Sunday, January 10, 2010

Pemimpin Hebat adalah Pembicara Hebat!

by Daniel Ronda

You cannot be a poor communicator and a good leader (Henry Blackaby).

Kepemimpinan dan berkomunikasi sesuatu yang tidak terpisahkan. Dan salah satunya adalah kemampuan public speaking, seperti ceramah, pidato, presentasi, dan komunikasi massa lainnya. Tetapi, mengapa ada yang pintar sekali berbicara di depan umum, tetapi ada juga kalau sedang bicara sangat membosankan? Padahal kita tahu orang tidak akan membeli kita punya ide kalau cara komunikasi kita sangat jelek.

Pidato pemimpin negara yang paling membosankan yang saya pernah dengar adalah mantan presiden Suharto. Dia hanya membaca. Namun ajaibnya, semua diam asyik mendengar (mungkin juga tidur barangkali ya?!). Kecuali saat dia bertemu dengan petani, terlihat sekali gairahnya dan semangatnya. Anehnya, saat saya masih SMA sudah bisa menikmati acara kelompencapir di TVRI, apalagi ada dialog dengan presiden Suharto. Pemimpin yang asyik didengar bicaranya adalah Jusuf Kalla dan seringkali dia tidak mengikuti teks yang sudah disiapkan. Selalu enak didengar kalau JK bicara. Presiden SBY yang paling lancar dan teratur jika berbicara di depan umum, namun kadang berputar-putar sehingga butuh konsentrasi khusus untuk memahami maksudnya. Pemimpin yang paling belepotan bicara di depan umum adalah Taufik Kiemas (suami Megawati). Mungkin saat ini dia sedang memperbaiki diri.

Masalah yang dihadapi adalah bukan pembicaranya yang tidak baik, mengingat dia sudah terangkat menjadi pemimpin. Namun pembicaraannya sering tidak dimengerti, kepanjangan, membosankan, tidak ada daya tarik, tema yang itu-itu saja. Yang justru dianggap menarik adalah pembicara yang memiliki latar belakang entertainer, sedangkan pembicara lainnya seperti kehilangan daya tariknya. Apalagi ceramah hanya berisi presentasi dari isi dengan gaya yang tidak menarik, berputar-putar, atau bertele-tele.

Menurut hemat saya, setidaknya ada beberapa penyebab mengapa pemimpin berbicara itu tidak menarik. Pertama, isi atau berita ceramah atau presentasi yang sangat miskin dan juga tidak akurat. Ini terjadi karena pembicara tidak menggunakan sumber yang tepat untuk menggali isi dari ceramahnya dan hanya memakai cara yang dangkal dalam memahami kebenaran yang hanya lewat pengalaman semata-mata yang diceritakan. Pendengar awam katakan, lebih banyak ceritanya daripada isi. Biasanya pembicara ini suka melucu dan melenceng dari tema, yang mana sebenarnya tidak jelek. Pembicara justru perlu punya “sense of humor”. Namun semuanya harus terukur dan tepat penggunaan humor itu yang harus disesuaikan dengan isi. Saya sering temukan pembicara agama bisa membuat pendengarnya tertawa dari awal sampai akhir, namun kalau ditanya pendengar apa isinya, sudah lupa. Ini karena memang tidak ada isi dan kalaupun ada sangat dangkal. Masalahnya, Tidak punya “big ideas” atau tidak ada apa gagasan besar yang ada dalam ceramah atau presentasinya?

Kedua, kajian isinya mendalam namun miskin aplikasi dan cerita praktis. Eksposisi pembicaraan yang digali sangat tidak jelas dengan cara memuja pemakaian istilah teknis, jargon bahasa tinggi, penuh dengan kutipan-kutipan para ahli dan gambaran abstrak dengan bahasa yang eksklusif dan ilmiah. Ini yang menyebabkan ceramah menjadi sangat membosankan tidak aplikatif bagi pendengar. Pendengar hanya diajak mengikuti mendengar bahasa yang tinggi yang dalam tanpa pernah menyadari pendengar membutuhkan aplikasi dan pentignya cerita untuk menjembatani konsep dan penerapan. Di sini pembicara miskin “how’-nya.

Ketiga, adalah faktor miskin cara dalam berkomunikasi atau miskin penyajian. Cara menyampaikan ceramah atau presentasi tidak koheren atau tidak beraturan sehingga pendengar sulit mengikuti apa yang menjadi tujuan dari ceramah. Harusnya ada tatanan yang baik yaitu mulai dari penjabaran tema, poin-poin yang menuju puncak, dan konklusi serta tantangan. Bila ini tidak beraturan bahkan keluar dari topik, pendengar akan menjadi bingung apa sebenarnya tema dan tujuan ceramah. Belum lagi faktor tidak menguasai teknik presentasi, intonasi, gerak tubuh, tatapan mata, dan semua yang berhubungan dengan teknis komunikasi massa. Ini bisa kita pelajari. Presentasi yang baik harus menyentuh level kognitif (kepala) yaitu level intelektualnya, juga level emosional, dan level spirit manusia.

Faktor waktu berceramah juga menyumbang kebosanan pendengar. Ada ceramah yang kepanjangan dalam menyampaikan gagasannya, bahkan berulang-ulang ditekankan sehingga pendengar menjadi bosan sekali. Daya tahan pendengar biasanya tidak lama. Sesekali bila ada pembicara tamu yang menarik mungkin pendengar bisa bertahan, namun tidak untuk selamanya. Jangan kita terobsesi menjadi pembicara yang bicaranya berkepanjangan. Dunia telah dipengaruhi “generasi MTv”, di mana generasi yang baru tidak bisa konsentrasi untuk waktu lama dengan tampilan yang monoton.

Jadi kesimpulan mengapa presentasi tidak menari, setidaknya ada tiga prinsip: 1. Isi yang miskin; 2. Miskin dalam penerapan dan aplikasi. 3. Komunikasi atau cara presentasi yang miskin.

Memperbaikinya bukan hal yang singkat. Menurut saya semua harus lewat suatu proses kehidupan. Menjadi pembicara adalah sebuah proses dan tidak ada pil ajaib yang dapat mengubah seorang pembicara langsung jadi. Ada proses waktu yang dijalani seorang pembicara. Ia perlu banyak melatih diri dan memiliki jam terbang ceramah yang banyak. Pembicara harus juga banyak belajar dan mengembangkan kompetensi dan produktivitas. Dia harus belajar memperdalam isi dari ceramahnya seusai bidangnya. Dan kita harus belajar menjembatani antara isi dan aplikasi lewat retorika, argumen, imajinasi, ilustrasi, dan sisi emosional diangkat.

Pembicara yang baik juga melakukan pemilihan kata yang tepat. Bill Hybels mengartikulasikannya dengan tepat: “The very best leaders I know wrestle with words until they are able to communicate their big ideas in a way that captures the imagination, catalyzes action, and lifts spirits (Bill Hybels, Axiom,17). Artinya, pemimpin hebat selalu bergumul dengan kata-kata sehingga mereka dapat mengkomunikasikan gagasan besar dengan memakai imajinasi, mengajak untuk melakukan yang disertai dengan mengangkat semangat dan jiwa pendengar. Kalau kita lihat pemimpin bangsa kita, Presiden SBY dalam hal ini patut dipuji karena dalam menyusun kalimat-kalimat yang dikatakan sempurna dan dia mulai menatap pendengar waktu bicara. Hanya perlu ada pendekatan yang lebih langsung dan kata-kata yang lebih sederhana serta mengangkat semangat bangsa. Prinsipnya “language matter” - bahasa itu penting!

Keterangan: sudah diposting di www.kompasiana.com/danielronda

No comments:

Post a Comment