Thursday, August 19, 2010

Kotbah Mimbar Bukan Satu-Satunya

Saya sering diminta berkotbah di berbagai gereja dan suatu kehormatan bisa berbagi firman Tuhan dari berbagai tradisi gereja yang berbeda. Sebut saja dari tradisi Protestan (mainline), Injili, Pentakosta, dan sampai Kharismatik serta aliran independen lainnya.

Suatu ketika, ketika diundang kotbah di sebuah gereja, saya bertanya mengapa mengundang saya. Jawabannya adalah bahwa gereja kami memerlukan variasi dan penyegaran. Jadi perlu ada suara baru dari fihak luar atau eksternal agar tidak monoton. Ini jawaban klasik, karena di seringkali saya mendengar jawaban ini dari mereka yang suka mengundang pengkotbah luar.

Bahkan ada gereja yang menjadikan kotbah sebagai primadona programnya, sehingga hampir tiap minggu mengundang pengkotbah “terkenal” baik dari dalam kota maupun luar kota. Tiap minggu gereja model ini melakukan promosi lewat koran dan tabloid. Sayangnya, kriteria pengkotbah terkenal adalah mereka yang bisa melucu atau bahasa halusnya punya sense of humor. Kriteria bisa melucu di atas kriteria kotbah yang Alkitabiah dan komunikatif. Maka “entertainment preacher” sebagaimana dilansir John Piper menjadi lebih terkenal daripada kotbah yang berfokus kepada firman Tuhan.
Tetapi ironisnya, tidak selalu gereja yang menjadikan kotbah sebagai primadona berhasil. Ada beberapa gereja yang saya tahu tidak mengalami pertumbuhan walaupun sudah tiap minggu mengundang pengkotbah “terkenal” dan punya reputasi. Saya pernah ditanya, mengapa begitu banyak pengeluaran yang dilakukan untuk mendatangkan pengkotbah, namun hasilnya tidak sebanding. Jemaat yang datang ternyata dari gereja lain dan hanya datang sebagai pengunjung yang membutuhkan variasi. Jemaat hanya datang dari gereja lain sebagai pengunjung tanpa komitmen. Ini fenomena menyedihkan.

Mengapa itu terjadi? Saya berpendapat bahwa kotbah bukan satu-satunya. Iya, kotbah memang penting dan sentral dalam kehidupan gereja, tetapi ada hal lain yang penting untuk menunjang kotbah yang hidup:

Pertama, perlu ada sentuhan pribadi pada kotbah, sama dengan kehidupan jemaat pun perlu ada sentuhan seperti kunjungan pastoral (pembesukan), kontak pribadi lainnya. Ada banyak hal kreatif yang dilakukan gereja dalam mengadakan kontak dengan jemaat. Hal itu dilakukan dengan percakapan pastoral via telepon atau langsung, sms ayat firman Tuhan, atau kartu ucapan lainnya. Bila ini dilakukan, maka semua sentuhan pribadi ini akan menunjang kotbah dengan cara menceritakan di mimbar hal-hal positif yang dilakukan jemaat. Rick Warren dalam kotbahnya seringkali memuji jemaatnya yang begitu antusias melayani. Saya pernah melihat Bill Hybels berkotbah di Willow Creek Church Burlington-Chicago di mana di tengah kotbahnya dia menayangkan film singkat bagaimana jemaatnya melakukan tugas pelayanan. Ini sangat menyentuh jemaatnya. Dalam konteks pengkotbah tamu di mana kita mengundang pengkotbah luar, pastikan mereka memahami konteks jemaat dan situasi mereka sehingga ada sentuhan pribadi dalam aplikasinya.

Kedua, penyembahan dan atmosfer ibadah perlu dipelihara kehangatannya. Ini perlu persiapan matang dan terencana, baik dalam memilih dan melatih pelayan penyembahan. Entah apapun bentuk penyembahannya, harus dipersiapkan dengan baik. Hal utama adalah tentu penyembahan berpusat kepada Tuhan (God’s centered worship). Sebagai pengkotbah akan sangat tertolong bila liturgi penyembahan baik dan atmosfer kehangatan ada dalam ibadah. Saya sendiri merasakan respons yang berbeda bila suasana dingin dan ibadah membosankan. Sulit rasanya mengangkat minat jemaat mendengarkan kotbah bila di awalnya mereka tidak merasakan atmosfer surgawi.

Ketiga, perlu ada kehidupan doa yang baik dalam gereja. Kotbah dan doa adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Bila tidak ada persiapan rohani, rasanya sulit mendapatkan kotbah yang penuh kuasa. Ia bisa memotivasi, tetapi tidak mengubahkan. Itu sebabnya baik pengkotbah dan semua pelayan gereja ada jam khusus untuk berdoa. Bahkan ada pemimpin gereja berkumpul yang sharing firman Tuhan sebelum disampaikan di mimbar pada keesokan harinya.

Keempat, perlu ada keramahan dan karakter yang baik dari pengkotbah. Setelah ibadah, biasanya ada gereja yang meminta pengkotbah menyalami jemaat. Maka kehangatan pengkotbah, senyuman, menyalami dengan sungguh akan menambah kesan yang lebih dalam bagi kehidupan jemaat. Apalagi bila ada yang minta didoakan, dan kita rela melakukannya, maka akan menambah kekuatan kotbah. Seringkali banyak jemaat mengeluh bahwa pengkotbahnya tidak ramah, tidak lihat muka lawan waktu salaman, dan dingin dalam bersikap. Bagaimana seseorang merasakan isi kotbah yang hangat, dengan kenyataan seorang yang dingin yang berdiri di depannya?

Kotbah yang efektif perlu ditunjang dari berbagai segi. Jangan pikir kotbah di mimbar sebagai satu-satunya alat efektif pertumbuhan gerejanya.

2 comments:

  1. Amin benar pak. disinilah perlunya peran seorang gembala, pemahaman yg benar tentang penggembalaan. sukses selalu.

    ReplyDelete
  2. Ada personal touch...n personal experience yg dibagikan...mantap paman daniel

    ReplyDelete