Monday, January 18, 2010

Simplicity: Belajar dari Fransiskus Assisi

By Daniel Ronda

Salah satu disiplin yang perlu dimiliki pemimpin adalah memiliki falsafah hidup sederhana (simplicity). Hari-hari ini kita begitu mudahnya tergoda untuk menilai hidup kita dengan harta, gelar, dan semua status sosial, termasuk mimpi-mimpi yang ada di masyarakat. Dunia kita sudah memasuki era materialitistis dan konsumeristis, di mana pemujaan terhadap materi sudah masuk ke tahap pendewaan atau pemberhalaan. Dunia ini juga sudah menjadi begitu sensual, di mana semua acara TV, iklan, termasuk mayoritas musik menjual sensualitas tubuh perempuan. Belum pernah kita memasuki suatu era di mana sensualitas begitu menyeruak ke mana-mana sampai ke kamar-kamar pribadi, tentu asalkan kita punya internet.

Tetapi bertolak belakang sekali bila kita pergi ke desa atau kampung. Kita akan kagum betapa mereka memiliki kehidupan yang sangat “slow down” dan tidak “hurry up”, tidak ada ketergesa-gesaan. Hidup dengan simpel dan ada kebahagiaan tersirat di wajah mereka. Tiap hari adalah anugerah dan hidup dalam kesederhaan. Tidak ada kompleksitas kehidupan. Bila ke desa, saya selalu kagum dan rasanya harus belajar di mana pemimpin ditantang untuk menjadi simpel sebagaimana mereka yang hidup secara sederhana.

Namun itu tidak mudah, karena salah satu penyakit baru dari sebagian pemimpin adalah “celebrity mentality ” atau mental selebritis. Semua kesuksesan dan cepat menjadi terkenal telah menjadi tujuan hidup, dan cara apa saja dipakai untuk mencapainya. Tidak heran, mereka bekerja dengan keras, berani mengorbankan segalanya dengan harapan mencapai sukses secara instan. Hidup kemudian menjadi sangat kompleks dan penuh ketergesa-gesaan. Tidak heran banyak pemimpin hidup dalam kekosongan, kekeringan, “burn out”.

Ada contoh yang menarik yang perlu para pemimpin baru patut teladani yaitu Francis de Assisi (atau Fransiskus dari Assisi). Dia adalah seorang pemimpin agama Katolik yang merayakan hidup sederhana dan kemiskinan sebagai filosofisnya. Walaupun saya bukan orang Katolik, namun kepemimpinannya menginspirasikan bahwa pemimpin yang baik harus memiliki filosofi hidup sederhana (simplicity).

Dia adalah salah satu contoh paling yang terbaik bagaimana pemimpin memiliki filosofi yaitu memilih hidup sederhana. Ayahnya bernama Pietro, seorang Italia yang kaya raya, seorang pengusaha pakaian. Dia mengajarkan anaknya Francis yang sejak remaja dan anggota keluarga lainnya untuk menjadi pengusaha. Namun pada usia yang kedua puluh dia mulai merasakan betapa repotnya hidupnya sebagai orang kaya, yang terlalu berdikus kepada kekayaan dan status.

Suatu kali dia pergi mengambil kain mahal dari tokonya dan kemudian membawa ke pasar dan menjualnya. Lalu ia juga menjual kuda yang biasa dipakainya. Dan yang membuat ayahnya marah adalah semua hasil penjualan kain mahal dan kudanya diberikan kepada orang miskin. Dan yang lebih membuat ayahnya tambah marah adalah bahwa sebulan kemudian dia didapati sedang berjalan di Jalan Assisi sedang meminta-minta sebagai pengemis. Ia menjadi pengemis dengan minta makanan dan juga menjadi badut. Ayahnya kemudian menariknya pulang, memukulinya sesampai di rumah, dan menguncinya di gudang gelap, dan memberi makan dan minum terbatas sampai dia akan sadar. Tetapi ternyata hukuman ini tidak mempan, di mana Francis tetap tidak mau minta maaf. Akhirnya, dalam keputusasaan dia memanggail pastor setempat untuk membimbing anaknya.

Sang pastor menasihatinya bahwa mencuri itu tidak baik, apalagi diambil dari keluarga sendiri, dan tetap tidak baik sekalipun diberikan kepada orang miskin. Dan pastor minta supaya barang yang telah diambil untuk dikembalikan. Dia hanya bisa menggeleng tetapi tidak mengatakan satu apapun. Lalu dia masuk ruangan sementara pastor dan ayahnya menunggu.

Lalu Francis muncul kembali dalam keadaan sudah telanjang. Dia bawa semua pakaiannya, lalu berlutut dan menaruhkan pakaiannya di kaki ayahnya. Lalu kemudian dia berkata, dari dulu sampai saat ini saya menyebut engkau Bapak Pietro di Benardone. Tetapi mulai saat ini saya tidak akan menyebut engkau Bapak Pietro di Benardone, tetapi bapak saya adalah “Bapa kami yang di surga”.

Pastor sangat tersentuh hatinya sehingga dia mengejar Francis yang berjalan keluar, lalu menutupi badannya dengan bajunya sendiri. Sejak saat itu Francis tidak lagi mau menikmati status, kekayaan, semua kesenangan yang dimiliki ayahnya. Dia memutuskan untuk hidup secara sederhana sepanjang hidupnya.

Saat ini dia dikenal sebagai tokoh suci umat Katolik dan pendiri ordo Fransiskan yang berfokus kepada hidup sederhana dan melayani orang miskin secara inklusif, yaitu kepada semua manusia tanpa memandang dari agama mana. Sebagai orang non-Katolik, saya pribadi terkesan dengan komitmennya untuk hidup sederhana dan memiskinkan diri dan menjalankan misi untuk melayani orang miskin. Suatu yang jarang terpikirkan oleh pemimpin. Poin utama yang ingin saya ambil adalah komitmennya untuk hidup sederhana.

Mungkin ini contoh radikal, tetapi pelajarannya jelas bahwa penting untuk tidak memfokuskan kepada pemilikan materi. Tujuan hidup harus jelas bukan kepada materi atau kebendaan. Fokus adalah kepada kebahagiaan diri, keluarga dan sesama. Itu tercapai bila kita mau memiliki falsafah hidup serdehana. Kehidupan yang ditunjukkan dengan berbagi dan memperhatikan si miskin, bergaul dengan orang yang menderita dan termajinalisasi. Di sini kita akan menghargai hidup dan kita akan bahagia dengan hidup apa adanya.

No comments:

Post a Comment