Tuesday, March 16, 2010

Militan Memperjuangkan Kebenaran

Daniel Ronda

Judul di atas terinspirasi dari judul artikel yang ditulis Goenawan Mohamad, “Millitants” (dalam Tempo English Edition, Mach 16 2010 h. 58). Tentu saja saya sendiri terinspirasi oleh tulisan beliau terutama refleksi yang diajukannya soal bisakah bangsa ini mendapatkan kebenaran dalam konteks demokrasi dan kolektivitas DPR? Seringkali yang terjadi adalah yang disebut kebenaran adalah sebuah konsensus yang lahir dari sebuah negosiasi,kompromi, dan barter politik (istilah tambahan saya untuk yang terakhir). Itu sebabnya proses yang disebut kebenaran sejatinya tidak akan pernah didapatkan dari sebuah konsensus. Lebih lanjut Goenawan Mohamad mengatakan, “This is why consensus will never represent universal truth.” Kebenaran mulai terkikis dalam demokrasi yang penuh dengan intrik ini.

Bila dibandingkan dengan kasus Bank Century, masihkah DPR akan terus berjuang untuk mendapatkan kebenaran? Apakah fihak penegak hukum yaitu KPK yang diserahkan untuk menangani masalah ini akan memiliki militansi dalam mencari dan menegakkan kebenaran? Kita memang masih menunggu ke mana arah semua ini. Tetapi militansi dalam kasus ini sepertinya mulai berpindah dari penegakan kebenaran kepada kompromi. Dan inilah yang menyedihkan. Mungkin para nasabah Bank Century akan tetap menangis dan kecewa karena uangnya tetap kabur. Ketika disibukkan dengan berbicara kebijakan, maka yang dipikirkan para politisi adalah siapa Wapres dan Menkeu yang kita akan tempatkan dari partai kita menggantikan yang ada sekarang? Itulah “begging dan nagging” dari politisi kita kepada presiden SBY. Apalagi ketika diketahui presiden kita tidak terlalu tegas dalam bersikap dan sekalipun nampak pembelaan, hanya dalam tataran retorika. Koalisi tidak akan berani diutak-atik karena memang tidak ada nyali untuk itu. Makanya para politikus semakin berani merangsek dan berharap ketiban durian runtuh Wapres dan Menkeu mengingat tahun 2014 yang memerlukan modal besar. Kita lupa bicara substansi yang sebenarnya bagaimana menolong dana nasabah dan orang-orang yang masih mengharapkan pengembalian dana. Kita lupa kemana larinya dana pemerintah yang besar itu?

Bila dibawa cerita ini kepada dunia organisasi, seringkali saya memperhatikan bahwa ketika seseorang masih menjadi aktivis atau mahasiswa, dia sangat vokal berbicara kebenaran dengan sangat militan. Tetapi setelah menjadi pemimpin, dia kehilangan semangat menegakkan kebenaran dan mulai hidup dalam konsensus yang berisi kompromi dan negosiasi. Kepemimpinan menjadi lemah karena tidak ada “passion” dalam dirinya. Yang ada hanya apa yang saya dapat bila saya mendapatkan kedudukan?! Jadi bukan hanya di politik hal itu ada, namun dalam dunia organisasi dan perusahaan pun ada.

Militan dalam memperjuangkan diyakini kebenaran pun kadang setengah-setengah. Sebagai contoh praktis, walikota Makassar enam tahun lalu waktu pertama kali diangkat mengangkat tema kebersihan kota sebagai perjuangan yang harus dilakukan. Bahkan koran lokal pun sempat memberitakan besar-besaran bagaimana kemudian sebuah ruko di tepi pantai Losari kena denda di pengadilan karena membuang sampah sembarangan. Tetapi setelah itu miltansi soal kebersihan hilang di tengah hiruk pikuk politik dan tidak ada yang peduli lagi kalau Adipura tidak diperoleh. Usaha yang dilakukan soal kebersihan memang ada, namun tidak ada militansinya.
Tema perjuangan sekolah gratis dan kesehatan gratis yang diperjuangkan oleh Gubernur Sulsel sangat mendapat perhatian yang luar biasa baik dari pakar maupun liputan media lokal. Sudah ada upaya yang dilakukan. Tetapi hari ini pendidikan dan kesehatan gratis sudah seperti sedia kala lagi, tetap susah bagi si miskin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dan pendidikan baik yang gratis. Perjuangan yang tidak militan inilah yang membuat masyarakat menjadi sinis bahwa apa yang dilakukan dan dijanjikan pemimpin itu hanya sebatas jualan politik waktu pilkada.

Bagaimana seharusnya pemimpin memperjuangkan kebenaran secara militan dalam kepemimpinannya? Pertama, perjuangan yang hanya lewat mulut dalam retorika yang diulang-ulang akan punya titik jenuh. Maka pemimpin harus menjabarkannya dalam visi, misi, dan strateginya. Dan pemimpin sendiri harus punya “passion” dalam mengimplementasikannya. Visi dan misi dari hati yang punya “passion” berbeda dari orang yang hanya menjadi visi dan misi hanya slogan.

Kedua, pada sisi lain pemimpin tidak boleh berhenti “bicara” baik dalam memberikan keyakinan maupun meminta partisipasi. Bahkan selalu meminta atau “make a big ask” secara kreatif akan mendapatkan hasil. Jika pemimpin berhenti bicara, maka program itu akan hilang ditelan angin, sama seperti menuliskan kertas visi dan misi yang hanya tersimpan di arsip file dengan rapi.

Ketiga, melibatkan orang-orang kunci dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Semakin melibatkan banyak orang maka kita akan mendapatkan momentum perubahan. Ini perlu mengidentifikasi siapa-siapa yang mau secara militan ikut memperjuangkan program-program yang akan menyukseskan visi dan misi sang pemimpin.
Jadi memperjuangkan kebanaran dan keyakinan sebagai pemimpin tidak boleh setengah-setengah, harus militan! Jika tidak, minggir saja!

No comments:

Post a Comment