Wednesday, January 20, 2010

Jangan Ganggu SBY: Seni Menghadapi Kritik

By Daniel Ronda

Saya sering mendapat info kalau lagi santai duduk dengan teman-teman dan entah dari mana dapat info teman menceritakan tentang kemungkinan adanya pemakzulan SBY dan kemungkinan untuk menggantikannya. Ini akibat skandal Century, katanya. Entah ini benar atau tidak, tetapi saya adalah orang yang tidak setuju dengan pandangan ini. Bagi saya biarkan SBY menyelesaikan tugas kepresidenannya. Itu penting untuk bangsa ini.

Memang masalah kepemimpinan adalah sudah menjadi urusan semua orang (a leadership is a people business). Dari mulai elit politik di Jakarta dan daerah, para pengusaha, pelajar dan mahasiswa, ibu rumah tangga dan sampai buruh serta tukang becak, semuanya kalau lagi santai atau ada kesempatan pasti memberikan penilaian kepada pemimpinnya. Kebanyakan yang dibahas bukan prestasinya, tetapi kelemahannya. Ada juga ada yang memberi opini, walaupun tidak tahu seluruhnya dan mungkin hanya mendengar gosip, atau mendengar sepotong-potong dari media, bahkan ada yang tidak jujur dalam menilai pemimpinnya. Tidak peduli benar atau tidak, yang penting mengkritik enak di telinga. Dan seringkali kebanyakan orang yang suka mengkritik merasa pemimpinnya salah dan dialah yang paling benar dan paling mampu memperbaikinya.

Umumnya yang dikritik dari pemimpin adalah motif dari pemimpin dan menebak apa arti keputusannya. Jadi setiap mengambil keputusan, pasti dikritik motifnya dan juga umumnya menebak-nebak apa makna keputusan itu dengan kecurigaan. Misalnya, apakah motifnya dalam keputusan yang dikeluarkan akan menguntungkan dirinya, keluarganya, atau kelompoknya. Selalu diupayakan ada kaitannya walaupun dipaksakan logikanya. Jadi amat mustahil bagi pemimpin untuk tidak dikritik apapun keputusannya.

Lebih lanjut lagi, pemimpin mulai dikritik secara tidak adil (fair) dan banyak kemudian pengritik mulai memberikan kritik secara keras bahkan merendahkan (abuse) pemimpin dengan kata-katanya. Ini sering terlihat betapa kasarnya omongan seorang pengamat terhadap pemimpinnya dan bahkan belum mendapat data akurat sudah berani memberikan kesimpulan. Urusan resiko dan kebenaran adalah belakangan, yang penting dilempar dulu kritiknya.

Pada sisi lain, banyak kali pemimpin menyerah dengan kritikan ini dan mulai meladeni kritikan itu. Mungkin karena hatinya sudah mulai dikeraskan, maka sikapnya berubah dari lembut menjadi skeptis dan sinis. Masalahnya adalah bila pemimpin mulai fokus kepada meladeni persoalan, maka perhatian masyarakat mulai juga terbawa dengan masalah ini. Akhirnya perhatian ini menyita waktu karena ada saling kirim kritik dan membela diri dan seterusnya. Ketika masyarakat mulai fokus kepada sisi negatif kepemimpinan, maka pemimpin pun mulai kehilangan semangat dan optimisme yang ada pada dirinya. Dan ketika pemimpin mengkritik orang lain dan lawan politiknya, maka pemimpin itu sendiri mulai memberi contoh bagi masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Akan ada spirit untuk mengkiritk di masyarakat karena pemimpinnya juga memberi contoh mengkritik. Ingat prinsip praktik kepemimpinan “modeling the way”-nya Kouzes dan Posner. Dan ketika pemimpin mulai kehilangan kepercayaan terhadap elit kepemimpinan di sekitarnya, maka potensi kepemimpinan bangsa akan mengalami stagnasi. Ini kesalahan pemimpin karena terlalu termakan kritik. Itu sebabnya suatu prinsip kepemimpinan adalah untuk tidak terjebak meresponi mereka yang punya semangat mengkiritik saja yaitu mereka yang tidak jujur dengan prinsip kritik itu sendiri. Di mana kritik itu seharusnya diarahkan kepada program pemimpin bukan kepada pemimpin secara personal.

Pemimpin besar seharusnya berfokus kepada hal-hal positif dari bangsa dan memberikan harapan kepada bangsa ini yang sedang mengalami banyak masalah, terutama kemiskinan dan ketidakadilan. Pemimpin tidak boleh berfokus kepada hal-hal negatif. Yang ditakutkan bila pemimpin menyerah kepada kritikan, pemimpin akan mulai melihat masa depan kepemimpinannya menjadi gelap. Dan pemimpin sendiri mulai sinis apakah saya bisa selesaikan masa kepemimpinannya. Apalagi kemudian terjadi “pengkhianatan-pengkhianatan” dari koalisi yang sudah dibentuknya, maka pemimpin mulai meragukan integritas dan kejujurannya orang-orang di sekitarnya. Ketika ada serangan bertubi-tubi di sektor moneter misalnya, seperti yang terjadi saat ini, maka pemimpin yang termakan kritik akan tidak berani mengambil keputusan lagi bila ada krisis global lagi. Ini yang menakutkan bagi saya, bila pemimpin mulai termakan kritik yang tiada henti. Yang ditakutkan lagi, ungkapan bahasa Indonesia “guru adalah pengalaman terbaik” justru pengalaman pahit dikritik menghasilkan pemimpin sinis.

Itu sebabnya pemimpin harus segera mengoreksi sikap dalam meladeni kritik. Daripada terjebak membalas dengan sikap defensif dan membela diri, maka fokus kepada hal-hal yang harus segera dikerjakan. Jangan sampai pemimpin teracuni sehingga menjadi tidak efektif memimpin bahkan menghadapi masalah kesehatan seperti insomnia dan penyakit lainnya. Pemimpin besar mesti menjaga sikapnya terhadap berbagai terpaan kritik. Terlalu banyak alasan bagi pemimpin bangsa ini untuk terus bersikap positif dan membagikan harapan yang optimis bagi masa depan bangsa Indonesia. Pemimpin sudah dipilih oleh rakyat selalu ingat juga prinsip “vox populi vox dei” dan jangan diplesetkan dalam sebuah T-Shirt menjadi “fox populi, fox idiotum”, di mana rakyat dianggap sebagai sekumpulan orang idiot! Maju terus bung!

No comments:

Post a Comment