Friday, February 18, 2011

Humor dalam Kotbah

Daniel Ronda

Bulan Desember ini saya ditelepon seorang panitia Natal untuk berkotbah di gerejanya. Setelah saya menyetujui karena memang belum ada jadwal, maka panitia menitip pesan kepada saya agar dalam kotbah agar banyak diberikan humor. Berkali-kali dalam telepon itu dia menekankan agar saya melucu. Saya mengiyakan, namun hal ini membuat saya bertanya-tanya, apakah dia memerlukan pengkotbah atau pelawak? Bagaimana sebenarnya kedudukan humor dalam kotbah?

Humor adalah bagian penting yang patut dipertimbangkan dalam menyampaikan kotbah. Menjadi humoris tentu tidak mudah, namun kemampuan tertawa dan menertawai diri adalah hal yang perlu dilatih dan itu adalah sebuah pilihan. Umumnya pengkotbah terkenal memiliki selera humor (sense of humor) yang baik. Sebut saja misalnya, Charles Spurgeon. Ia dikenal menggunakan humor. Cuma harus diingat bahwa humor bukan sebuah keharusan di dalam sebuah kotbah, karena humor harus dipergunakan dengan hati-hati. Tidak sedikit pengkotbah menggunakan humor yang tidak ada hubungan sama sekali dengan isi kotbahnya. Bahkan ada pengkotbah yang tidak lagi humoris tapi sudah seperti pelawak. Harus diingat, panggilan pengkotbah tidak sama dengan profesi pelawak, dan tujuannya bukan untuk menjadi penghibur yang kerjanya hanya membuat jemaat tertawa terpingkal-pingkal. Jemaat pun umumnya senang kalau pengkotbah itu banyak humornya. Walaupun ada penyalahgunaan humor dalam kotbah, tetapi tetap humor itu sah dalam kotbah, seperti yang dikatakan John Stott, “Humour is legitimate.”

Apa sebenarnya kegunaan humor dalam kotbah? Dalam tulisannya, John Beukema menuliskan beberapa keuntungan dalam menggunakan kotbah. Pertama, humor mengatasi kekerasan hati manusia (humor overcomes defenses). Manusia umumnya susah ditegur dan dikritik secara langsung. Maka cara yang lain yang bisa meredakan sikap defensif dalam mendengar teguran Tuhan yaitu dengan humor. Bila dibandingkan dengan budaya di Jawa, maka para raja Jawa sendiri sering dikritik bawahannya lewat humor, maka muncullah punakawan (Bagong, Gareng, Petruk, Semar) yang kerjanya mengkritik dengan humor. Dalam pengalaman pelayanan pun, pengkotbah merasa nyaman mengkritik keras lewat humor dan jemaat pun bisa menertawai kelemahan dan dosanya.

Kedua, humor melepaskan ketegangan (humor relieves tension). Dalam kotbah, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa argumen-argumen, data, statistik, kalimat retorika dan cerita bisa membuat tegang pendengar. Maka dengan memasukkan humor kita akan melepaskan ketegangan jemaat dalam mendengar kebenaran yang berat di telinga kita. Logika dan argumen telah memberatkan kotbah dan konsep-konsep menjadi suatu yang tidak menarik, apalagi itu berhubungan dengan masa lalu yaitu sejarah Israel. Humor akan membantu membawa kepada lepasnya ketegangan itu.

Ketiga, humor meningkatkan minat mendengar kotbah (Humor Heightens Interest). Bila konsep membosankan, apalagi pernyataan itu sudah sering atau berkali-kali didengar maka humor meningkatkan minat mendengar kalimat-kalimat yang disajikan berikutnya.

Keempat, humor menunjukkan kemanusiaan kita (Humor Shows Our Humanity). Humor juga menyatakan bahwa kita adalah manusia. Dengan mempertunjukkan sisi kelemahan manusia, justru membuat orang menyadari kekurangannya dan mencoba berubah menurut tuntunan Tuhan.

Kelima, humor mengekspresikan sukacita Tuhan (Humor Expresses the Joy of the Lord). Tidak ada kata sukacita kalau tidak ada ekspresi dalam wajah dan tubuh. Itu sebabnya Tuhan mau kita tertawa karena tertawa adalah cara mengekspresikan sukacita yang dari Tuhan.

Keenam, humor menciptakan hubungan antara pembicara dengan pendengarnya (Humor Establishes a Connection Between the Speaker and the Audience). Hubungan yang dimaksud adalah perhatian dari pendengar sehingga tercipta suatu relasi sebelum isi kotbah disampaikan. Humor bisa juga membuat kedekatan pengalaman antara pengkotbah dan jemaat.

Ketujuh, humor mendorong rasa kebersamaan (Humor Encourages a Sense of Community). Jemaat dan pengkotbah ada jarak saat dia berdiri di depan mimbar dan jemaat send iri juga terasing di tempat duduknya. Maka dengan humor di awal kotbah bisa menjadi pemecah kedinginan dalam suasana sehingga menjadi cair dan saat yang sama jemaat merasakan kebersamaan ketika tertawa.

Kedelapan, humor menuntun perhatian jemaat kepada kebenaran (Humor Draws Attention to the Truth). Bila dalam budaya Jawa khususnya dalam pewayangan dan sendratari, humor para punakawan (Bagong, Semar, dan lainnya) adalah sebenarnya cara untuk mengkritik pemimpin mereka (baca Raja), karena dalam humor ada kebenaran. Begitu pula dalam kotbah. Ketika seorang menyampaikan kebenaran lewat humor, maka jemaat akan tertawa lalu menyadari dosa dan kesalahan mereka dan menuntun mereka kepada kebenaran.

Kesembilan, humor adalah bahasa universal dari budaya kita (Humor Is One Language of Our Culture). Bila setiap budaya memiliki keunikan masing-masing, maka senyum dan tertawa adalah bahasa universal manusia.

Bila demikian, apa kriteria humor yang baik? Ada beberapa humor yang tidak diperbolehkan dalam kotbah. Pertama, ada humor yang merendahkan orang lain, menertawai kelemahan fisik seseorang, suku dan ras, kecacatan fisik seseorang. Kedua, ada juga humor yang mengarah kepada percakapan seks kotor atau istilah populernya bicara porno atau yang menyerempet ke arah itu. Ini dilarang oleh Firman Tuhan untuk berbicara hal-hal yang cabul (Ef 5:4). Ketiga, sangat tidak pantas menertawakan hal-hal yang suci seperti soal perjamuan kudus, baptisan, atau doktrin tentang Tritunggal, termasuk keilahian Kristus. Prinsipnya adalah jangan mempermainkan sesuatu yang dianggap suci dan serius oleh Tuhan.

Kriteria humor yang baik adalah spontan, menjadi diri sendiri di mana tidak meniru orang lain, akui bila humor itu agak berlebihan, buat kejutan dalam humor. Jangan paksakan humor. Lebih baik tidak pakai humor daripada memakai humor yang tidak lucu dan tidak bisa membuat orang tertawa. Humor berhasil bila selesai diceritakan jemaat tertawa.

Darimana mendapatkan bahan humor untuk kotbah? Jawaban yang paling klasik yang diberikan oleh dosen saya adalah membeli buku-buku ilustrasi dan humor. Untuk itu setiap kali menggunakan buku, harap disebutkan sumber darimana dia mendapatkannya. Tetapi kehidupan sehari-hari bisa dijadikan bahan humor. Ada banyak kejadian dalam hidup ini yang bisa ditertawakan. Begitu pula cerita sahabat dan berbagai sumber bisa didapatkan humor. Asalkan selalu diingat bahwa humor itu hanya alat penunjang kotbah dan bukan tujuan dari kotbah itu sendiri.

3 comments:

  1. Betul pak. Karena jika humor lebih banyak dari khotbah, maka biasanya yang diingat & diceritakan jemaat ketika pulang gereja adalah humornya saja.

    ReplyDelete
  2. mantap sekali pak. melihat kondisi sekarang kelihatannya orang lebih senang dengan pengkhotbah yang lebih banyak humornya dari pada Firman. saya kuatir justru humornya yang diingat Firmannya hilang.

    ReplyDelete
  3. Saya menyaksikan banyak remaja kristen mencari hamba Tuhan yang pintar membanyol ketika pergi ke gereja. Ini sebuah fenomena tersendiri di kalangan para jemaat jalan-jalan (tidak menetap pd gereja lokal).

    ReplyDelete