey’s Show, Larry King, Good Morning America, termasuk dibuatkan film dokumenter di HBO tentang kisah Ted Haggard.

Mengapa Gayle bisa megampuni? Walaupun saya belum membaca bukunya, ada beberapa petikan pelajaran yang bisa diambil dari kisah yang dituliskannya. Ini saya ambil dari beberapa wawancara yang ada di berbagai media:

Pertama, Gayle mengakui ternyata di awal pernikahannya, bahwa suaminya pernah mengaku punya hubungan homoseksual sebelumnya. Namun Gayle menganggap enteng masalah ini dan membuat hal ini seolah tidak ada. Ini mungkin pelajaran berharga bagi setiap pasangan untuk mengecek latar belakang masing-masing dan memperbaikinya sebelum sesuatunya terlambat dan akhirnya bisa menghancurkan pernikahan. Kebanyakan pasangan, terutama wanita, tidak percaya bila suaminya selingkuh dan malah menutupinya. Lebih baik diselesaikan dengan baik dan jika perlu mencari konselor untuk menyelesaikan masalah ini.

Kedua, Gayle bersedia mengampuni suaminya. Dalam bukunya tentu ia menggambarkan betapa sakitnya mendengar cerita-cerita skandal yang kemudian ternyata ada kebenarannya. Tetapi dalam kepedihannya ia mengampuni dan sejak skandal muncul, dia tidak pernah pisah ranjang. Ini tentu pelajaran berharga bahwa pengampunan penting dalam kehidupan rumah tangga. asalkan ada pengakuan dan penyesalan dari fihak yang berselingkuh. Memilih mengampuni memang langka dalam masyarakat independen seperti Amerika, tetapi nilai ini masih ada dan perlu dilakukan. Tidak ada orang yang sempurna dan semua orang punya kesalahan, termasuk di area seksual. Inilah merupakan kesimpulan yang diambil oleh Gayle dalam masa-masa sulitnya. Maka kalau kita lihat dan bandingkan dengan kasus Cut Tari, seharusnya kita belajar bagaimana suaminya bisa juga mengampuninya. Publik menganggap aneh, tetapi bagi saya itu nilai yang harus dihidupkan.

Ketiga, Gayle memutuskan untuk tetap mencintai suaminya (choosing to love). Memilih untuk tetap menaruh cinta kepada suaminya walaupun dia sudah berbohong memang bukan hal mudah. Sejak awal dia sudah memilih tetap mencintai suaminya, memilih untuk berjuang (fight) untuk mempertahankan pernikahan dan keluarganya. Kita bisa belajar ternyata cinta bukan melulu perasaan, tetapi komitmen dan penggunaan akal budi untuk memilih bertahan di dalam kelebihan dan kekurangan pasangan. Tanpa pilihan yang jelas, maka kita akan terus hidup dalam kegelapan dan sakit hati yang berkepanjangan.

Yang terpenting tentunya bagaimana sang suami sendiri yang bersedia mengakui kesalahan dan komitmen untuk memperbaikinya.

Saturday, August 21, 2010

Teologi Berkotbah

Pengkotbah yang berhasil dan efektif sangat bergantung atas keyakinannya akan berkotbah terutama teologi berkotbahnya. Banyak pengkotbah saat ini mungkin belum terlalu memiliki keyakinan yang kokoh tentang mengapa dan untuk apa dia berkotbah. Tidak heran bila banyak pengkotbah tidak lebih dari seorang motivator, pembicara soal-soal kekinian tanpa fondasi yang kuat di mana fokus kepada supaya jemaat merasa enak dan nyaman (feelings good). Kotbah seperti ini populer, tetapi tidak memiliki kekuatan yang kokoh dalam kehidupan jemaat. Tuhan mengingatkan tentang fondasi pasir dan batu yang dibangun seseorang dalam Matius 7, jangan-jangan karena andil seorang pengkotbah.

Jay Adams (dalam buku “The Art and Craft of Biblical Preaching” oleh Haddon Robinson & Craig Brian Larson (eds), hal. 33-36) memberikan sembilan keyakinan soal teologi kotbah yang harus dimiliki seorang pengkobtah:

Pertama, tujuan utama berkotbah adalah menyenangkan hati Allah. Seorang pengkotbah harus membuktikan kesetiaannya dalam berbicara tentang Firman Allah saja. Kita harus setia kepada firmanNya, dan bukan kepada ide-ide manusia dan berbagai teori spekulatif tentang manusia.

Kedua, kotbah yang benar dan menyenangkan Tuhan adalah sesuai dengan Firman Tuhan. Itu sebabnya setiap kotbah dimulai dengan pembacaan Firman Tuhan, karena Firman yang sentral dalam kotbah. Semua percakapan dalam kotbah berasal dari Firman Tuhan. Artinya, pemilihan garis besar, kalimat, cerita, ilustrasi, humor, dan retorika merupakan refleksi yang muncul dari pembacaan, penafsiran, dan perenungan firman Tuhan.

Ketiga, pengkotbah yakin bahwa Alkitab adalah Firman Allah dan tanpa kesalahan di dalamnya (2 Tim 3:16). Pengkotbah harus memiliki keyakinan bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang tertulis. Itu berarti bahwa Alkitab adalah sumber pengajaran bagi pengkotbah yang dipersiapkan bagi dirinya dan diproklamasikan kepada pendengarnya.

Keempat, kotbah adalah tugas yang suci. Kita harus berkeyakinan bahwa menyampaikan Firman Tuhan adalah mandat suci yaitu meminta pendengar untuk berubah. Inilah tugas yang mulia dan suci itu. Itu sebabnya teks yang dipelajari harus dihormati, sehingga dalam menyiapkan kotbah tidak bisa asal-asalan saja. Tidak bisa mempersiapkan Firman Tuhan tanpa waktu yang cukup dan tidak dilakukan dengan baik. Jangan menjadikan kesibukan pelayanan mengurangi waktu belajar kita akan Firman Tuhan. Pemimpin gereja harus memberi peluang bagi pendetanya untuk mempersiapkan kotbah, baik dengan memberikan waktu yang cukup dan buku-buku penunjang yang cukup. Harus diberikan dana pembelian buku penunjang kotbah yang memadai.

Kelima, firman Tuhan bukan hanya ditujukan kepada pembaca mula-mula (jemaat mula-mula), tetapi untuk orang percaya saat ini. Banyak pengkotbah dalam penyajiannya asyik menceritakan sejarah latar belakang cerita Alkitab, dan karena asyiknya sampai lupa bahwa yang disampaikannya adalah cerita masa lalu yang tidak menarik bagi pendengar atau jemaat. Firman itu adalah untuk segala zaman, dan bukan hanya untuk masa lalu. Itu sebabnya kita mencari Amanat Teks dan mengubahnya menjadi Amanat Kotbah (pinjam istilah dari Benny Solihin). Artinya, setelah menemukan hal di masa lalu, maka kita harus bawa kepada jemaat masa kini. Jadi yang kita kotbahkan adalah berita yang kontemporer. Sebagai contoh, jika kita hendak berkotbah tentang Israel dan orang Amalek, maka kita tidak menceritakan panjang lebar soal Amalek. Kita berbicara soal tentang Allah dan umat Allah berhadapan dengan Amalek. Dan bagaimana pengalaman ini sangat berhubungan dengan kita dalam kekinian. Maka tugas kita perlu meng-eksegesis jemaat dan konteks masa kini.

Keenam, maksud teks asli kepada jemaat mula-mula harus menjadi pengontrol atas berita kotbah kepada pendengar masa kini. Maksud dari Firman Tuhan agar kita mengasihi Tuhan dan sesama. Maka semua kotbah harus tunduk kepada agenda ini. Banyak pengkotbah mulai menetapkan agendanya sendiri dalam kotbahnya. Mungkin kesempatan menyampaikan uneg-unegnya, kejengkelannya, bahkan sakit hatinya kepada majelis atau jemaatnya. Ada juga yang menjadikan mimbar sebagai ajang curhat yaitu menceritakan permasalahan pribadinya. Maksud teks Firman Tuhan dalam teks yang kita sampaikan harus menjadi penjaga bagi kotbah yang kita sampaikan.

Ketujuh, subyek dari setiap kotbah adalah Allah dan manusia. Pengkotbah tidak sedang berkotbah tentang Alkitab, tetapi tentang relasi kepada Allah dan manusia. Kotbah tidak dalam bentuk format kuliah dengan segala konsep dan bahasa yang abstrak. Jadi bukan konten tentang isi kitab saja, tetapi bagaimana relasi dengan Allah terjalin, begitu juga relasi dengan sesamanya. Pengkotbah tidak juga berbicara tentang dirinya sendiri, tetapi Tuhan dan pendengarnya.

Kedelapan, kejelasan sebagai hal utama. Kotbah yang efektif mengambil bentuk yang sederhana dan jelas. Kita berusaha menjelaskan makna atas bahasa teknis yang kita pakai, terutama dalam bahasa asli Alkitab. Kita menghindari pemakaian kata yang konseptual abstrak, frase yang sudah ketinggalan zaman dan bahasa teologis tempo dulu. Itu sebabnya, dalam membuat firman Tuhan itu jelas, maka kita memakai ilustrasi dan contoh-contoh kehidupan masa kini, dan hal praktis lainnya. Pemakaian istilah teoritis dibatasi dengan penjelasan yang memadai dengan memakai bahasa kekinian. Jangan hanya fokus isi, tetapi bentuknya juga penting. Simpel tanpa kehilangan isi adalah hal penting dalam berkotbah.

Kesembilan, tugas kita adalah berkotbah dengan berani. Seorang pengkotbah perlu berdoa, agar sewaktu menyampaikan Firman Tuhan, ia menyampaikannya dengan penuh keberanian. Pengkotbah harus berani berkotbah tanpa rasa takut akan akibat yang akan menimpanya. Yang terpenting Firman Tuhan adalah yang tertinggi dalam kehidupannya.

Thursday, August 19, 2010

Kotbah Mimbar Bukan Satu-Satunya

Saya sering diminta berkotbah di berbagai gereja dan suatu kehormatan bisa berbagi firman Tuhan dari berbagai tradisi gereja yang berbeda. Sebut saja dari tradisi Protestan (mainline), Injili, Pentakosta, dan sampai Kharismatik serta aliran independen lainnya.

Suatu ketika, ketika diundang kotbah di sebuah gereja, saya bertanya mengapa mengundang saya. Jawabannya adalah bahwa gereja kami memerlukan variasi dan penyegaran. Jadi perlu ada suara baru dari fihak luar atau eksternal agar tidak monoton. Ini jawaban klasik, karena di seringkali saya mendengar jawaban ini dari mereka yang suka mengundang pengkotbah luar.

Bahkan ada gereja yang menjadikan kotbah sebagai primadona programnya, sehingga hampir tiap minggu mengundang pengkotbah “terkenal” baik dari dalam kota maupun luar kota. Tiap minggu gereja model ini melakukan promosi lewat koran dan tabloid. Sayangnya, kriteria pengkotbah terkenal adalah mereka yang bisa melucu atau bahasa halusnya punya sense of humor. Kriteria bisa melucu di atas kriteria kotbah yang Alkitabiah dan komunikatif. Maka “entertainment preacher” sebagaimana dilansir John Piper menjadi lebih terkenal daripada kotbah yang berfokus kepada firman Tuhan.
Tetapi ironisnya, tidak selalu gereja yang menjadikan kotbah sebagai primadona berhasil. Ada beberapa gereja yang saya tahu tidak mengalami pertumbuhan walaupun sudah tiap minggu mengundang pengkotbah “terkenal” dan punya reputasi. Saya pernah ditanya, mengapa begitu banyak pengeluaran yang dilakukan untuk mendatangkan pengkotbah, namun hasilnya tidak sebanding. Jemaat yang datang ternyata dari gereja lain dan hanya datang sebagai pengunjung yang membutuhkan variasi. Jemaat hanya datang dari gereja lain sebagai pengunjung tanpa komitmen. Ini fenomena menyedihkan.

Mengapa itu terjadi? Saya berpendapat bahwa kotbah bukan satu-satunya. Iya, kotbah memang penting dan sentral dalam kehidupan gereja, tetapi ada hal lain yang penting untuk menunjang kotbah yang hidup:

Pertama, perlu ada sentuhan pribadi pada kotbah, sama dengan kehidupan jemaat pun perlu ada sentuhan seperti kunjungan pastoral (pembesukan), kontak pribadi lainnya. Ada banyak hal kreatif yang dilakukan gereja dalam mengadakan kontak dengan jemaat. Hal itu dilakukan dengan percakapan pastoral via telepon atau langsung, sms ayat firman Tuhan, atau kartu ucapan lainnya. Bila ini dilakukan, maka semua sentuhan pribadi ini akan menunjang kotbah dengan cara menceritakan di mimbar hal-hal positif yang dilakukan jemaat. Rick Warren dalam kotbahnya seringkali memuji jemaatnya yang begitu antusias melayani. Saya pernah melihat Bill Hybels berkotbah di Willow Creek Church Burlington-Chicago di mana di tengah kotbahnya dia menayangkan film singkat bagaimana jemaatnya melakukan tugas pelayanan. Ini sangat menyentuh jemaatnya. Dalam konteks pengkotbah tamu di mana kita mengundang pengkotbah luar, pastikan mereka memahami konteks jemaat dan situasi mereka sehingga ada sentuhan pribadi dalam aplikasinya.

Kedua, penyembahan dan atmosfer ibadah perlu dipelihara kehangatannya. Ini perlu persiapan matang dan terencana, baik dalam memilih dan melatih pelayan penyembahan. Entah apapun bentuk penyembahannya, harus dipersiapkan dengan baik. Hal utama adalah tentu penyembahan berpusat kepada Tuhan (God’s centered worship). Sebagai pengkotbah akan sangat tertolong bila liturgi penyembahan baik dan atmosfer kehangatan ada dalam ibadah. Saya sendiri merasakan respons yang berbeda bila suasana dingin dan ibadah membosankan. Sulit rasanya mengangkat minat jemaat mendengarkan kotbah bila di awalnya mereka tidak merasakan atmosfer surgawi.

Ketiga, perlu ada kehidupan doa yang baik dalam gereja. Kotbah dan doa adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Bila tidak ada persiapan rohani, rasanya sulit mendapatkan kotbah yang penuh kuasa. Ia bisa memotivasi, tetapi tidak mengubahkan. Itu sebabnya baik pengkotbah dan semua pelayan gereja ada jam khusus untuk berdoa. Bahkan ada pemimpin gereja berkumpul yang sharing firman Tuhan sebelum disampaikan di mimbar pada keesokan harinya.

Keempat, perlu ada keramahan dan karakter yang baik dari pengkotbah. Setelah ibadah, biasanya ada gereja yang meminta pengkotbah menyalami jemaat. Maka kehangatan pengkotbah, senyuman, menyalami dengan sungguh akan menambah kesan yang lebih dalam bagi kehidupan jemaat. Apalagi bila ada yang minta didoakan, dan kita rela melakukannya, maka akan menambah kekuatan kotbah. Seringkali banyak jemaat mengeluh bahwa pengkotbahnya tidak ramah, tidak lihat muka lawan waktu salaman, dan dingin dalam bersikap. Bagaimana seseorang merasakan isi kotbah yang hangat, dengan kenyataan seorang yang dingin yang berdiri di depannya?

Kotbah yang efektif perlu ditunjang dari berbagai segi. Jangan pikir kotbah di mimbar sebagai satu-satunya alat efektif pertumbuhan gerejanya.

Sunday, August 15, 2010

Refleksi: Cut Tari Mengaku, Ariel Tidak: Mana yang Benar?

“Admitting your mistakes says something profound about your basic integrity as a leader (Bill Hybels).”

Saya sangat menghargai Cut Tari, tapi tidak dengan Ariel-Luna. Mengapa? Agak aneh, fakta-fakta sudah jelas, dalam laporan dikatakan gambar di video sudah gamblang, tetapi mengapa tetap Ariel bertahan tidak mau mengakui? (sampai Kamis, 12/8/2010). Bahkan Luna Maya tetap bertahan tidak mengakui, tetapi minta maaf kepada publik. Tetapi untuk apa minta maaf bila benar? Sebuah ketidakkonsistenan yang aneh.

Budaya malu (shame culture) ternyata masih mendominasi budaya kita, tetapi dalam pengertian negatif. Bila Asia Timur memiliki rasa malu positif, maka budaya di sini punya rasa malu yang negatif di mana aib dan mempertahankan muka yang jauh lebih besar dari rasa bersalah (guilt culture). Bila rasa malu dibarengi dengan pengakuan dan rasa salah, itulah yang positif. Dalam hal ini saya mengagumi Cut Tari. Dia rela mempertaruhkan nama baik dan keluarganya hanya untuk mengakui kesalahan dan menyesali atas akibat dari video yang sudah tersebar. Mengakui, berarti bertanggung jawab atas kesalahan yang ada. Masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pengakuan atas kesalahan. Inilah tanggung jawab moral seorang “public figure’. Saya rasa Cut Tari layak dimaafkan dan saya sungguh bangga punya orang Indonesia seperti Cut Tari. Siapa yang suci? Nabi Isa pun ketika ditanya pemimpin Yahudi yang menangkap perempuan berzinah, yang sebenarnya hukumannya dirajam batu, maka Isa malah menuliskan di tanah, “siapa yang tidak berzinah, hendaknya yang pertama melempar dengan batu!” Semua pada pergi, dan perempuan itu dibebaskan dan diampuni dengan syarat jangan berbuat lagi. Sebuah kisah yang berisi pengalaman yang memiliki makna dalam tentang “siapa yang suci; siapa yang berhak menghakimi?”

Dari pengalaman selebritis antara yang mengaku dan menyangkal, maka ada pelajaran penting soal kepemimpinan, yaitu soal mengakui kesalahan. Justru mengakui kesalahan menunjukkan sebuah integritas seseorang. Diperlukan jiwa besar untuk mengakui, dan ketika dunia semakin mengglobal, maka kita bisa belajar bagaimana sebaiknya langkah yang dilakukan seseorang pemimpin bila melakukan kesalahan. Para pakar kepemimpinan sepakat bahwa mengakui kesalahan akan mengangkat integritas. Bila itu benar, mengapa kita masih enggan melakukannya? Saya sedih kalau ada pejabat publik yang masih meneladani Ariel-Luna, selebritis yang masih memikirkan “aib” daripada berpikir tentang tanggung jawab moral kepada masyarakat atas apa yang telah diperbuatnya.

Thursday, June 3, 2010

SEKOLAH TINGGI THEOLOGIA JAFFRAY

Jl. Gunung Merapi No. 103 Makassar 90010 Sul-Sel
Telp. (0411) 324129
Anggota PGI, PGLII, dan PERSETIA
Akreditasi BAN PT

VISI
Sekolah Tinggi Theologia Jaffray menjadi sekolah teologi unggulan dan terkemuka yang berorientasi kepada penggenapan Amanat Agung Tuhan Yesus.

MISI
Mewujudkan pendidikan teologi biblika dan kontekstual yang mampu membangun pemimpin pelayan Tuhan yang cerdas, rohani dan profesional dengan menyelenggarakan Tri Darma Perguruan Tinggi yang bermutu dari pengajaran alkitabiah yang relevan bagi keperluan pelayanan dan masyarakat.

AKREDITASI
• Program S1 telah terakreditasi pada Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT No.032/BAN-PT/Ak-XI/S1/XII/2008. Izin penyelenggaraan dari Direktur Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Depdiknas RI N0.2607/DT/2008.
• Untuk Program S2, terakreditasi pada Departemen Agama RI. No. DJ. III/Kep/HK.00.5/251/2582/2005 dengan izin penyelenggaraan: Dirjen Bimas Kristenn Depag RI No.DJ.III/Kep/HK.00.5/232/2562/2005.

S1 TEOLOGI (S. Th.)
1. Program S1 Teologi terdiri atas empat Konsentrasi
2. Konsentrasi Ilmu Teologi Penekanan pada kompetensi bidang teologi biblika, pastoral, misi dan kepemimpinan gereja.
3. Konsentrasi Pendidikan Agama Kristen Penekanan pada kompetensi bidang pendidikan agama Kristen untuk sekolah-sekolah umum dan bidang-bidang pembinaan warga jemaat.
4. Konsentrasi Musik Gerejawi Penekanan pada kompetensi bidang musik gereja, penata liturgi, pemimpin ibadah Kristiani dan pemimpin paduan suara.
5. Konsentrasi Pelayanan Anak dan Remaja Penekanan pada kompetensi bidang pelayanan anak dan remaja.
Info Khusus:
S.1 Teologi Konsentrasi Ilmu Teologi dan Konsentrasi Pendidikan Agama Kristen telah dibuka kelas/kuliah malam,
- Waktu Kuliah Hari Senin-Rabu.
- Pukul 17.00-19.00 untuk Kelas dan Mata Kuliah pertama.
- Pukul 19.00-21.00 untuk Kelas dan Mata Kuliah kedua.


PROGRAM PASCASARJANA (S2)
1. Program Pascasarjana memiliki 3 program studi, yaitu:
2. Program Studi Magister Teologi, terdiri atas 2 konsentrasi, yaitu konsentrasi Studi Pastoral dan Studi Misiologi (M. Th.).
3. Program Studi Magister PAK, program studi ini memberi kesempatan kepada guru-guru menjadi ahli dalam bidang tersebut melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mendidik dan mengajar. (M. Th. P.A.K.).
4. Program Magister Konseling, program studi ini untuk melengkapi para pemimpin gereja, guru, orang tua dan profesional lainnya yang rindu menjawab masalah-masalah dalam keluarga, gereja dan masyarakat (M. K.).



PROGRAM DOKTOR MINISTRY (S3)
Tahun 2010 dibuka Program S3 (Doktor Ministri) dengan konsentrasi Kepemimpinan Kristen (D. Min.).

FASILITAS PENDIDIKAN
GEDUNG KELAS 4 LANTAI
Sejak tahun 2001, STT Jaffray telah memiliki gedung baru yang sangat memadai untuk aktivitas perkuliahan.
KAPEL
Ruang Ibadah dan untuk kegiatan mahasiswa, ada juga ruang doa khusus bagi civitas akademika.
PERPUSTAKAAN
Koleksi buku STT Jaffray sebanyak 15.143 judul buku dengan 21.420 eksp. (per Maret 2010). Ada juga koleksi CD ROM yang bisa dipelajari lewat computer yang telah disediakan. Perpustakaan STT Jaffray juga anggota InCu VL (Indonesia Christian University Virtual Library) yang berafiliasi ke Universitas Kristen Petra, Surabaya.
ASRAMA PUTRA/PUTRI
STT Jaffray menyediakan asrama bagi mahasiswa/i yang belum berkeluarga.
FASILITAS OLAHRAGA
STT Jaffray memiliki fasilitas olahraga; lapangan badminton, basket, takraw, tenis meja, dan bola volly.
BEASISWA
STT Jaffray menyediakan beasiswa belajar bagi mahasiswa yang berprestasi dan telah memenuhi persyaratan.

SYARAT PENERIMAAN
1. Syarat umum yang harus dipenuhi:
2. Terpanggil melayani Tuhan dengan menuliskan pengalaman rohani bertemu dengan Tuhan dan panggilan melayani.
3. Mengisi formulir yang disediakan .
4. Lulus tes pengetahuan Alkitab dan bahasa Inggris.
5. Mahasiswa pindahan, harus mendapat rekomendasi dari sekolah sebelumnya.

PENDAFTARAN DAN PENERIMAAN MAHASISWA BARU:
Semester Ganjil
1. Penerimaan, Seleksi dan Registrasi Juni s/d Agustus 2010
2. Tes Penerimaan MABA 5-6 Agutus 2010
3. Pengumuman, Ospek, dan Pengarahan MABA 9-13 Agustus 2010
4. Registrasi Mahasiswa Lama 9-11 Agustus 2010
5. Registrasi MABA 12-13 Agustus 2010
6. Kuliah Mulai berjalan 16 Agustus 2010
Semester Genap
1. Penerimaan dan seleksi MABA, Desember 2010-14 Januari 2011
2. Registrasi umum 17-19 Januari 2011
3. Kuliah mulai berjalan 24 Januari 2011

KELENGKAPAN LAMARAN:
1. Foto copy Ijazah dan NEM yang telah dilegalisir, masing-masing 6 lembar
2. Foto copy Akta Kelahiran atau Kenal Diri
3. Foto copy Surat Baptisan atau Sidi
4. Surat Rekomendasi dari Gereja/ Klasis / Sinode
5. Surat Kelakuan Baik dari kepolisia
6. Surat Keterangan Berbadan Sehat dari dokter
7. Surat Pernyataan Sponsor perihal dukungannya.
8. Pas Foto terbaru (3x4 sebanyak 8 lembar, 2x3 sebanyak 5 lembar)
9. Surat Keterangan Pindah Penduduk ke kota Makassar

Pengambilan Formulir dan Pendaftaran hubungi:
Kantor STT Jaffray, Jl. Gunung Merapi 103 pada setiap jam kerja: 08.30-16.00, Senin-Jumat.
Telepon: (0411) 325961-324129; Fax: (0411) 311766 E-Mail: sttjaffray@yahoo.com

PIMPINAN DAN DOSEN:
Ketua :Pdt. Dr. Daniel Ronda, Th. M.
Puket I :Pdt. Dr (Cand) Jeremia Djadi, M. Th.
Puket II :Pdt. Ivan Th. J. Weismann, S. Th., M. Hum.
Puket III: Pdt. Peniel Maiaweng, M. Th.
DOSEN FULL TIME:
Pdt. Dr. Peter Anggu (Emeritus)
Pdt. Dr. Daniel Ronda, Th. M.
Pdt. Dr. (Cand) Jermia Djadi, M. Th. (Emeritus)
Pdt. Dr. (Cand) Ivan Th. J. Weismann, S. Th, M. Hum.
Pdt. Dr. (Cand) Peniel Maiaweng, M. Th.
Pdt. I Ketut Enoh, M. Th. (Emeritus)
Pdt. Dr. (Cand) Made Astika, Th. M.
Pdt. Dra. Nelly P. Tuhumury, M. Div (Emeritus)
Dr. Andrew Scott Brake
Ny. Lora Jean-Brake, M. A.
Ev. Ivone Patti Palar, M. A.
Ny. Rohani Siahaan, S. M.G., M. Div.
Ev. Elisabeth Selfina-Ronda, S. P.A.K.
Vic. Robi Panggarra, M. Th. (Cand)
Ny. Heidi Tupen, Sp. Mus.
DOSEN PART TIME:
Ev. dr. Simon Tarigan, S. Th.; Drs. A. J. Patendean, M. S.; Drs. H.M. Waljono, M.A.; Drs. Indarto; Tony Mulumbot, S. Sn, M. Hum; Mercy Adipati, SMG.; Judy Gaskin, M.A.; Pdt. Armin Sukri, M. Th.; Yohan Tinungki, S. Mus., M. Sn.; Ev. Sarce Sibarani, M. Th.; Ann Grinnell, M.A.; Johanes Tibe, Sp.Gitar.;
Ev. Yonathan Salong, M. Th.
Dosen Tamu :
Pdt. Dr. Yakob Tomatala; Prof. Dr. W.I.M. Poli; Pdt. Dr. Jones Akal; Dr. Ruth F. Selan; Pdt. Dr. Jerry Rumahlatu; Pdt. Dr. Sadrak Kurang; Pdt. Dr. Pascalinus Busthan; Dr. Zakaria Ngelow; Dr John Ellenberger; Pdt. Julianto Simanjuntak, M. Div.
PROGRAM PASCASARJANA

Program Studi Teologi (M. Th.) &
Pendidikan Agama Kristen (M. Th. P.A.K.)

TUJUAN
Program Pascasarjana STTJ bertujuan menghasilkan Sarjana Strata-2 (Magister) yang memiliki kompetensi kepemimpinan dalam gereja (Church Advanced Leadership), pengkhotbah (Preacher), penggembalaan (Pastoral and Counseling), pengajar (Teacher), serta penanaman gereja (Church Planter).

SISTEM PERKULIAHAN
Perkuliahan dilaksanakan secara intensif setiap mata kuliah. Proses perkuliahan secara keseluruhan diatur menurut kurikulum yang dapat diselesaikan dalam waktu 2-3 tahun.
• Total SKS yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa adalah 66 SKS (20 mata kuliah masing-masing 3 SKS dan tesis 6 SKS.
• Bagi lulusan S1 nonteologi, diawali dengan matrikulasi 32 SKS (2 semester).
• Dalam penyusunan tesis mahasiswa akan dibimbing oleh satu atau dua pembimbing tesis.


PERSYARATAN
1. Berijazah S1 Teologi atau nonteologi jalur skripsi dengan IPK Min, 2,75.
2. Memiliki kemampuan berbahasa Inggris dengan skor setara TOEFL saat masuk 400 dan 450 saat selesai.
3. Terpanggil Melayani Tuhan dengan menuliskan pengalaman spiritual dalam bertemu Tuhan dan panggilan melayani.
4. Mengisi formulir yang disediakan.
5. Surat keterangan kesehatan dari dokter.
6. Surat pernyataan dari sponsor.
7. Mendapat rekomendasi dari gereja untuk masuk sekolah teologi (S2), surat rekomendasi ini bukan surat keanggotaan gereja.
8. Lulus tes pengetahuan Alkitab dan bahasa Inggris.
9. Mahasiswa pindahan harus mendapat rekomendasi dari sekolah sebelumnya.
10. Mendapat rekomendasi dari 2 orang rekan pelayan atau pemimpin gereja/lembaga.

PROSEDUR PENDAFTARAN
1. Calon mahasiswa membayar formulir pendaftaran dan biaya tes masuk
2. Calon mahasiswa mengisi formulir tersebut dan diserahkan ke sekretariat pascasarjana disertai:
a. Salinan Ijazah dan transklip nilai S1, yang disahkan masing-masing 2 lembar
b. Kesaksian pengalaman Spiritual
c. Surat rekomendasi dari gereja
d. Surat rekomendasi dari 2 orang rekan pelayan
e. Surat keterangan berbadan sehat dari dokter
f. Surat keterangan dari sekolah sebelumnya (untuk mahasiswa pindahan)
3. Mengikuti tes masuk
4. Membayar biaya kuliah ke bagian keuangan
5. Pasfoto berwarna ukuran 2x3 cm dan 3x4 cm (masing-masing 2 lembar)

WAKTU PENDAFTARAN
Pendaftaran dapat dilakukan setiap waktu dan setiap semester menerima mahasiswa baru. Tes dilakukan pada:
- Setiap bulan Juli-Agustus untuk semester ganjil.
- Setiap bulan Desember-Januari untuk semester genap.

SELEKSI PENERIMAAN
Penerimaan mahasiswa didasarkan atas:
a. Kemampuan akademik
b. Kelengkapan persyaratan
c. Hasil psikotes
d. Tempat yang Tersedia

BIAYA PENDIDIKAN
- Biaya formulir Rp. 100.000
- Biaya tes masuk/Psikotes Rp. 500.000
- SPP /semester Rp. 3. 000.000
- Perpustakaan/tahun Rp. 250.000
- Pembangunan Rp. 1.000.000

FASILITAS PENDIDIKAN
Gedung kelas 4 lantai dengan ruang kuliah S2 full AC, yang membuat kuliah menjadi nyaman.
Disediakan ruang ibadah dan kegiatan untuk mahasiswa, ruang doa khusus dan klinik pengobatan.
Perpustakaan dengan koleksi buku, 15.143 Judul buku, dengan 21.420 eksp (per Maret 2010).


10 ALASAN MENGAPA MEMILIH STT JAFFRAY MAKASSAR
1. STT Jaffray adalah salah satu sekolah teologi tertua di Indonesia. Berdiri sejak 76 tahun lalu, STT Jaffray telah mencetak ribuan pemimpin berkualitas dan alumninya sudah melayani di berbagai posisi strategis di dalam dan luar negeri.
2. Dosen-Dosennya memiliki kualifikasi akademik yang diakui pemerintah (dengan pangkat akademik dari Depdiknas) dan merupakan tamatan dari perguruan tinggi dalam dan luar negeri yang memiliki reputasi yang tinggi.
3. STT Jaffray memiliki izin penyelenggaraan dari DIKTI Depdiknas, diakreditasi oleh BAN PT Indonesia, dan diakui oleh Departemen Agama RI, sehingga ijazah mahasiswa dapat diterima secara luas, baik di gereja, di lembaga pemerintahan maupun di sekolah-sekolah di dalam dan luar negeri.
4. Lokasi STT Jaffray di tengah kota Makassar, sehingga mudah dicapai dan dijangkau oleh tranportasi.
5. Fasilitas pendidikan sangat memadai, kelas-kelas yang representatif, perpustakaan yang nyaman, lab komputer, asrama, dan ruang olahraga. Keseluruhannya beridiri di atas tanah seluas 1 hektar sehingga menambah nyaman belajar.
6. Pola pendidikan mengikuti prinsip pengajaran terbaru di mana dosen menjadi fasilitator, mahasiswa secara aktif dapat mengembangkan diri menjadi pemimpin yang handal.
7. STT Jaffray adalah anggota Persetia dan PASTI. STT Jaffray bernaung di bawah PGI dan PGLII, PERSETIA serta bersifat interdenominasi sehingga alumni STT Jaffray dapat diterima di berbagai demoninasi gereja, baik Protestan, Injili, Pentakosta, dan Kharismatik.
8. STT Jaffray memiliki prinsip pendidikan holistik: integritas pengetahuan, moralitas dan karakter yang serupa dengan Kristus, serta kemampuan melayani secara praktis di lapangan.
9. Biaya pendidikan yang sangat murah, dapat dicicil, bahkan bagi mahasiswa yang berprestasi disediakan beasiswa.
10. Jaminan tersedianya lapangan pelayanan bagi para alumni, karena alumni STT Jaffray menjadi prioritas oleh geraja dan juga lembaga lainnya.
PROGRAM DOKTOR MINISTRI
Konsentrasi
KEPEMIMPINAN GEREJA

VISI
Sekolah Tinggi Theologia Jaffray menjadi lembaga perguruan tinggi dan pusat pengembangan teologi yang akan menghasilkan pemimpin-pelayan yang dapat dipercaya, handal, berkualitas, preofesional bagi gereja dan masyarakat.

MISI
Sekolah Tinggi Theologia Jaffray adalah lembaga pendidikan tologi yang mengedepankan ekselensi dalam melengkapi pemimpin-pemimpin untuk pelayanan dan pendidikan teologi.

TUJUAN
Program D. Min. adalah gelar teologi profesional tertinggi (S3) untuk pelayanan terutama yang akan melayani di gereja. Program ini bertujuan memperlengkapi pemimpin gereja dengan kompetensi level tertinggi setelah menyelesaikan pendidikan minimal Magister Divinitas (M. Div.). Program ini untuk meningkat-kan efektivitas pemimpin gereja dengan kurikulum yang di desain dengan mengintegrasikan pengalaman pelayanan dengan prinsip-prinsip akademik.

SASARAN
Untuk memperkenalkan kepada mahasiswa tren masa kini dan isu-isu dalam disiplin ilmu teologi dan ilmu kepemimpinan Kristen.
Untuk dapat mengintegrasikan disipin ilmu teologi dengan pelayanan praktis di lapangan.
Untuk dapat menciptakan atau menginovasikan serta menciptakan program-program baru yang dapat dipakai dalam pelayanan praktis.

STRUKTUR PENDIDIKAN: 33 SKS
1. Mata kuliah wajib (9 SKS)
2. Mata kuliah kompetensi (12 SKS)
3. Mata kuliah keahlian (6 SKS)
4. Disertasi (6 SKS)
Lama Pendidikan (minimal 2 tahun)

KURIKULUM
MATA KULIAH WAJIB
Metodologi riset disertasi (3 SKS)
Teologi Ministri (3 SKS)
Hermeneutika untuk Hidup dan Pelayanan (3 SKS)
MATA KULIAH KEAHLIAN
Kepemimpinan
Kepemimpinan Kristen Abad ke-21 (3 SKS)
Membangun Kepemimpinan dalam Gereja (3 SKS)
KHOTBAH
Kotbah Kontemporer 1
(Pendekatan Biblika (3 SKS)
Kotbah Kontemporer 2 (Naratif) (3 SKS)
ELEKTIF
Antropologi Misi Kristen Posmodernisme (3 SKS)
Penginjilan Abad Modern (3 SKS)

PROYEK DISERTASI
1. Dimulai dengan mengikuti workshop atau pemagangan sesuai topik disertasi sebelum mengajukan proposal
2. Pembinaan oleh Direktur Program untuk penetapan judul.
3. Pementoran oleh dosen pembimbing
4. Penetapan Dosen sebanyak 2 orang, 1 dosen pembaca (internal reader) dan 1 Dosen pembimbing
5. Pengerjaan Bab 1-3
6. Ujian proposal Bab 1-3
7. Pengerjaan Bab 4-5
8. Ujian final sebelum disertasi (minimal 3 bulan setelah ujian proposal)
9. Ujian Promosi Doktor
10. Penetapan Yudisium
11. SK penetapan Disertasi selama 1 tahun, ada biaya tambahan bila lebih dari 1 tahun.

BIAYA PENDIDIKAN
1. Biaya pendidikan Rp. 20.000.000 (dapat dicicil maksimal 4 kali).
2. Biaya pendaftaran masuk & psikotes Rp. 1.500.000
3. Biaya sumbangan pembangunan dan fasilitas Rp. 2.000.000.
4. Biaya disertasi Rp. 5.000.000 (satu mentor dan satu internal reader).
5. Biaya toga ditetapkan setiap akhir tahun (disesuaikan harga pembuatan).
6. Biaya wisuda ditentukan setiap tahun oleh sekolah.
7. Apabila perkuliahan lebih dari 2 tahun, dikenakan biaya tambahan sebesar Rp. 1.000.000 / semester
Biaya lainnya yang diperlukan (untuk mahasiswa sendiri)
8. Biaya buku dan riset (disesuaikan kemampuan)
9. Biaya tranportasi perjalanan
10. Biaya akomodasi dan konsumsi

STAFF DOSEN
• Pdt. Dr. Daniel Ronda, Th. M.
• Pdt. Dr. Peter Anggu
• Pdt. Dr. Yakob Tomatala
• Pdt. Dr. (Cand) Jermia Djadi
• Pdt. Dr. (Cand) Ivan Th. J. Weismann
• Dr. Andrew Scott Brake
• Pdt. Dr. Sadrak Kurang
• Prof. Dr. W. I. M. Poli
• Pdt. Dr. Jerry Rumahlatu
• Pdt. Dr. Pascalinus Busthan
• Dr. Ruth F. Selan
• Pdt. Dr. Zakaria Ngelow
• Pdt. Dr. Siskus Manabung
• Pdt. Dr. Yusuf Mangumban

Tuesday, May 25, 2010

Akun Facebook Kami Tutup

Saya ingin berbagai pengalaman buruk saya memakai jejaring sosial facebook…

Saya menyukai facebook (fb), karena bisa berbagi pengalaman, mendapatkan informasi, dan juga bertemu dengan teman lama. Banyak teman kecil saya sampai remaja yang mana tidak berjumpa lagi sampai bertahun-tahun akhirnya ketemu di fb. Ini adalah suatu jejaring sosial yang fenomenal.

Sampai akhirnya saya kena batunya minggu ini. Email dan fb saya dan juga istri saya dibobol hacker. Saya merasa keanehan karena blackberry saya menyampaikan bahwa email saya tidak bisa masuk lagi di bb karena password (sandi) saya sudah diubah. Saya sendiri heran, kok siapa yang ubah? Saya juga kok tiba-tiba tidak bisa masuk ke fb saya. Hal yang sama terjadi pada istri saya. Saya tidak membayangkan ada hacker membobol email dan fb kami. Saya reset kembali dan pulih, namun karena sibuk saya tidak sempat reset istri saya. Apalagi dia kemudian harus bertugas ke Bogor untuk men ghadiri pertemuan.

Ternyata akun fb istri saya telah dipakai “chatting” oleh si hacker dengan mengatasnamakan istri saya dan kemudian meminta sumbangan atau transfer uang dibantu untuk menolong anak-anak yatim. Ada juga teman saya dimintakan bantu uang kuliah di mana mereka mengaku mahasiswa dari istri saya. Celakanya, ada dua orang teman istri saya yang transfer ke rekening atas nama Firdaus. Masing-masing transfer 1,5 juta rupiah. Dua teman istri saya ini transfer dulu baru tanya istri kemudian. Ternyata ada banyak juga yang dimintai, tetapi untung teman-teman itu minta konfirmasi dulu via sms dan telepon dan juga ada yang menghubungi saya.

Kami terkejut sekali dan sangat sedih sekaligus prihatin karena mereka telah menodai hak dan privasi kami. Betapa banyak orang yang “pintar” telah menyalahgunakan kepintarannya untuk berlaku jahat. Kami mengerti kalau orang mencopet karena lapar, walaupun kami tidak setuju juga perilakunya, walaupun difahami! Tetapi “hacker” ini adalah orang berpendidikan dan mengerti seluk beluk komputer. Mengapa hati mereka begitu jahat dan terhinanya?

Karena peristiwa ini kami memutuskan untuk menutup akun fb kami. Memang sedih rasanya, karena kehilangan teman-teman untuk berbagi. Kami mau facebook yang sekalipun jejaring sosial gratis, harus bertanggung jawab mengembangkan jejaring yang aman di masa mendatang. Apalagi dengan konsep gratisnya, justru membuat si pembuat menjadi kaya karena banyaknya manusia yang memakai sehingga menarik minat berbagai perusahaan untuk beriklan. Dan itu semua karena kami. Jadi pemilik facebook harus bertanggung jawab melindungi si pengguna akun ini.

Mudah-mudahan kasus saya menjadi pelajaran bagi sesama blogger. Mohon masukan rekan-rekan….

Tuesday, April 6, 2010

Dinasti Sukarno – Megawati Sukarnoputri

Waktu saya kecil, ketika partai hanya tiga, ayah saya selalu berpesan, bila memilih partai pilihlah PDI. Alasannya partai ini nasionalis dan yang paling penting buat dia, Sukarno segala-galanya baginya. Ayah saya ternyata pengagum berat Sukarno, pidato-pidatonya selalu diingatnya. Salah satu yang saya ingat, “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika!” Dan bila ayah saya duduk di warung kopi di sebuah desa di Yangbatu Denpasar dulu dengan para tetangga, maka pembicaraan tentang Bung Karno adalah hal yang tak terpisahkan. Tentu pembicaraan ini tidak terlalu lantang, apalagi masih adanya trauma PKI waktu itu. Hal itu yang masih saya ingat. Kala Sukarno telah pergi, ternyata dinastinya tidak pergi.

PDIP tidak bisa dipisahkan dari keluarga Sukarno, ini fakta yang mau tidak mau, suka atau tidak harus diterima. Tidak ada kita akan melihat drama soal penggantian Megawati. Tidak ada yang berani “menantang” dengan mencalonkan diri menjadi Ketua Umum selama Megawati masih mau duduk di sana. Suharto pun yang mencoba mengobok-obok PDI dulu tidak pernah benar-benar berhasil, bahkan berbuahkan kegagalan dengan munculnya PDIP sebagai pemenang Pemilu tahun 1999. Dari sejarah ini tidak ada seorang pun yang punya nyali menantang Megawati. Guruh pun yang mencoba menantang menjadi calon Ketua Umum tidak mendapat perhatian serius, akibat dari kualitasnya yang masih jauh di bawah Megawati. Apalagi isu ketidakjelasan “gender” telah menjadi isu diam-diam banyak dibahas di akar rumput sehingga pasti tidak memungkinkan bagi Guruh untuk menantang sang kakak.
Apalagi media (semua media massa) berfihak kepada Megawati dan PDIP kali ini, karena hampir tidak ada partai oposisi yang mampu mengimbangi pemerintah dan partai yang berkuasa. Apalagi partai-partai besar yang diharapkan beroposisi tidak punya nyali tinggal di luar kekuasaan. Tinggallah partai ini yang mendapat “belas kasihan” media sehingga media sangat toleran dengan konsep kepemimpinan dinasti ini. Suara pengamat pun sepi-sepi dan paling tidak mereka berkepentingan punya partai oposisi yang kuat di Indonesia. Inilah satu-satunya kekuatan Megawati saat ini, teguh berpegang menjadi oposisi. Semua fihak mau tidak mau mengakui keunggulan Megawati ini.

Padahal kita ketahui politik dinasti sebenarnya bukan hal baik dipelihara. Memang bukan barang yang haram keluarga terlibat dalam politik, tetapi kesehatan sebuah partai tidak bisa diharapkan dari suatu dinasti, apalagi kualitas dari keturunan tidak sehebat orang tua mereka. Ada berbagai sebab mengapa dinasti tidak terlalu sehat: pertama, unsur persaingan yang sudah tidak sama dengan masa lalu. Isu yang dihadapi lebih kompleks dan menuntut kader partai terbaik dan bukan dari unsur keturunan dinasti. Bila dari dinasti itu unggul, tentu tidak apa-apa. Masalahnya di dinasti itu sendiri tidak seunggul orang tua mereka. Kedua, ada unsur ketidakpercayaan bila dinasti berikutnya memerintah. Itu terbukti di Pemilu, PDIP tidak akan pernah menang lagi setelah mendapat kesempatan menang tahun 1999. Ketiga, akan banyak kaum oportunis di mana orang berlindung di bawah ketiak pemimpin dan kedekatan dengan pemimpin menjadi jalan pintas untuk mendapatkan tujuannya.

Syukur dinasti politik di Indonesia tidak sehebat di Filipina, di mana presiden saat ini Gloria Macapagal Aroyo adalah anak dari mantan presiden Diosdado Macapagal. Anak-anak mereka pun sudah menjadi anggota konges mewakili Visayas. Sedangkan calon presiden saat ini yang dianggap kuat adalah Benigno Aquino, III. yang adalah anak dari mantan presiden Cory Aquino dan Begino Aquino. Keluarga Aquino dan Congjuangco adalah keluarga yang menguasai perpolitikan di Tarlac City, keluarga tuan tanah yang hebat. Filipina, walaupun negara demokrasi, tetapi politik dinasti sangat kental dan dibarengi dengan pembunuhan lawan politik yang berseberangan. Terlalu mengerikan membayangkan demokrasi ala Filipina. Dan itu terjadi di seluruh Filipina, sampai di otonomi Islam Mindanau tidak luput dari dinasti politik. Tidak mengherankan Filipina bukan negara yang patut dicontohi demokrasinya, di mana kesejahteraan dan demokrasi justru tidak berjalan bersama.

Di Indonesia, partai pemenang pemilu terakhir adalah tidak ada kaitan dengan dinasti sebelumnya. Bahkan PDIP mengalami penurunan secara perlahan di DPR. Namun mulai ada upaya memasukkan anak, menantu, istri sebagai anggota DPR. Tetapi syukur itu baru sebatas itu. Kami berharap media tajam soal ini sehingga masyarakat diingatkan bahwa memilih berdasarkan kualitas dan bukan karena keturunan siapa. Mudah-mudahan apa yang terjadi di Filipina tidak berkembang di sini. Biarkan masyarakat “menghukum” partai yang memasukkan keluarganya sebagai anggota DPR atau pejabat lainnya tanpa kualitas yang jelas

Bidang Kepemimpinan bisa belajar dari sini. Transfer kekuasaan butuh sebuah persiapan. Bisa saja menyerahkan kepemimpinan kepada anak-anak. Tetapi butuh sebuah persiapan yang matang baik dari segi kualitas si anak, maupun persiapan transisi kesiapan organisasi menerima kepemimpin dinasti ini. Suatu persiapan dari segi mentoring dan persiapan manajemen yang tidak bisa dibuat dalam jangka waktu pendek. Harus ada waktu panjang, termasuk merelakan anak-anak tidak bisa menjadi pemimpin pengganti jika memang tidak berkualitas.

Monday, March 22, 2010

Memimpin dalam Krisis: Belajar dari Robby Djohan

Daniel Ronda

Di Kompasiana saya mencoba terus menulis pentingnya kepemimpinan yang kontekstual secara reflektif dari situasi yang ada di Indonesia. Ada seorang kompasianer pernah bertanya adakah buku-buku kepemimpinan ala Indonesia yang bisa dipelajari? Lalu saya mencoba mencari kembali di rak-rak buku perpustakaan pribadi saya. Ada satu buku yang menarik perhatian saya yaitu buku Robby Djohan, “Leading in Crisis: Praktik Kepemimpinan Dalam Mega Merger Bank Mandiri.” Buku ini tidak terlalu lama, terbitan tahun 2006. Cuma sayang kalau buku ini dilewatkan untuk tidak direkomendasikan kepada Kompasianer tentang kepemimpinan di tengah krisis. Semua kita tahu siapa Robby Djohan, seorang yang dikenal sebagai yang menangani perusahaan penerbagangan Garuda yang hampir bangkrut dan juga ditugaskan membentuk Bank Mandiri yang kini menjadi bank terbesar di Indonesia. Lewat kepiawaiannya dalam melintasi krisis perusahaan besar di Indonesia, maka layaklah kiranya buku refleksi pengalamannya memimpin di dalam krisis dijadikan acuan bagi kepemimpinan di Indonesia bagaimana seharusnya menghadapi krisis. Tentu dalam tulisan ini saya tidak akan menguraikan seluruh prinsip kepemimpinan di dalam krisis seperti yang ditulisnya, hanya sebagian kecil yang saya ingin sharingkan dari pengalaman beliau terutama soal bagaimana menghadapi koridor krisis.

Dalam buku “leading in Crisis”, Robby Djohan mengingatkan beberapa hal dalam melewati koridor krisis (h. 155-163). Ini patut dipertimbangkan bagi pemimpin ketika menghadapi krisis dalam perusahaan atau organisasinya:

Pertama, pemimpin perlu memiliki fokus dalam menyelesaikan masalah yaitu yang paling menjadi pokok masalah, dan dengan suatu keyakinan bahwa itu dapat diselesaikan. Bila itu terjadi maka kita sudah memenangkan setengah dari peperangan itu. Seringkali kita terjebak kepada begitu banyaknya masalah sehingga tidak tahu mana yang menjadi pokok masalah.

Kedua, penting membentuk tim kepemimpinan yang sehati dan mengerti atau cakap dalam menyelesaikan masalah. Dalam tim tidak boleh ada keraguan serta kebingungan dalam mengimplementasikan strategi mengatasi masalah.

Ketiga, penyelesaian yang tidak fokus akan menyebabkan penyelesaian itu berdasarkan permintaan (demand-based) dan bukan berdasarkan kebutuhan (need-based). Banyak kali di Indonesia penyelesaian masalah karena ada desakan publik, namun tidak melihat substansi dari masalah itu sendiri.

Keempat, pentingnya kecepatan waktu dalam pengambilan keputusan. Jadi identifikasi masalah dan solusi harus cepat, karena jika tidak diambil dalam waktu yang cepat maka bawahan akan menjadi frustrasi dan kehilangan kepercayaan kepada kepemimpinan. Banyak kali pemimpin terlalu banyak pertimbangan sehingga sangat lambat dalam pengambilan keputusan.

Friday, March 19, 2010

Perjalanan ke Tanah Suci Vs Concrete Spirituality

Salah satu tren keagamaan di Indonesia adalah melakukan perjalanan ke tanah suci untuk ibadah (pilgrimage). Ini bukan hanya monopoli orang Islam, tetapi orang Kristen pun sudah mengembangkan tradisi ke Israel (Yerusalem) sejak dulu. Tetapi perkembangan tren ke tanah suci semakin meningkat dalam dasawarsa terakhir. Apalagi pemda-pemda di daerah-daerah Indonesia Timur mulai mensponsori rohaniwan dan pejabat ke tanah suci (holy land) tiap tahunnya. Hanya, aneh bin ajaib, tren ke tanah suci ini tidak dibarengi dengan praktik spiritualitas yang nyata sekembalinya dari perjalanan suci ini. Korupsi masih merajalela, bahkan Indonesia pun tahun ini masih negara terkorup di Asia Pasifik. Angka kemiskinan begitu banyak dan tidak turun-turun. Mengapa begitu banyak orang sudah menjadi “suci”, tidak ada relevansi dengan peningkatan kesucian dalam kehidupan nyata. Kemiskinan dan masalah keadilan sosial tidak pernah ditangani dengan baik di negeri ini.

Masalahnya adalah spiritualitas tidak pernah dibawa ke ranah nyata. Praktik keagamaan hanya sebatas ritual keagamaan dan simbol yang mengeraskan identitas diri dan kelompok. Bahkan asesoris badan dan pakaian pun dipakai untuk menggambarkan spiritulitas. Agama menjadi ritual tanpa roh agama itu yaitu spiritualitas, di mana seharusnya nilai-nilai berjumpa dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Ada beberapa contoh yang menghidupi spiritualitas secara nyata dalam kehidupannya (concrete spirituality). Contoh ini saya ambil dari tulisan George E. Saint-Laurent, “Spirituality and World Religions” (CA: Mayfield, 2000), 16-17. Pertama, Mother Theresa dari Kolkata (1910-97) yang memenangkan hadiah Nobel atas jasanya di dalam mendedikasikan seluruh kehidupannya kepada kemiskinan, penderitaan, dan kematian di India. Matanya selalu dipenuhi rasa cinta kasih kepada semua manusia tanpa memandang dari agama mana. Di sini dia menantang hati nurani dunia, karena tanpa takut dia mempertahankan kemuliaan dari manusia sebagai ciptaan Tuhan. Spiritualitas nyatanya adalah spiritualitas cinta kasih.

Kedua, Albert Schweitzer (1875-1965) dikenal sebagai pendeta Kristen yang sangat dihormati di Eropa, seorang ahli Kitab Suci ternama, dokter, dan organis gereja. Dia kemungkinan bisa meraih sukses besar sebagai ahli Kitab Suci. Tetapi dia memutuskan untuk meningglkan kehidupan nyaman di Eropa dan pergi ke Afrika untuk menolong orang yang sakit dan menderita. Spiritualitas nyatanya adalah spiritualitas penyembuhan.

Ketiga, Mahatma Mohandas K. Gandhi (1869-1948) rajin mengisi hidupnya dengan tulisan-tulisan agamawi baik dari agama Hindu, Kristen, dan Islam. Gandhi membuat seluruh dunia kagum akan perjuangannya dengan doa, puasa, dan tanpa kekerasan. Dia menolak memperlakukan sesama manusia sebagai musuh, sekalipun lawannya pernah menyiksa tubuhnya. Dia dimasukkan ke dalam penjara dan melewati penderitaan yang sangat dalam sehingga akhirnya mati sahid. Lewat perjuangannya yang disebut “satyagraha” (kekuatan jiwa) dia sukses memerdekakan India. Dapat dikatakan perjuangan dirinyalah India mengalami kemerdekaan. Spiritualitas nyatanya dalam kepemimpinan dan perdamaian.

Keempat adalah Martin Luther King Jr. (1929-68), master orator, seorang pendeta Kristen aliran Baptist, pemimpin yang berani, seorang saleh dan juga sangat terinspirasi dengan perjuangan tanpa kekarasan (nonviolence) dari Gandhi. Perjuangannya merupakan gabungan imannya dan ajaran Gandhi dengan melakukan gerakan perlawanan sipil melawan tindakan ketidakadilan ras (racism) yang dialami oleh rekan sebangsanya Afrika-Amerika. Spiritualitas nyatanya adalah dalam kepemimpinan dan perjuangan keadilan sosial.

Kelima, Cesar Chavez (1927-93) adalah seorang aktivis Katolik Amerika yang berdarah Mexico, dia mendirikan serikat pekerja petani dengan nama United Farmworkers Union, yaitu suatu gerakan yang melindungi dan memperjuangkan hak-hak petani migran asal Mexico yang seringkali mengalami ketidakadilan. Sama dengan Martin Luther King Jr, spiritualitas nyatanya adalah dalam kepemimpinan dan perjuangan keadilan sosial.
Tentu ada banyak nama lagi yang kita sebutkan dari berbagai lintas agama tentang bagaimana spiritualitas dibawa ke dunia nyata. Bahkan setiap kita punya orang yang kita kagumi, entah itu orang tua, guru, atau orang yang kita kenal yang memiliki spiritualitas yang dipraktekkan. Tentu memori kita masih akan mengingat contoh-contoh itu dan membuka mata kita bahwa spiritualitas yang dihidupi itulah yang diperlukan manusia saat ini.

Bagaimana menghidupi spiritualitas sehingga nyata dalam kehidupan kita? Caranya mungkin sederhana saja di mana setiap kali kita meelewati hari kita, kita berusaha berefleksi atas apa yang telah kita lakukan dan mencoba memaknainya. Bila kita melihat orang miskin, apakah hal kecil yang dapat saya buat? Bila kita adalah pemimpin, bagaimana dengan ekspresi wajah dan tutur kata kita dalam menghadapi mereka, terutama yang suka komplain? Bagaimana sikap kita terhadap segala kritikan dan mungkin tuduhan yang kita terima? Apakah kita membiarkan kebusukan yang ada dalam kantor kita bila secara nyata ada praktek-praktek kotor yang dilakukan rekan sejawat?

Pergi ke tanah suci tidak serta merta menyucikan kita, namun kehidupan yang direfleksikan dan dimaknai dengan nilai-nilai spiritualitas kita menjadikan kita dan dunia di sekitar kita lebih baik! Semoga!

Wednesday, March 17, 2010

Ucapan Selamat Ulang Tahun: Do You Mean It?

Belum pernah dalam sejarah hidup saya yang 43 tahun ini mendapat ucapan selamat ulang tahun begitu banyak, baik lewat sms, yahoo messenger, blackberry messenger, dan terutama melalui facebook. Wah, rasanya senang hati ini mendapatkan begitu banyak ucapan dari rekan, sahabat, anak murid, guru dari berbagai tempat di seluruh dunia. Rasanya kawan di dunia maya terasa begitu dekat dan penuh perhatian. Biasanya tahun-tahun sebelumnya hanya lewat sms dan telepon dan itupun hanya keluarga dan rekan serta sahabat dekat saja. Kali ini terasa berbeda. Semua rasanya seperti keluarga besar karena tiba-tiba menjadi teman baik dan rekan yang peduli. Tentu pagi ini anak-anak saya menyanyikan lagu ulang tahun di kamar saya dan mencium saya (termasuk istri) adalah hadiah terindah. Tetapi teman-teman fb juga membahagiakan saya!

Tetapi dalam suasana seperti ini, saya bertanya dalam hati apakah selamat ulang tahun itu keluar dari hati yang terdalam? Bila tidak diingatkan oleh facebook, apakah kita masih bisa mengingatnya? Terus terang saya juga tidak mengingat semua ulang tahun sahabat saya yang begitu banyak. Syukur ada fb. Tetapi apakah yang kita ucapkan sungguh merupakan ucapan yang tulus? Atau ini hanya bentuk media sosial baru di mana mesin fb yang canggih membuat kita semakin dekat namun semu dan maya saja? Saya tidak berprasangka negatif, cuma saya mau reflektif.
Di dalam dunia kepemimpinan, pemimpin yang baik harus rajin memberikan selamat (greetings) mulai dari hari-hari biasa, hari khusus dari staf dan pegawai seperti hari ulang tahun atau HUT pernikahan, serta hari istimewa seperti pernikahan atau pun saat berduka. Ucapan ini bisa lewat kartu, sms, media sosial, serta tentu ada hadiah-hadiah kecil yang kita berikan. Prinsip psikologisnya jelas, bahwa ucapan selamat (greetings) dan hadiah (gifts) selalu membuat orang yang menerimanya merasa dihargai serta diterima dan pada akhirnya meningkatkan komitmen dan kinerja seseorang. Pemberian apresiasi harus menjadi gaya hidup pemimpin bila dia mau sukses.

Cuma, banyak pemimpin yang setelah memberikan apresiasi tidak disertai dengan perilaku kerja di kantor. Setelah mengucapkan salam, lalu raut muka tetap “kecut” atau bahkan garang. Salam lalu menjadi sebuah basa-basi. Ucapan selamat di hari khusus dan istimewa hanya sekadar birokrasi sebuah kartu yang dikirim tanpa personalisasi kata-kata dari si pemimpin. Banyak kartu yang ditulis berisi kata-kata indah yang menjadi klise bila hanya ada tanda tangan pemimpin, karena kartu-kartu itu mudah didapat toko-toko buku. Seharusnya kata-kata yang ada ditambah dengan kata dari pemimpin yang lebih personal.

Begitu juga dengan SMS, seringkali kita mengirimkan ucapan hanya copas (copy-paste) dari orang lain punya. Kata-katanya indah, tetapi rasanya aneh bila hari-hari pemimpin punya watak tidak sesuai dengan yang tertulis di SMSnya. Misalnya, saya pernah dapat SMS seperti ini:
Menjadi teman kamu adalah pilihan
Bersahabat dengan adalah kesempatan
Tetap menjadi teman baikmu adalah kebahagiaan
Happy birthday, my best friends. Wish all the best for u

Siapa yang tidak senang dapat SMS seperti ini?! Tetapi bila dalam prakteknya cuek dan seolah tidak kenal kalau di kantor, apakah kata-kata di SMS ini masih punya makna? Apalagi waktu kita copas, kita lupa mengganti nama si pengirim dan masih nama orang lain yang tidak dikenal oleh bawahan kita.

Jadi bagi pemimpin, bila hendak mengucapkan selamat apa saja, hendaknya kita sungguh-sungguh mengatakannya. Bila tidak, sebaiknya kita melatih diri mengucapkan sesuai dengan apa yang ada di hati kita. Pertanyaan reflektif di akhir tulisan ini: “Do you mean it?” (apakah kita memang maksudkan?) waktu kita mengucapkan sesuatu kepada orang di sekitar kita?

Tuesday, March 16, 2010

Militan Memperjuangkan Kebenaran

Daniel Ronda

Judul di atas terinspirasi dari judul artikel yang ditulis Goenawan Mohamad, “Millitants” (dalam Tempo English Edition, Mach 16 2010 h. 58). Tentu saja saya sendiri terinspirasi oleh tulisan beliau terutama refleksi yang diajukannya soal bisakah bangsa ini mendapatkan kebenaran dalam konteks demokrasi dan kolektivitas DPR? Seringkali yang terjadi adalah yang disebut kebenaran adalah sebuah konsensus yang lahir dari sebuah negosiasi,kompromi, dan barter politik (istilah tambahan saya untuk yang terakhir). Itu sebabnya proses yang disebut kebenaran sejatinya tidak akan pernah didapatkan dari sebuah konsensus. Lebih lanjut Goenawan Mohamad mengatakan, “This is why consensus will never represent universal truth.” Kebenaran mulai terkikis dalam demokrasi yang penuh dengan intrik ini.

Bila dibandingkan dengan kasus Bank Century, masihkah DPR akan terus berjuang untuk mendapatkan kebenaran? Apakah fihak penegak hukum yaitu KPK yang diserahkan untuk menangani masalah ini akan memiliki militansi dalam mencari dan menegakkan kebenaran? Kita memang masih menunggu ke mana arah semua ini. Tetapi militansi dalam kasus ini sepertinya mulai berpindah dari penegakan kebenaran kepada kompromi. Dan inilah yang menyedihkan. Mungkin para nasabah Bank Century akan tetap menangis dan kecewa karena uangnya tetap kabur. Ketika disibukkan dengan berbicara kebijakan, maka yang dipikirkan para politisi adalah siapa Wapres dan Menkeu yang kita akan tempatkan dari partai kita menggantikan yang ada sekarang? Itulah “begging dan nagging” dari politisi kita kepada presiden SBY. Apalagi ketika diketahui presiden kita tidak terlalu tegas dalam bersikap dan sekalipun nampak pembelaan, hanya dalam tataran retorika. Koalisi tidak akan berani diutak-atik karena memang tidak ada nyali untuk itu. Makanya para politikus semakin berani merangsek dan berharap ketiban durian runtuh Wapres dan Menkeu mengingat tahun 2014 yang memerlukan modal besar. Kita lupa bicara substansi yang sebenarnya bagaimana menolong dana nasabah dan orang-orang yang masih mengharapkan pengembalian dana. Kita lupa kemana larinya dana pemerintah yang besar itu?

Bila dibawa cerita ini kepada dunia organisasi, seringkali saya memperhatikan bahwa ketika seseorang masih menjadi aktivis atau mahasiswa, dia sangat vokal berbicara kebenaran dengan sangat militan. Tetapi setelah menjadi pemimpin, dia kehilangan semangat menegakkan kebenaran dan mulai hidup dalam konsensus yang berisi kompromi dan negosiasi. Kepemimpinan menjadi lemah karena tidak ada “passion” dalam dirinya. Yang ada hanya apa yang saya dapat bila saya mendapatkan kedudukan?! Jadi bukan hanya di politik hal itu ada, namun dalam dunia organisasi dan perusahaan pun ada.

Militan dalam memperjuangkan diyakini kebenaran pun kadang setengah-setengah. Sebagai contoh praktis, walikota Makassar enam tahun lalu waktu pertama kali diangkat mengangkat tema kebersihan kota sebagai perjuangan yang harus dilakukan. Bahkan koran lokal pun sempat memberitakan besar-besaran bagaimana kemudian sebuah ruko di tepi pantai Losari kena denda di pengadilan karena membuang sampah sembarangan. Tetapi setelah itu miltansi soal kebersihan hilang di tengah hiruk pikuk politik dan tidak ada yang peduli lagi kalau Adipura tidak diperoleh. Usaha yang dilakukan soal kebersihan memang ada, namun tidak ada militansinya.
Tema perjuangan sekolah gratis dan kesehatan gratis yang diperjuangkan oleh Gubernur Sulsel sangat mendapat perhatian yang luar biasa baik dari pakar maupun liputan media lokal. Sudah ada upaya yang dilakukan. Tetapi hari ini pendidikan dan kesehatan gratis sudah seperti sedia kala lagi, tetap susah bagi si miskin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dan pendidikan baik yang gratis. Perjuangan yang tidak militan inilah yang membuat masyarakat menjadi sinis bahwa apa yang dilakukan dan dijanjikan pemimpin itu hanya sebatas jualan politik waktu pilkada.

Bagaimana seharusnya pemimpin memperjuangkan kebenaran secara militan dalam kepemimpinannya? Pertama, perjuangan yang hanya lewat mulut dalam retorika yang diulang-ulang akan punya titik jenuh. Maka pemimpin harus menjabarkannya dalam visi, misi, dan strateginya. Dan pemimpin sendiri harus punya “passion” dalam mengimplementasikannya. Visi dan misi dari hati yang punya “passion” berbeda dari orang yang hanya menjadi visi dan misi hanya slogan.

Kedua, pada sisi lain pemimpin tidak boleh berhenti “bicara” baik dalam memberikan keyakinan maupun meminta partisipasi. Bahkan selalu meminta atau “make a big ask” secara kreatif akan mendapatkan hasil. Jika pemimpin berhenti bicara, maka program itu akan hilang ditelan angin, sama seperti menuliskan kertas visi dan misi yang hanya tersimpan di arsip file dengan rapi.

Ketiga, melibatkan orang-orang kunci dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Semakin melibatkan banyak orang maka kita akan mendapatkan momentum perubahan. Ini perlu mengidentifikasi siapa-siapa yang mau secara militan ikut memperjuangkan program-program yang akan menyukseskan visi dan misi sang pemimpin.
Jadi memperjuangkan kebanaran dan keyakinan sebagai pemimpin tidak boleh setengah-setengah, harus militan! Jika tidak, minggir saja!

Saturday, February 27, 2010

Belajar dari Bupati Jayawijaya Menangani Masalah Hukum


Daniel Ronda
Di tengah keriangan menyambut tahun baru 2010, umat Kristiani biasanya merayakan ibadah tahun baru. Di sebuah distrik di Pagimo, ada sekelompok kecil komunitas beribadah memasuki tahun 2010. Di tengah ibadah berlangsung tiba-tiba ada sekelompok masa yang menyerang dan memukuli kelompok kecil yang beribadah ini di sebuah TK Kristen. Tidak peduli perempuan dan remaja pun mereka pukuli beramai-ramai. Bahkan kemudian kelompok yang beringas ini sekitar 50an laki-laki membakar TK tempat mereka beribadah. Bahkan mobil dan motor mereka balik dan rusakkan. Menurut kesaksian, kelompok yang diserang ini hanya berdiam diri ketika penyerangan dan penghancuran terjadi.
Berita ini segera menjadi berita besar di kabupaten yang juga dikenal dengan sebutan Lembah Baliem. Tempat yang dingin dan dikenal dengan pariwisatanya seketika menjadi panas dan tegang dengan berita ini. Kelompok yang diserang tentu tidak menerima perlakukan ini dan melaporkan kepada kelompoknya yang besar.  Peristiwa ini lebih didasari dan dimulai dari perpecahan gereja di tingkat sinode yang berimbas ke gereja-gereja lokal yang lebih kecil.
Dalam suasana tegang polisi berhasil menangkap pelaku sebanyak 19 orang. Ada yang ditahan langsung dan ada yang jadi tahanan kota. Pemerintah cukup tegas dan polisi berusaha menegakkan hukum yang berlaku. Ini suatu keberhasilan dalam menegakkan kebenaran di daerah di mana kesadaran hukum bukan masih belum nampak. Tetapi cerita terus berlanjut, di mana kemudian keluarga pihak penyerang yang keluarganya ditangkap melakukan demo hampir setiap hari di kantor pemerintah untuk meminta pembebasan tahanan. Pemerintah tentu pusing menghadapi situasi seperti ini. Apalagi konsep keadilan masyarakat di sana sangat berbeda dengan konsep hukum yang umum dianut di negeri ini. Masyarakat yang terbiasa dengan penyelesaian perang tentu menganggap hal biasa bila itu terjadi. Mereka tidak mau tahu (atau istilah lokal “malas tahu”) dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Baginya keadilan diselesaikan dengan perang atau penyerangan. Anda melawan atau lari, itu saja. Menang kalah diselesaikan lewat perang atau kekerasan!
Di tengah konsep hukum yang masih rendah dan ketika berkas perkara hendak dilimpahkan ke kejaksaan, timbul niat dari Bupati untuk menyelesaikan masalah ini dengan lebih arif dan mengambil nilai-nilai budaya setempat. Pihak korban didekati agar mau berdamai dengan pihak penyerang. Atas fasilitasi ini pihak korban bersedia didamaikan, tetapi tetap menuntut ganti rugi. Pihak penyerang tetap keberatan dengan ide ini, namun tetap minta bahkan menuntut agar tahanan dibebaskan. Lalu Bupati meminta kepada pihak korban, kalau mereka menghapuskan saja tuntutan ganti rugi dan malahan mau memberikan maaf dan pengampunan. Usul itu diterima asalkan pihak korban dapat terus berbakti tanpa diganggu. Akhirnya terjadilah kesepakatan damai di antara kedua belah pihak di mana Bupati menjadi fasilitator yang disaksikan oleh semua unsur Muspida. Dan yang menarik pihak korban tidak menuntut apa-apa selain menunjukkan kasih dan pengampunan serta maaf.
Peristiwa damai ini menyentuh hati banyak orang, karena pendekatan ini justru menghasilkan kepuasan di kedua belah pihak dan kedamaian di masyarakat. Ketika kesadaran hukum sangat rendah, maka harus ada nilai lokal yang perlu dipakai dalam penyelesaian masalah.
Tentu hukum harus disosialisasikan sehingga masyarakat bisa melek hukum. Tetapi dalam masyarakat yang penyelesaiannya lewat perang, maka perdamaian adalah juga nilai luhur yang dianut. Maka kearifan Bupati dapat diacungi jempol. Dia adalah pemimpin yang mengerti bahwa bila penyelesaiannya lewat hukum legal formal semata, maka masalah ini tidak akan pernah selesai dan justru akan mempertajam permusuhan. Dan ketika sikap perdamaian dan kerelaan mengampuni diambil, justru kedamaian lebih abadi. Pak Anes (saya singkat saja), teman saya yang merupakan korban, mengatakan bahwa justru sekarang mereka bisa leluasa beribadah bahkan ada yang telah menyesal melakukan hal tersebut.
Kolam Lupa Ingatan
Lain dengan kasus penyerangan, lain dengan penyelesaian masalah pelik lainnya yaitu miras. Masyarakat Papua termasuk di Wamena dikenal sebagai peminum miras dan kemabukan sudah hal yang lazim terlihat di kota-kota. Mereka bukan hanya mabuk, tetapi kemudian dibarengi dengan berbagai kejahatan lainnya seperti pemalakan, penodongan, pencurian dan tindak kriminal lainnya. Masyarakat mengeluh soal yang satu ini di mana pemerintah sepertinya gagal menyelesaikan masalah ini. Bupati tahu persoalan yang meresahkan ini. Dia mencoba menghubungi pihak kepolisian, namun tentu polisi kewalahan karena jumlah personel yang kurang memadai di samping rumah tahanan juga kecil.

Maka Bupati tidak habis akal. Dia membentuk satpol dan memerintahkan menangkap setiap pemabuk yang berkeliaran di kota. Mereka yang ditangkap tidak dibawa ke sel tahanan atau diproses hukum, tetapi dibawa ke kolam dekat kantor bupati. Di sana para satpol memasukkan mereka ke dalam kolam yang dingin sekali bila malam. Siapapun pemabuk tidak akan tahan direndam di air dengan baju terbuka selama beberapa jam. Mereka rata-rata mengaduh dan minta ampun agar dikeluarkan. Tujuannya membuat para pemabuk jera. Maka kolam itu dikenal dengan julukan “kolam lupa ingatan” untuk membuat pemabok kapok.

Sejak razia itu pemabuk yang berkeliaran sudah sangat jauh berkurang. Pemilik toko dan masyarakat senang karena ada rasa aman yang terjadi. Memang belum tuntas, namun Bupati telah mengerti teknik mengatasi tipe permasalahan kemabukan ini. Tidak bisa hanya pendekatan hukum, tetapi membuat jera tanpa harus melanggar HAM.

Kepemimpinan model inilah yang diperlukan bangsa ini yang begitu beragam dari masyarakat yang sudah sangat maju sampai belum sama sekali memahami hukum yang berlaku di negeri ini. Pendekatan kontekstual setempat telah berhasil menyelesaikan begitu banyak masalah, yang tentunya penyosialisasian konsep hukum nasional juga harus terus dijalankan. Bila banyak pemimpin yang seperti ini, tentu akan terselesaikan kasus bangsa ini tanpa harus bertumpu kepada kepemimpinan seseorang di Pusat yang sudah begitu sarat juga dengan masalah.
(Cerita ini saya dapat dari rekan-rekan saya ketika saya di Wamena, 20-22 Februari 2010).

Wednesday, January 27, 2010

Haruskah SBY Defensif Terhadap Kritik


By Daniel Ronda

Boleh dikatakan hampir setiap hari di media kita membaca dan menonton bagaimana presiden SBY dikritik dan dijadikan bulan-bulanan kritik. Tidak ada satupun ucapan dan tindakan presiden yang lolos dari kritikan pengamat, ahli, mahasiswa, dan elemen lainnya. Apapun yang dilakukan presiden tidak akan luput dari kritik. Tidak ada hari tanpa demo. Istilah kasarnya, "Tolol betul presiden kami". Ibu saya pun sempat berkata, “Apa tidak capek ya itu mahasiswa?, Kapan dia belajar?” Sampai-sampai sopir dan tukang becak pun jenuh melihat demo dan kritikan di jalan-jalan yang membuat mereka semakin susah cari hidup.

Secara emosional orang yang sehat secara mental pun tidak akan menikmati serangan berupa kritik. Dan harus jujur dikatakan bahwa kata-kata kritik saat ini jauh lebih menyengat dan pedas, dibandingkan pada waktu kepemimpinan dulu era Suharto. Jika dulu di zaman Orba masih memakai sindiran dan karikatur, maka sekarang sudah langsung menyerang dan menyebut kesalahannya secara menyengat. Saya percaya dengan ucapan mentor saya yang mengatakan semakin besar dan tinggi tanggung jawab yang diberikan, maka semakin besar pula kita akan menjadi target serangan. Bahkan ada pepatah Melayu yang mengatakan, “semakin tinggi seekor monyet naik ke pohon, semakin kelihatan pantatnya yang jelek.” Artinya, memang pemimpin sudah ditakdirkan untuk dikritik dan kelemahan-kelemahan pemimpin semakin tampak bila dia di atas. Dan pada saat seperti ini, kita membutuhkan nasehat-nasehat.

Seorang bijak mengingatkan, bila dikaji kritik lebih dalam lagi maka sebenarnya jauh di dalam kritik itu selalu ada mutiara kebenaran di dalamnya. Jadi daripada fokuskan energi kepada bagaimana menghadapi kritikan dan bagaimana memberikan perlawanan atau serangan balik terhadap kritik, sebaiknya pemimpin memfokuskan energi kepada apa mutiara yang ada di balik kritik itu. Orang bijak ini mengingatkan bahwa kita akan bisa bertumbuh di dalam kritik dan tidak ada gunanya bersikap defensif terhadap kritik. Apalagi kemudian bila pengkritik itu ditanggapi, malahan menarik orang untuk terus melakukan serangan yang tiada henti.

Prinsip yang penting adalah terus bertahan untuk mempelajari apa mutiara kebenaran dari kritikan itu.  Dan kritik itu akan semakin berkurang bila kita terus belajar untuk hidup lurus, lebih reflektif dalam menerima kritik, mampu menahan diri, dan mempertunjukkan kebijakan sebagai pemimpin.
Teknik mencari mutiara dalam kritik ini adalah pelajaran yang paling berat dalam kepemimpinan, karena adanya masalah memori masa lalu, ego, kecurigaan motif dan kompleksitas lainnya yang ada pada diri pemimpin dan konteksnya. Ini pelajaran yang paling sukar bagi “pelajaran kepemimpinan”. Tetapi ini adalah disiplin ilmu yang biasa dipelajari dan dikuasai oleh seorang pemimpin.

Contoh praktis, setiap pagi di koran dan TV pasti saja ada berita dan kritik yang muncul. Dan selalu saja dimasukkan kritik-kritik yang tajam, pedas,  dan menyengat bagi telinga pemimpin.  Di sini pemimpin pertama-tama harus belajar menahan diri untuk tidak menelpon pemimpin perusahaan koran atau pemilik stasiun TV yang mengkritik dengan pedas. Tahan diri secara emosional. Lalu belajar untuk merenungkan mutiara apa yang ada di balik kritik itu! Ini perlu latihan.

Kemudian, bila kritik itu terus dan tiada ada jedanya, maka pemimpin yang baik akan mengudang orang-orang kunci dalam kepemimpinannya untuk mendiskusikan kritik yang bermunculan di media. Kita harus tegas mengatakan bahwa seringkali media bias dan kerap kali tidak menunggu keseimbangan berita. Yang penting luncurkan berita dulu, entah benar atau tidak, sehingga terjadi kontroversi, dan setelah itu baru dibuatkan hak jawab. Jadi seperti drama sinetron berkelanjutan di mana ada perang pernyataan. Media pasti sangat senang dengan hal ini.  Memang inilah keanehan media era baru yang perlu dicermati pemimpin. Siapapun bisa jadi korban kontroversi ini.  Walaupun media tidak terlalu benar, setidaknya dalam diskusi antar pemimpin kunci itu kritik selalu dibahas, yaitu pelajaran  apa yang bisa diambil dari kritik ini.  Mungkin dalam diskusi itu kita akan berkata, berita ini tidak benar, tetapi ada porsi di mana berita itu ada benarnya. Inilah tugas pemimpin untuk menemukan dan mendiskusikannya. Diskusi seperti ini akan menyembuhkan secara emosional hati pemimpin dan kepemimpinan secara kolektif. Dan bila terus ini dilakukan maka bangsa ini akan menikmati ketenangan, rasa aman dan bangkit maju karena ada energi kata-kata yang membangun dari pemimpinnya.


Sudah bukan waktunya menanggapi dan melawan kritik, tetapi menjadikan kritik sebagai bahan diskusi dan mengolahnya  untuk menemukan kebenaran yang akan memperbaiki keadaan bangsa ini.
Ini merupakan seri kedua: Seni Pemimpin Menghadapi Kritik (2)

Wednesday, January 20, 2010

Jangan Ganggu SBY: Seni Menghadapi Kritik

By Daniel Ronda

Saya sering mendapat info kalau lagi santai duduk dengan teman-teman dan entah dari mana dapat info teman menceritakan tentang kemungkinan adanya pemakzulan SBY dan kemungkinan untuk menggantikannya. Ini akibat skandal Century, katanya. Entah ini benar atau tidak, tetapi saya adalah orang yang tidak setuju dengan pandangan ini. Bagi saya biarkan SBY menyelesaikan tugas kepresidenannya. Itu penting untuk bangsa ini.

Memang masalah kepemimpinan adalah sudah menjadi urusan semua orang (a leadership is a people business). Dari mulai elit politik di Jakarta dan daerah, para pengusaha, pelajar dan mahasiswa, ibu rumah tangga dan sampai buruh serta tukang becak, semuanya kalau lagi santai atau ada kesempatan pasti memberikan penilaian kepada pemimpinnya. Kebanyakan yang dibahas bukan prestasinya, tetapi kelemahannya. Ada juga ada yang memberi opini, walaupun tidak tahu seluruhnya dan mungkin hanya mendengar gosip, atau mendengar sepotong-potong dari media, bahkan ada yang tidak jujur dalam menilai pemimpinnya. Tidak peduli benar atau tidak, yang penting mengkritik enak di telinga. Dan seringkali kebanyakan orang yang suka mengkritik merasa pemimpinnya salah dan dialah yang paling benar dan paling mampu memperbaikinya.

Umumnya yang dikritik dari pemimpin adalah motif dari pemimpin dan menebak apa arti keputusannya. Jadi setiap mengambil keputusan, pasti dikritik motifnya dan juga umumnya menebak-nebak apa makna keputusan itu dengan kecurigaan. Misalnya, apakah motifnya dalam keputusan yang dikeluarkan akan menguntungkan dirinya, keluarganya, atau kelompoknya. Selalu diupayakan ada kaitannya walaupun dipaksakan logikanya. Jadi amat mustahil bagi pemimpin untuk tidak dikritik apapun keputusannya.

Lebih lanjut lagi, pemimpin mulai dikritik secara tidak adil (fair) dan banyak kemudian pengritik mulai memberikan kritik secara keras bahkan merendahkan (abuse) pemimpin dengan kata-katanya. Ini sering terlihat betapa kasarnya omongan seorang pengamat terhadap pemimpinnya dan bahkan belum mendapat data akurat sudah berani memberikan kesimpulan. Urusan resiko dan kebenaran adalah belakangan, yang penting dilempar dulu kritiknya.

Pada sisi lain, banyak kali pemimpin menyerah dengan kritikan ini dan mulai meladeni kritikan itu. Mungkin karena hatinya sudah mulai dikeraskan, maka sikapnya berubah dari lembut menjadi skeptis dan sinis. Masalahnya adalah bila pemimpin mulai fokus kepada meladeni persoalan, maka perhatian masyarakat mulai juga terbawa dengan masalah ini. Akhirnya perhatian ini menyita waktu karena ada saling kirim kritik dan membela diri dan seterusnya. Ketika masyarakat mulai fokus kepada sisi negatif kepemimpinan, maka pemimpin pun mulai kehilangan semangat dan optimisme yang ada pada dirinya. Dan ketika pemimpin mengkritik orang lain dan lawan politiknya, maka pemimpin itu sendiri mulai memberi contoh bagi masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Akan ada spirit untuk mengkiritk di masyarakat karena pemimpinnya juga memberi contoh mengkritik. Ingat prinsip praktik kepemimpinan “modeling the way”-nya Kouzes dan Posner. Dan ketika pemimpin mulai kehilangan kepercayaan terhadap elit kepemimpinan di sekitarnya, maka potensi kepemimpinan bangsa akan mengalami stagnasi. Ini kesalahan pemimpin karena terlalu termakan kritik. Itu sebabnya suatu prinsip kepemimpinan adalah untuk tidak terjebak meresponi mereka yang punya semangat mengkiritik saja yaitu mereka yang tidak jujur dengan prinsip kritik itu sendiri. Di mana kritik itu seharusnya diarahkan kepada program pemimpin bukan kepada pemimpin secara personal.

Pemimpin besar seharusnya berfokus kepada hal-hal positif dari bangsa dan memberikan harapan kepada bangsa ini yang sedang mengalami banyak masalah, terutama kemiskinan dan ketidakadilan. Pemimpin tidak boleh berfokus kepada hal-hal negatif. Yang ditakutkan bila pemimpin menyerah kepada kritikan, pemimpin akan mulai melihat masa depan kepemimpinannya menjadi gelap. Dan pemimpin sendiri mulai sinis apakah saya bisa selesaikan masa kepemimpinannya. Apalagi kemudian terjadi “pengkhianatan-pengkhianatan” dari koalisi yang sudah dibentuknya, maka pemimpin mulai meragukan integritas dan kejujurannya orang-orang di sekitarnya. Ketika ada serangan bertubi-tubi di sektor moneter misalnya, seperti yang terjadi saat ini, maka pemimpin yang termakan kritik akan tidak berani mengambil keputusan lagi bila ada krisis global lagi. Ini yang menakutkan bagi saya, bila pemimpin mulai termakan kritik yang tiada henti. Yang ditakutkan lagi, ungkapan bahasa Indonesia “guru adalah pengalaman terbaik” justru pengalaman pahit dikritik menghasilkan pemimpin sinis.

Itu sebabnya pemimpin harus segera mengoreksi sikap dalam meladeni kritik. Daripada terjebak membalas dengan sikap defensif dan membela diri, maka fokus kepada hal-hal yang harus segera dikerjakan. Jangan sampai pemimpin teracuni sehingga menjadi tidak efektif memimpin bahkan menghadapi masalah kesehatan seperti insomnia dan penyakit lainnya. Pemimpin besar mesti menjaga sikapnya terhadap berbagai terpaan kritik. Terlalu banyak alasan bagi pemimpin bangsa ini untuk terus bersikap positif dan membagikan harapan yang optimis bagi masa depan bangsa Indonesia. Pemimpin sudah dipilih oleh rakyat selalu ingat juga prinsip “vox populi vox dei” dan jangan diplesetkan dalam sebuah T-Shirt menjadi “fox populi, fox idiotum”, di mana rakyat dianggap sebagai sekumpulan orang idiot! Maju terus bung!