Saturday, January 2, 2010

Buku George Junus Aditjondro: Antara Percaya dan Tidak

By Daniel Ronda

Judul buku George Junus Aditjondro (GJA) saja sudah bombastis “Membongkar Guritas Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century.” Apakah ini terinspirasi dari sebuah tulisan yang ada di situs sbypresidenku: “Gurita Bisnis Kalla Bersaudara”? (lihat Kompas, “Menggambar Sepertinya Gurita Cikeas”, tanggal 29/12/2009, h. 5). Saya sendiri tidak tahu! Saya sendiri sudah mencoba mendapatkan buku ini, tidak dapat. Saya hanya dapat cuplikan-cuplikan kecil dari media internet dan koran lokal. Memang susah dievaluasi buku itu secara akademis bila belum membaca secara utuh.

Namun tanpa membaca buku, banyak yang sudah berkomentar di media baik pro-kontra. Karena judulnya memang menarik perhatian. Soal kebenaran atas isi? Banyak yang percaya, tetapi banyak juga yang tidak percaya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Masalahnya adalah kepercayaan (trust). Tingkat kepercayaan terbentuk bukan hanya dari sebuah pencitraan diri pemimpin yang baik, namun berhadapan langsung dengan kenyataan di lapangan yaitu di lapisan yang paling bawah sebuah masyarakat atau organisasi. Sekalipun pemimpin dikelilingi oleh pakar segala pakar, performance yang baik, dan berbagai teknik komunikasi massa yang baik, namun bila rakyat di tataran bawah untuk masuk rumah sakit yang gratis saja sulit, proses izin IMB pakai banyak pungutan, dapatkan SIM tetap pakai calo, damai kalau ditilang... ya, tentunya logika rakyat akan memakai analogi yang sama. Kalau pemerintahan di level bawah saja sudah seperti ini, pastilah yang di atas sama. Sami mawon, kata orang Jawa. Bilamana ada yang berupaya menggiring buku ini sebagai “sampah”, bagaimana bisa orang mau digiring untuk tidak mempercayai buku MGC ini? Analogi grassroot simpel, “Kalau di level akar rumput saja sudah merajalela, maka sulit orang bisa mempercayai di atas bersih.” Walaupun saya sendiri tidak mempercayai analogi ini seratus persen karena ada unsur kesesatan logika. Namun, siapa yang bisa menghentikan pemikiran?

Bagaimana menghadapi buku model seperti ini? Memang ada rasa percaya, ada juga tidak. Percaya, karena bangunan trust pemberantasan korupsi yang dibuat SBY masih sangat lemah. Tidak percaya, karena kelewat gamblang dan memadukan sumber-sumber yang berdiri sendiri. Apakah begitu mudahnya membuka diri untuk diserang dengan memasang nama pejabat di situs kalau mereka tidak memperhitungkannya? Yang hendak dicari rupanya adalah adanya missing link dari mana SBY begitu banyak mendapat dana waktu kampanye lalu? Makanya GJA mencoba mengaitkannya dengan apa yang dilihatnya di situs, jurnal, dan sumber-sumbernya dan dibuat buku yang heboh ini. Terus terang memang masih lemah argumennya, terutama bila melihat wawancara GJA di TV. Cuma, kajian akademis penting karena buku ini telah membuat heboh perpolitikan di negeri ini.

Pada konteks kepemimpinan, seorang pemimpin yang baik harus membangun kepercayan (trust) dalam kepemimpinan, dan itu harus teimplementasi dalam sebuah sistem dan sistem hukum yang jelas. Kalau sistem bagus dan penerapan hukum sampai ke lini bawah terimplementasi baik, maka jelas gosip apapun akan terlihat murahan. Namun gosip akan menjadi opini dan akhirnya “dianggap” kebenaran kalau bangunan trust di level bawah tidak ada.

Survei kepemimpinan menunjukkan bahwa etika dan visi kepemimpinan harus berjalan bersamaan. Dia laksana sebuah koin mata uang, yang diperlukan kedua sisinya. Visi kepemimpinan SBY dalam hal ini saya akui sudah sangat bagus. Menurut saya dia presiden yang baik yang pernah kita punyai soal kemana bangsa ini akan dibawa. Namun ada sisi etika yang harus dibangun untuk membangun kepercayaan. Tanpa itu orang tidak akan “membeli” visi pemimpin. Sisi etika yang dimaksud menyangkut kejujuran dan menjunjung nilai moral tinggi yang disertai dengan ketaatan kepada hukum.

Andaikata saya diberi peluang bicara dengan Bapak SBY, maka saya mengusulkan buat program anti-korupsi harus dibuat lebih sederhana yaitu dilakukan di level kabupaten, kecamatan dan keluarahan. Misalnya harus ada pengawasan terhadap pungli secara ketat dan tindakan hukum yang maksimal. Yang ada di tingkat bawah selama ini hanya jargon. Misal, memang kalau urus SIM di kantor polisi jelas di situ banyak tertulis tidak boleh pakai calo. Namun coba diteliti dengan baik-baik, apakah benar demikian? Saya tidak komentar, tetapi melihatnya sendiri. Ini hanya satu dari begitu banyak korupsi yang tidak pernah tersentuh. Rasa keadilan sangat terinjak-injak. Perlu dibuat “KPK-KPK” kecil di kota kabupaten. Fokus harus dua, yang korupsi besar ditindaki dan korupsi kecil yang langsung kena ke masyarakat juga penting ditindaki untuk membangun kepercayaan secara besar. Akhirnya, “Waste no more time arguing what a good man should be. Be one” (Marcus Aurelius).

No comments:

Post a Comment