Wednesday, January 27, 2010

Haruskah SBY Defensif Terhadap Kritik


By Daniel Ronda

Boleh dikatakan hampir setiap hari di media kita membaca dan menonton bagaimana presiden SBY dikritik dan dijadikan bulan-bulanan kritik. Tidak ada satupun ucapan dan tindakan presiden yang lolos dari kritikan pengamat, ahli, mahasiswa, dan elemen lainnya. Apapun yang dilakukan presiden tidak akan luput dari kritik. Tidak ada hari tanpa demo. Istilah kasarnya, "Tolol betul presiden kami". Ibu saya pun sempat berkata, “Apa tidak capek ya itu mahasiswa?, Kapan dia belajar?” Sampai-sampai sopir dan tukang becak pun jenuh melihat demo dan kritikan di jalan-jalan yang membuat mereka semakin susah cari hidup.

Secara emosional orang yang sehat secara mental pun tidak akan menikmati serangan berupa kritik. Dan harus jujur dikatakan bahwa kata-kata kritik saat ini jauh lebih menyengat dan pedas, dibandingkan pada waktu kepemimpinan dulu era Suharto. Jika dulu di zaman Orba masih memakai sindiran dan karikatur, maka sekarang sudah langsung menyerang dan menyebut kesalahannya secara menyengat. Saya percaya dengan ucapan mentor saya yang mengatakan semakin besar dan tinggi tanggung jawab yang diberikan, maka semakin besar pula kita akan menjadi target serangan. Bahkan ada pepatah Melayu yang mengatakan, “semakin tinggi seekor monyet naik ke pohon, semakin kelihatan pantatnya yang jelek.” Artinya, memang pemimpin sudah ditakdirkan untuk dikritik dan kelemahan-kelemahan pemimpin semakin tampak bila dia di atas. Dan pada saat seperti ini, kita membutuhkan nasehat-nasehat.

Seorang bijak mengingatkan, bila dikaji kritik lebih dalam lagi maka sebenarnya jauh di dalam kritik itu selalu ada mutiara kebenaran di dalamnya. Jadi daripada fokuskan energi kepada bagaimana menghadapi kritikan dan bagaimana memberikan perlawanan atau serangan balik terhadap kritik, sebaiknya pemimpin memfokuskan energi kepada apa mutiara yang ada di balik kritik itu. Orang bijak ini mengingatkan bahwa kita akan bisa bertumbuh di dalam kritik dan tidak ada gunanya bersikap defensif terhadap kritik. Apalagi kemudian bila pengkritik itu ditanggapi, malahan menarik orang untuk terus melakukan serangan yang tiada henti.

Prinsip yang penting adalah terus bertahan untuk mempelajari apa mutiara kebenaran dari kritikan itu.  Dan kritik itu akan semakin berkurang bila kita terus belajar untuk hidup lurus, lebih reflektif dalam menerima kritik, mampu menahan diri, dan mempertunjukkan kebijakan sebagai pemimpin.
Teknik mencari mutiara dalam kritik ini adalah pelajaran yang paling berat dalam kepemimpinan, karena adanya masalah memori masa lalu, ego, kecurigaan motif dan kompleksitas lainnya yang ada pada diri pemimpin dan konteksnya. Ini pelajaran yang paling sukar bagi “pelajaran kepemimpinan”. Tetapi ini adalah disiplin ilmu yang biasa dipelajari dan dikuasai oleh seorang pemimpin.

Contoh praktis, setiap pagi di koran dan TV pasti saja ada berita dan kritik yang muncul. Dan selalu saja dimasukkan kritik-kritik yang tajam, pedas,  dan menyengat bagi telinga pemimpin.  Di sini pemimpin pertama-tama harus belajar menahan diri untuk tidak menelpon pemimpin perusahaan koran atau pemilik stasiun TV yang mengkritik dengan pedas. Tahan diri secara emosional. Lalu belajar untuk merenungkan mutiara apa yang ada di balik kritik itu! Ini perlu latihan.

Kemudian, bila kritik itu terus dan tiada ada jedanya, maka pemimpin yang baik akan mengudang orang-orang kunci dalam kepemimpinannya untuk mendiskusikan kritik yang bermunculan di media. Kita harus tegas mengatakan bahwa seringkali media bias dan kerap kali tidak menunggu keseimbangan berita. Yang penting luncurkan berita dulu, entah benar atau tidak, sehingga terjadi kontroversi, dan setelah itu baru dibuatkan hak jawab. Jadi seperti drama sinetron berkelanjutan di mana ada perang pernyataan. Media pasti sangat senang dengan hal ini.  Memang inilah keanehan media era baru yang perlu dicermati pemimpin. Siapapun bisa jadi korban kontroversi ini.  Walaupun media tidak terlalu benar, setidaknya dalam diskusi antar pemimpin kunci itu kritik selalu dibahas, yaitu pelajaran  apa yang bisa diambil dari kritik ini.  Mungkin dalam diskusi itu kita akan berkata, berita ini tidak benar, tetapi ada porsi di mana berita itu ada benarnya. Inilah tugas pemimpin untuk menemukan dan mendiskusikannya. Diskusi seperti ini akan menyembuhkan secara emosional hati pemimpin dan kepemimpinan secara kolektif. Dan bila terus ini dilakukan maka bangsa ini akan menikmati ketenangan, rasa aman dan bangkit maju karena ada energi kata-kata yang membangun dari pemimpinnya.


Sudah bukan waktunya menanggapi dan melawan kritik, tetapi menjadikan kritik sebagai bahan diskusi dan mengolahnya  untuk menemukan kebenaran yang akan memperbaiki keadaan bangsa ini.
Ini merupakan seri kedua: Seni Pemimpin Menghadapi Kritik (2)

Wednesday, January 20, 2010

Jangan Ganggu SBY: Seni Menghadapi Kritik

By Daniel Ronda

Saya sering mendapat info kalau lagi santai duduk dengan teman-teman dan entah dari mana dapat info teman menceritakan tentang kemungkinan adanya pemakzulan SBY dan kemungkinan untuk menggantikannya. Ini akibat skandal Century, katanya. Entah ini benar atau tidak, tetapi saya adalah orang yang tidak setuju dengan pandangan ini. Bagi saya biarkan SBY menyelesaikan tugas kepresidenannya. Itu penting untuk bangsa ini.

Memang masalah kepemimpinan adalah sudah menjadi urusan semua orang (a leadership is a people business). Dari mulai elit politik di Jakarta dan daerah, para pengusaha, pelajar dan mahasiswa, ibu rumah tangga dan sampai buruh serta tukang becak, semuanya kalau lagi santai atau ada kesempatan pasti memberikan penilaian kepada pemimpinnya. Kebanyakan yang dibahas bukan prestasinya, tetapi kelemahannya. Ada juga ada yang memberi opini, walaupun tidak tahu seluruhnya dan mungkin hanya mendengar gosip, atau mendengar sepotong-potong dari media, bahkan ada yang tidak jujur dalam menilai pemimpinnya. Tidak peduli benar atau tidak, yang penting mengkritik enak di telinga. Dan seringkali kebanyakan orang yang suka mengkritik merasa pemimpinnya salah dan dialah yang paling benar dan paling mampu memperbaikinya.

Umumnya yang dikritik dari pemimpin adalah motif dari pemimpin dan menebak apa arti keputusannya. Jadi setiap mengambil keputusan, pasti dikritik motifnya dan juga umumnya menebak-nebak apa makna keputusan itu dengan kecurigaan. Misalnya, apakah motifnya dalam keputusan yang dikeluarkan akan menguntungkan dirinya, keluarganya, atau kelompoknya. Selalu diupayakan ada kaitannya walaupun dipaksakan logikanya. Jadi amat mustahil bagi pemimpin untuk tidak dikritik apapun keputusannya.

Lebih lanjut lagi, pemimpin mulai dikritik secara tidak adil (fair) dan banyak kemudian pengritik mulai memberikan kritik secara keras bahkan merendahkan (abuse) pemimpin dengan kata-katanya. Ini sering terlihat betapa kasarnya omongan seorang pengamat terhadap pemimpinnya dan bahkan belum mendapat data akurat sudah berani memberikan kesimpulan. Urusan resiko dan kebenaran adalah belakangan, yang penting dilempar dulu kritiknya.

Pada sisi lain, banyak kali pemimpin menyerah dengan kritikan ini dan mulai meladeni kritikan itu. Mungkin karena hatinya sudah mulai dikeraskan, maka sikapnya berubah dari lembut menjadi skeptis dan sinis. Masalahnya adalah bila pemimpin mulai fokus kepada meladeni persoalan, maka perhatian masyarakat mulai juga terbawa dengan masalah ini. Akhirnya perhatian ini menyita waktu karena ada saling kirim kritik dan membela diri dan seterusnya. Ketika masyarakat mulai fokus kepada sisi negatif kepemimpinan, maka pemimpin pun mulai kehilangan semangat dan optimisme yang ada pada dirinya. Dan ketika pemimpin mengkritik orang lain dan lawan politiknya, maka pemimpin itu sendiri mulai memberi contoh bagi masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Akan ada spirit untuk mengkiritk di masyarakat karena pemimpinnya juga memberi contoh mengkritik. Ingat prinsip praktik kepemimpinan “modeling the way”-nya Kouzes dan Posner. Dan ketika pemimpin mulai kehilangan kepercayaan terhadap elit kepemimpinan di sekitarnya, maka potensi kepemimpinan bangsa akan mengalami stagnasi. Ini kesalahan pemimpin karena terlalu termakan kritik. Itu sebabnya suatu prinsip kepemimpinan adalah untuk tidak terjebak meresponi mereka yang punya semangat mengkiritik saja yaitu mereka yang tidak jujur dengan prinsip kritik itu sendiri. Di mana kritik itu seharusnya diarahkan kepada program pemimpin bukan kepada pemimpin secara personal.

Pemimpin besar seharusnya berfokus kepada hal-hal positif dari bangsa dan memberikan harapan kepada bangsa ini yang sedang mengalami banyak masalah, terutama kemiskinan dan ketidakadilan. Pemimpin tidak boleh berfokus kepada hal-hal negatif. Yang ditakutkan bila pemimpin menyerah kepada kritikan, pemimpin akan mulai melihat masa depan kepemimpinannya menjadi gelap. Dan pemimpin sendiri mulai sinis apakah saya bisa selesaikan masa kepemimpinannya. Apalagi kemudian terjadi “pengkhianatan-pengkhianatan” dari koalisi yang sudah dibentuknya, maka pemimpin mulai meragukan integritas dan kejujurannya orang-orang di sekitarnya. Ketika ada serangan bertubi-tubi di sektor moneter misalnya, seperti yang terjadi saat ini, maka pemimpin yang termakan kritik akan tidak berani mengambil keputusan lagi bila ada krisis global lagi. Ini yang menakutkan bagi saya, bila pemimpin mulai termakan kritik yang tiada henti. Yang ditakutkan lagi, ungkapan bahasa Indonesia “guru adalah pengalaman terbaik” justru pengalaman pahit dikritik menghasilkan pemimpin sinis.

Itu sebabnya pemimpin harus segera mengoreksi sikap dalam meladeni kritik. Daripada terjebak membalas dengan sikap defensif dan membela diri, maka fokus kepada hal-hal yang harus segera dikerjakan. Jangan sampai pemimpin teracuni sehingga menjadi tidak efektif memimpin bahkan menghadapi masalah kesehatan seperti insomnia dan penyakit lainnya. Pemimpin besar mesti menjaga sikapnya terhadap berbagai terpaan kritik. Terlalu banyak alasan bagi pemimpin bangsa ini untuk terus bersikap positif dan membagikan harapan yang optimis bagi masa depan bangsa Indonesia. Pemimpin sudah dipilih oleh rakyat selalu ingat juga prinsip “vox populi vox dei” dan jangan diplesetkan dalam sebuah T-Shirt menjadi “fox populi, fox idiotum”, di mana rakyat dianggap sebagai sekumpulan orang idiot! Maju terus bung!

Tuesday, January 19, 2010

PENGUMUMAN

Ada perubahan sedikit alamat STT Jaffray. STT Jaffray tidak akan memakai alamat P.O. Box 1054 lagi. Alamat yang lengkap dari STT Jaffray tetap, tetapi tanpa PO Box:


Jl. G. Merapi No. 103

Makassar, 90114 Sulawesi Selatan

Indonesia

Terima kasih atas perhatiannya.

Monday, January 18, 2010

Membangun Wibawa Kepemimpinan

By Daniel Ronda

Catatan: Artikel ini saya pernah bawakan dalam bentuk kuliah di Radio RRI Makassar, tanggal 18 Januari 2010, pukul 10.00-11.00. Kuliah ini diselenggarakan oleh Kopertis Wilayah IX Sulawesi.

Mengapa Boediono dan mantan presiden JK diperlakukan “beda” di kasus panitia angket Century? JK dipanggil Bapak dan ada rasa hormat dengan beliau, kalaupun ada yang panggil dengan sebutan daerah, pasti tidak bermaksud menghina, walau aneh terdengar di telinga. Sedangkan wapres kita kok sepertinya tidak dihargai? Dan sepertinya dicecar banyak sekali pertanyaan dan rasa bahasa yang terbaca di TV, sepertinya Pak Boediono “dibantai” oleh DPR. Begitu pula perlakuan terhadap Sri Mulyani dan pejabat lainnya.

Pertanyaan ini saya tidak jawab secara politik, karena memang bukan bidang saya. Saya hanya memfokuskan kepada wibawa. Refleksi kepemimpinan yang muncul waktu melihat tayangan Pansus Century DPR adalah darimana pemimpin mendapat wibawa? Banyak juga yang menyebutkan wibawa dengan istilah lain seperti kharisma, pengaruh, dan otoritas.

Tentu, ada banyak definisi kepemimpinan, ada ratusan. Namun salah satu definisi John Maxwell mendefinisikan kepemimpinan sebagai pengaruh (leaderhsip is influence). Tetapi dari mana datang kekuatan untuk bisa mempengaruhi orang lain? Banyak teori kepemimpinan mengkaji akan hal ini. Saya hanya mengambil salah satu teori, di mana ada lima level pemimpin mendapatkan wibawanya. Maxwell menyebut tentang adanya lima level kepemimpinan (lihat Developing the Leader Within You)

Pertama, wibawa datang dari posisi yang diterimanya (leadership by position). Posisi ini bisa berupa penempatan atau pemberian jabatan dari pimpinan atau terpilih menjadi anggota Dewan, dan seterusnya. Posisi ini juga didapat karena pendidikan yang diterimanya atau keahlian kerja yang telah dimilikinya. Jadi posisi seseorang dapat membuat dia memiliki wibawa. Namun ini baru wibawa awal, karena banyak juga bawahan dan komunitas menentang posisi kita. Mereka tidak bersedia dipimpin kalau tidak kompeten. Jadi wibawa karena posisi masih lemah atau lebih tepatnya baru awal dari wibawa. Contohnya, perilaku anggota DPR menunjukkan bahwa posisi Sri Mulyani dan posisi Boediono, serta berbagai pejabat yang datang ke DPR tidak menakutkan mereka, bahkan kadangkala berlaku, maaf, sangat tidak sopan.

Kedua, wibawa diperoleh karena bawahan atau pengikut dari satu organisasi mau dipimpin atau memilih saudara sebagai pemimpin (leadership by permission). Itu didapat lewat relasi yang baik antara pemimpin dengan rekan-rekannya, karyawannya atau masyarakat yang memilihnya bila dia anggota Dewan. Ketika pengikut merasa bahwa kita adalah orang yang tepat di posisi itu dan mereka mau bekerja untuk kita, maka itulah yang menghasilkan wibawa. Pada level ini pemimpin diharapkan mengembangkan relasi dan kehumasan dengan baik. Bentuk pecitraan diri juga baik, namun kemampuan berelasi jauh akan menambah wibawa pemimpin. Namun ini masih belum cukup hanya karena bawahan mulai menerima kepemimpinan.

Ketiga, wibawa akan meningkat karena ada hasil yang terlihat setelah seseorang memegang posisi yang diberikan (leadership by production). Misalnya kalau ditempatkan menjadi pimpinan dalam penjualan, maka hasil penjualan meningkat, omset bertambah, mutu bertambah baik dan ada hasil lainnya, maka wibawa akan meningkat. Umumnya pemimpin yang sukses memimpin dengan menunjukkan hasilnya akan diundang ke berbagai acara untuk menceritakan keberhasilannya, apalagi disertai dengan liputan media yang besar. People are driven by success, begitu kata pepatah. Jadi wibawa didapat ketika seseorang diakui keberhasilan dan pencapaiannya.

Keempat, pemimpin mendapat wibawa dengan orang-orang yang dikembangkannya (leadership by people developpment). Kepemimpinan itu sejalan dengan waktu, dan wibawa akan terus bertambah jika pemimpin berhasil mengembangkan orang lain di bawahnya untuk menjadi pemimpin sesuai dengan bakatnya.

Kelima, wibawa pemimpin didapat karena pengembangan dirinya lewat integritasnya (leadership by personhood). Sejalan dengan waktu maka pemimpin harus terus memelihara karakternya, relasinya, dan integritasnya. Pada awalnya mungkin semua prinsip etika dan moral masih dalam bentuk pencarian, namun akhirnya semua itu akan nampak lewat kepribadiannya sendiri yang otentik, bukan dalam bentuk slogan lagi. Dan ini membuat orang memiliki kharismanya dan akan terus bersinar. Proses ini adalah proses yang panjang dalam kehidupan pemimpin dan tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Robert Clinton menyebut sebagai proses seumur hidup di dalam “university of life”.

Bila kita telah memahami lima level kepemimpinan ini, maka setiap kita harus memberikan refleksi pribadi. Pertama, kita harus memaksimalkan potensi yang ada pada kita sehingga menjadi kompetensi. Kedua, kita harus memiliki kemampuan menjalin relasi dengan sesama karena kepemimpinan adalah relasi. Ketiga, kita harus memiliki karakter yang baik, budi pekerti luhur dalam kata dan perbuatan.

Apakah ada sumbangan blogger lainnya soal wibawa kepemimpinan? Mohon sumbang saran. Thanks in advance!

Simplicity: Belajar dari Fransiskus Assisi

By Daniel Ronda

Salah satu disiplin yang perlu dimiliki pemimpin adalah memiliki falsafah hidup sederhana (simplicity). Hari-hari ini kita begitu mudahnya tergoda untuk menilai hidup kita dengan harta, gelar, dan semua status sosial, termasuk mimpi-mimpi yang ada di masyarakat. Dunia kita sudah memasuki era materialitistis dan konsumeristis, di mana pemujaan terhadap materi sudah masuk ke tahap pendewaan atau pemberhalaan. Dunia ini juga sudah menjadi begitu sensual, di mana semua acara TV, iklan, termasuk mayoritas musik menjual sensualitas tubuh perempuan. Belum pernah kita memasuki suatu era di mana sensualitas begitu menyeruak ke mana-mana sampai ke kamar-kamar pribadi, tentu asalkan kita punya internet.

Tetapi bertolak belakang sekali bila kita pergi ke desa atau kampung. Kita akan kagum betapa mereka memiliki kehidupan yang sangat “slow down” dan tidak “hurry up”, tidak ada ketergesa-gesaan. Hidup dengan simpel dan ada kebahagiaan tersirat di wajah mereka. Tiap hari adalah anugerah dan hidup dalam kesederhaan. Tidak ada kompleksitas kehidupan. Bila ke desa, saya selalu kagum dan rasanya harus belajar di mana pemimpin ditantang untuk menjadi simpel sebagaimana mereka yang hidup secara sederhana.

Namun itu tidak mudah, karena salah satu penyakit baru dari sebagian pemimpin adalah “celebrity mentality ” atau mental selebritis. Semua kesuksesan dan cepat menjadi terkenal telah menjadi tujuan hidup, dan cara apa saja dipakai untuk mencapainya. Tidak heran, mereka bekerja dengan keras, berani mengorbankan segalanya dengan harapan mencapai sukses secara instan. Hidup kemudian menjadi sangat kompleks dan penuh ketergesa-gesaan. Tidak heran banyak pemimpin hidup dalam kekosongan, kekeringan, “burn out”.

Ada contoh yang menarik yang perlu para pemimpin baru patut teladani yaitu Francis de Assisi (atau Fransiskus dari Assisi). Dia adalah seorang pemimpin agama Katolik yang merayakan hidup sederhana dan kemiskinan sebagai filosofisnya. Walaupun saya bukan orang Katolik, namun kepemimpinannya menginspirasikan bahwa pemimpin yang baik harus memiliki filosofi hidup sederhana (simplicity).

Dia adalah salah satu contoh paling yang terbaik bagaimana pemimpin memiliki filosofi yaitu memilih hidup sederhana. Ayahnya bernama Pietro, seorang Italia yang kaya raya, seorang pengusaha pakaian. Dia mengajarkan anaknya Francis yang sejak remaja dan anggota keluarga lainnya untuk menjadi pengusaha. Namun pada usia yang kedua puluh dia mulai merasakan betapa repotnya hidupnya sebagai orang kaya, yang terlalu berdikus kepada kekayaan dan status.

Suatu kali dia pergi mengambil kain mahal dari tokonya dan kemudian membawa ke pasar dan menjualnya. Lalu ia juga menjual kuda yang biasa dipakainya. Dan yang membuat ayahnya marah adalah semua hasil penjualan kain mahal dan kudanya diberikan kepada orang miskin. Dan yang lebih membuat ayahnya tambah marah adalah bahwa sebulan kemudian dia didapati sedang berjalan di Jalan Assisi sedang meminta-minta sebagai pengemis. Ia menjadi pengemis dengan minta makanan dan juga menjadi badut. Ayahnya kemudian menariknya pulang, memukulinya sesampai di rumah, dan menguncinya di gudang gelap, dan memberi makan dan minum terbatas sampai dia akan sadar. Tetapi ternyata hukuman ini tidak mempan, di mana Francis tetap tidak mau minta maaf. Akhirnya, dalam keputusasaan dia memanggail pastor setempat untuk membimbing anaknya.

Sang pastor menasihatinya bahwa mencuri itu tidak baik, apalagi diambil dari keluarga sendiri, dan tetap tidak baik sekalipun diberikan kepada orang miskin. Dan pastor minta supaya barang yang telah diambil untuk dikembalikan. Dia hanya bisa menggeleng tetapi tidak mengatakan satu apapun. Lalu dia masuk ruangan sementara pastor dan ayahnya menunggu.

Lalu Francis muncul kembali dalam keadaan sudah telanjang. Dia bawa semua pakaiannya, lalu berlutut dan menaruhkan pakaiannya di kaki ayahnya. Lalu kemudian dia berkata, dari dulu sampai saat ini saya menyebut engkau Bapak Pietro di Benardone. Tetapi mulai saat ini saya tidak akan menyebut engkau Bapak Pietro di Benardone, tetapi bapak saya adalah “Bapa kami yang di surga”.

Pastor sangat tersentuh hatinya sehingga dia mengejar Francis yang berjalan keluar, lalu menutupi badannya dengan bajunya sendiri. Sejak saat itu Francis tidak lagi mau menikmati status, kekayaan, semua kesenangan yang dimiliki ayahnya. Dia memutuskan untuk hidup secara sederhana sepanjang hidupnya.

Saat ini dia dikenal sebagai tokoh suci umat Katolik dan pendiri ordo Fransiskan yang berfokus kepada hidup sederhana dan melayani orang miskin secara inklusif, yaitu kepada semua manusia tanpa memandang dari agama mana. Sebagai orang non-Katolik, saya pribadi terkesan dengan komitmennya untuk hidup sederhana dan memiskinkan diri dan menjalankan misi untuk melayani orang miskin. Suatu yang jarang terpikirkan oleh pemimpin. Poin utama yang ingin saya ambil adalah komitmennya untuk hidup sederhana.

Mungkin ini contoh radikal, tetapi pelajarannya jelas bahwa penting untuk tidak memfokuskan kepada pemilikan materi. Tujuan hidup harus jelas bukan kepada materi atau kebendaan. Fokus adalah kepada kebahagiaan diri, keluarga dan sesama. Itu tercapai bila kita mau memiliki falsafah hidup serdehana. Kehidupan yang ditunjukkan dengan berbagi dan memperhatikan si miskin, bergaul dengan orang yang menderita dan termajinalisasi. Di sini kita akan menghargai hidup dan kita akan bahagia dengan hidup apa adanya.

Tuesday, January 12, 2010

Kekuatan Sebuah Visi: Masih Ingat Visi SBY?

Oleh Daniel Ronda

“When people buy into your vision, they buy into your dream.” (Ketika orang membeli visi Anda, mereka akan membeli mimpi Anda)--Elmer Towns

Numpang tanya, masih ingatkah kita visi presiden SBY? Adalah presiden SBY yang punya visi dan misinya pada waktu kampanye beserta strategi dan program aksinya. Dan ini banyak muncul di media pada waktu beliau kampanye. Namun apakah rakyat menyimpannya atau mengingatnya? Atau mungkin lebih etis dan tepat, apakah SBY masih punya “passion” untuk mewujudkannya? Atau itu hanya konsumsi kampanye?

Bila lupa, saya ingatkan bahwa visi SBY adalah terwujudnya Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur (berdasarkan rencana pembangunan jangka panjang yang disusun 2005-2025). Misinya adalah mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, aman dan damai dan meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang lebih adil dan demokratis.

Pertanyaannya adalah sudahkah ini menjadi visi bersama bangsa setelah SBY menang? Prinsip kerja visi jelas, bahwa awal mulanya itu adalah visi pemimpin, namun kemudian setelah di-sharing-kan maka harus menjadi visi bangsa. Sudahkah ada upaya menyosialisasikannya? Atau kita sudah lupa? Jangan-jangan visi SBY adalah visinya tim kampanye dan stafnya saja?

Cerita tentang visi, saya punya pengalaman unik. Saya ditugaskan sekolah saya untuk mengikuti pelatihan akreditasi dari lembaga akreditasi tahun 1999-an. Tiba di pembahasan visi dan kemudian disuruh praktek membuat visi, dan saya waktu itu masih polos tanya, “Pak gimana buat visi yang baik?” Jawabnya dengan ringan, “Supaya gampang lihat saja visi sekolah lain, lalu sesuaikan saja kalimatnya sesuai dengan situasi kita.” Wah, sesimpel itukah?

Ketika saya mengenang peristiwa 11 tahun yang lalu itu, saya tertawa dan kemudian tak heran mengapa banyak elemen di bangsa ini ini tidak pernah maju, karena visi tidak jelas. Visi yang saya sederhanakan dengan mimpi hanya ditulis dengan istilah keren, namun miskin isi dan tidak ada penghayatan. Tidak heran kemudian program jalan yang tidak sesuai dengan visi.

Bill Hybels menyebut kekuatan sebuah visi sebagai inti (core) kepemimpinan. Baginya, visi adalah suatu senjata penting dalam tangan pemimpin (Bill Hybels, Axiom: Powerful Leadership Proverb, h. 30). Hanya dengan kekuatan visi orang akan mengikuti program seorang pemimpin. Sangat disayangkan bila visi hanya slogan dan tidak dijadikan senjata utama dalam membuat semua elemen bangsa bergerak.

Begitu banyak definisi visi yang dibuat, namun saya senang dengan definisi visi yang dibuat Bill Hybels. Ia mengatakan visi, “picture of the future that produces passion in people” atau gambar masa depan yang menghasilkan kegairahan pada orang-orang (h. 30).

Visi bukan meniru kata-kata dari visi orang lain atau negaralain. Apalagi hanya mau meniru kata-kata indah tanpa memahami artinya. Jadi visi itu harus dijiwai sendiri oleh pemimpin dan kemudian dikuasai oleh tim kepemimpinan. Bila itu presiden, maka visi-misi harus dikuasai menteri kabinet dan kemudian dibagikan ke seluruh bangsa.

Bila semua visi difahami, maka strategi adalah alat perwujudan visi-misi. Kembali kepada strategi SBY, menurutnya strategi mereka untuk Indonesia meliputi pembangunan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia, menciptakan Good Government dan Good Corporate Governance, demokratisasi Pembangunan dengan memberikan ruang yang cukup untuk partisipasi dan kreativitas segenap komponen bangsa, melanjutkan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan memberantas korupsi, pembangunan yang inklusif bagi segenap komponen bangsa (diambil dari visi dan misi SBY). Sengaja saya menyebutkan hal ini supaya bangsa ini tidak lupa apa yang menjadi visi, misi dan strategi SBY.

Prinsip pentingnya jelas, pemimpin harus punya perhatian soal ini, bahwa visi jelas sekali mempunyai kekuatan yang dahsyat. Kekuatan sebuah visi akan menyebabkan banga ini akan melakukan apa yang merupakan impian pemimpin. Ide-ide pemimpin akan dituruti dan banyak yang siap akan berkorban baik tenaga, waktu dan harta bila mereka melihat visi itu jelas dan diterima oleh bangsa. Banyak yang tidak menduga akan dampaknya. Tetapi pemimpin negara yang berkembang dengan pesat telah membuktikan kekuatan sebuah visi. Ingat kekuatan visi yang dibangun Mahatmir Mohammad yang mampu membuat Malaysia menjadi bangsa yang maju, jauh melewati Indonesia.

Dalam level perusahaan, ada contoh tentang mimpi seorang pemimpin perusahaan Coca cola. Robert Woodruff president dari Coca cola punya visi: “in my generation it’s my desire that everybody should taste Coca cola” (dalam generasiku adalah keinginanku bahwa setiap orang harus mersakan Coca cola). Ini terbukti saat ini bahwa produk minuman ini dinikmati di seluruh dunia (dari John Maxwell).

Visi juga mempunyai kekuatan yaitu memberikan memberikan fokus kepada sebuah lembaga atau organisasi. Tanpa visi itu semua orang akan bergerak menurut apa yang dipikirkannya baik. Dan itu sangat membuang banyak energi. Frustasi sekali jika melihat banyak program di suatu negara, memakai dana yang besar, namun hasilnya tidak ada. Contoh olahraga Indonesia terpuruk di Sea Games. Kita disibukkan dengan berbagai aktivitas tanpa tujuan yang jelas. Pada akhirnya sebagai bangsa pun akan frustrasi dan skeptis terhadap program pemerintah. Itu sebabnya program harus dibuat setelah semua level kepemimpinan memahami visi bangsa yang dibuat SBY.

Namun ada juga yang berkata bahwa setelah menyusun visi yang baik, mengapa organisasi atau bangsa tidak dapat bertumbuh dengan baik? Ada yang perlu juga disadari ada faktor momentum. Analogi pemain selancar air di laut melukiskan dengan tepat peran momentum, bahwa kita bisa menyiapkan papan selancar yang baik dan berbagai metode latihan, namun ombak tetap dari laut dan tidak bisa diciptakan. Begitu juga dengan visi. Kita bisa membuat visi yang baik, namun tanpa momentum yang tepat tidak bisa terwujud membuat pertumbuhan itu. Ini yang dalam kepemimpinan disebut momentum atau istilah dosen saya “Big Mo”. Momentum ini tidak dapat dibuat oleh pemimpin. Dia terjadi lewat proses yang mendukung satu dengan lainnya. Maka perlu menciptakan banyak even yang menghasilkan momentum, misalnya dengan cara kerja keras, pencitraan bangsa yang baik dan aman lewat media, aturan penegakan hukum yang semakin tegas, dan banyak lini lainnya yang harus dibuat.

Saya melihat pentingnya SBY meniru presiden Fidel Ramos sewaktu memimpin Filipina. Dia adalah presiden terbaik yang dimiliki bangsa itu. Caranya sederhana, tiap minggu dia muncul di TV pemerintah dan diliput oleh semua TV dan berdialog dengan media. Dia menjelaskan visi dan misinya dengan penuh kegairahan, lalu kemudian dia menjelaskan hal-hal yang dilakukan pemerintah mengatasi masalah yang muncul. Waktu saya studi di sana (1996-1999), saya melihat betapa Presiden Ramos berhasil membuat bangsa itu tenang dari gejolak, mulai ada pertumbuhan ekonomi dan paling aman setelah era kediktatoran Marcos berakhir. Karena setelah kediktatoran berakhir, chaos selalu berulang, apalagi pada zaman Cory Aquino. Jadi kuncinya “sharing”-kan visi kita kepada setiap lini di organisasi kita. Atau dalam konteks SBY, terus “sharing”-kan itu kepada kami, rakyat! Jangan terus jadi manajer yang kelihatan sibuk, tetapi kami pun frustasi melihat kesibukan tanpa tahu kemana bangsa ini akan dibawa. Apalagi SBY hanya muncul di TV dengan sikap reaksioner dan hanya menjawab masalah yang muncul. Saatnya, sharing-kan visi Bapak – dan kita akan membeli semua mimpi-mimpi Bapak bagi bangsa ini! Jangan remehkan kekuatan VISI!

Juga sudah diposting di www.kompasiana.com/danielronda

Sunday, January 10, 2010

Pemimpin Hebat adalah Pembicara Hebat!

by Daniel Ronda

You cannot be a poor communicator and a good leader (Henry Blackaby).

Kepemimpinan dan berkomunikasi sesuatu yang tidak terpisahkan. Dan salah satunya adalah kemampuan public speaking, seperti ceramah, pidato, presentasi, dan komunikasi massa lainnya. Tetapi, mengapa ada yang pintar sekali berbicara di depan umum, tetapi ada juga kalau sedang bicara sangat membosankan? Padahal kita tahu orang tidak akan membeli kita punya ide kalau cara komunikasi kita sangat jelek.

Pidato pemimpin negara yang paling membosankan yang saya pernah dengar adalah mantan presiden Suharto. Dia hanya membaca. Namun ajaibnya, semua diam asyik mendengar (mungkin juga tidur barangkali ya?!). Kecuali saat dia bertemu dengan petani, terlihat sekali gairahnya dan semangatnya. Anehnya, saat saya masih SMA sudah bisa menikmati acara kelompencapir di TVRI, apalagi ada dialog dengan presiden Suharto. Pemimpin yang asyik didengar bicaranya adalah Jusuf Kalla dan seringkali dia tidak mengikuti teks yang sudah disiapkan. Selalu enak didengar kalau JK bicara. Presiden SBY yang paling lancar dan teratur jika berbicara di depan umum, namun kadang berputar-putar sehingga butuh konsentrasi khusus untuk memahami maksudnya. Pemimpin yang paling belepotan bicara di depan umum adalah Taufik Kiemas (suami Megawati). Mungkin saat ini dia sedang memperbaiki diri.

Masalah yang dihadapi adalah bukan pembicaranya yang tidak baik, mengingat dia sudah terangkat menjadi pemimpin. Namun pembicaraannya sering tidak dimengerti, kepanjangan, membosankan, tidak ada daya tarik, tema yang itu-itu saja. Yang justru dianggap menarik adalah pembicara yang memiliki latar belakang entertainer, sedangkan pembicara lainnya seperti kehilangan daya tariknya. Apalagi ceramah hanya berisi presentasi dari isi dengan gaya yang tidak menarik, berputar-putar, atau bertele-tele.

Menurut hemat saya, setidaknya ada beberapa penyebab mengapa pemimpin berbicara itu tidak menarik. Pertama, isi atau berita ceramah atau presentasi yang sangat miskin dan juga tidak akurat. Ini terjadi karena pembicara tidak menggunakan sumber yang tepat untuk menggali isi dari ceramahnya dan hanya memakai cara yang dangkal dalam memahami kebenaran yang hanya lewat pengalaman semata-mata yang diceritakan. Pendengar awam katakan, lebih banyak ceritanya daripada isi. Biasanya pembicara ini suka melucu dan melenceng dari tema, yang mana sebenarnya tidak jelek. Pembicara justru perlu punya “sense of humor”. Namun semuanya harus terukur dan tepat penggunaan humor itu yang harus disesuaikan dengan isi. Saya sering temukan pembicara agama bisa membuat pendengarnya tertawa dari awal sampai akhir, namun kalau ditanya pendengar apa isinya, sudah lupa. Ini karena memang tidak ada isi dan kalaupun ada sangat dangkal. Masalahnya, Tidak punya “big ideas” atau tidak ada apa gagasan besar yang ada dalam ceramah atau presentasinya?

Kedua, kajian isinya mendalam namun miskin aplikasi dan cerita praktis. Eksposisi pembicaraan yang digali sangat tidak jelas dengan cara memuja pemakaian istilah teknis, jargon bahasa tinggi, penuh dengan kutipan-kutipan para ahli dan gambaran abstrak dengan bahasa yang eksklusif dan ilmiah. Ini yang menyebabkan ceramah menjadi sangat membosankan tidak aplikatif bagi pendengar. Pendengar hanya diajak mengikuti mendengar bahasa yang tinggi yang dalam tanpa pernah menyadari pendengar membutuhkan aplikasi dan pentignya cerita untuk menjembatani konsep dan penerapan. Di sini pembicara miskin “how’-nya.

Ketiga, adalah faktor miskin cara dalam berkomunikasi atau miskin penyajian. Cara menyampaikan ceramah atau presentasi tidak koheren atau tidak beraturan sehingga pendengar sulit mengikuti apa yang menjadi tujuan dari ceramah. Harusnya ada tatanan yang baik yaitu mulai dari penjabaran tema, poin-poin yang menuju puncak, dan konklusi serta tantangan. Bila ini tidak beraturan bahkan keluar dari topik, pendengar akan menjadi bingung apa sebenarnya tema dan tujuan ceramah. Belum lagi faktor tidak menguasai teknik presentasi, intonasi, gerak tubuh, tatapan mata, dan semua yang berhubungan dengan teknis komunikasi massa. Ini bisa kita pelajari. Presentasi yang baik harus menyentuh level kognitif (kepala) yaitu level intelektualnya, juga level emosional, dan level spirit manusia.

Faktor waktu berceramah juga menyumbang kebosanan pendengar. Ada ceramah yang kepanjangan dalam menyampaikan gagasannya, bahkan berulang-ulang ditekankan sehingga pendengar menjadi bosan sekali. Daya tahan pendengar biasanya tidak lama. Sesekali bila ada pembicara tamu yang menarik mungkin pendengar bisa bertahan, namun tidak untuk selamanya. Jangan kita terobsesi menjadi pembicara yang bicaranya berkepanjangan. Dunia telah dipengaruhi “generasi MTv”, di mana generasi yang baru tidak bisa konsentrasi untuk waktu lama dengan tampilan yang monoton.

Jadi kesimpulan mengapa presentasi tidak menari, setidaknya ada tiga prinsip: 1. Isi yang miskin; 2. Miskin dalam penerapan dan aplikasi. 3. Komunikasi atau cara presentasi yang miskin.

Memperbaikinya bukan hal yang singkat. Menurut saya semua harus lewat suatu proses kehidupan. Menjadi pembicara adalah sebuah proses dan tidak ada pil ajaib yang dapat mengubah seorang pembicara langsung jadi. Ada proses waktu yang dijalani seorang pembicara. Ia perlu banyak melatih diri dan memiliki jam terbang ceramah yang banyak. Pembicara harus juga banyak belajar dan mengembangkan kompetensi dan produktivitas. Dia harus belajar memperdalam isi dari ceramahnya seusai bidangnya. Dan kita harus belajar menjembatani antara isi dan aplikasi lewat retorika, argumen, imajinasi, ilustrasi, dan sisi emosional diangkat.

Pembicara yang baik juga melakukan pemilihan kata yang tepat. Bill Hybels mengartikulasikannya dengan tepat: “The very best leaders I know wrestle with words until they are able to communicate their big ideas in a way that captures the imagination, catalyzes action, and lifts spirits (Bill Hybels, Axiom,17). Artinya, pemimpin hebat selalu bergumul dengan kata-kata sehingga mereka dapat mengkomunikasikan gagasan besar dengan memakai imajinasi, mengajak untuk melakukan yang disertai dengan mengangkat semangat dan jiwa pendengar. Kalau kita lihat pemimpin bangsa kita, Presiden SBY dalam hal ini patut dipuji karena dalam menyusun kalimat-kalimat yang dikatakan sempurna dan dia mulai menatap pendengar waktu bicara. Hanya perlu ada pendekatan yang lebih langsung dan kata-kata yang lebih sederhana serta mengangkat semangat bangsa. Prinsipnya “language matter” - bahasa itu penting!

Keterangan: sudah diposting di www.kompasiana.com/danielronda

Saturday, January 9, 2010

Daniel Ronda di Kompasiana

Rekan-rekan Yth.,

Saya mempunyai akun di www.kompasiana.com/danielronda. Bagi yang mau lihat tulisan saya disana yang sifatnya umum, silakan baca dan kasih komen bila perlu. Mari kita membangun bangsa ini. Thanks atas perhatiannya.

Saturday, January 2, 2010

Buku George Junus Aditjondro: Antara Percaya dan Tidak

By Daniel Ronda

Judul buku George Junus Aditjondro (GJA) saja sudah bombastis “Membongkar Guritas Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century.” Apakah ini terinspirasi dari sebuah tulisan yang ada di situs sbypresidenku: “Gurita Bisnis Kalla Bersaudara”? (lihat Kompas, “Menggambar Sepertinya Gurita Cikeas”, tanggal 29/12/2009, h. 5). Saya sendiri tidak tahu! Saya sendiri sudah mencoba mendapatkan buku ini, tidak dapat. Saya hanya dapat cuplikan-cuplikan kecil dari media internet dan koran lokal. Memang susah dievaluasi buku itu secara akademis bila belum membaca secara utuh.

Namun tanpa membaca buku, banyak yang sudah berkomentar di media baik pro-kontra. Karena judulnya memang menarik perhatian. Soal kebenaran atas isi? Banyak yang percaya, tetapi banyak juga yang tidak percaya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Masalahnya adalah kepercayaan (trust). Tingkat kepercayaan terbentuk bukan hanya dari sebuah pencitraan diri pemimpin yang baik, namun berhadapan langsung dengan kenyataan di lapangan yaitu di lapisan yang paling bawah sebuah masyarakat atau organisasi. Sekalipun pemimpin dikelilingi oleh pakar segala pakar, performance yang baik, dan berbagai teknik komunikasi massa yang baik, namun bila rakyat di tataran bawah untuk masuk rumah sakit yang gratis saja sulit, proses izin IMB pakai banyak pungutan, dapatkan SIM tetap pakai calo, damai kalau ditilang... ya, tentunya logika rakyat akan memakai analogi yang sama. Kalau pemerintahan di level bawah saja sudah seperti ini, pastilah yang di atas sama. Sami mawon, kata orang Jawa. Bilamana ada yang berupaya menggiring buku ini sebagai “sampah”, bagaimana bisa orang mau digiring untuk tidak mempercayai buku MGC ini? Analogi grassroot simpel, “Kalau di level akar rumput saja sudah merajalela, maka sulit orang bisa mempercayai di atas bersih.” Walaupun saya sendiri tidak mempercayai analogi ini seratus persen karena ada unsur kesesatan logika. Namun, siapa yang bisa menghentikan pemikiran?

Bagaimana menghadapi buku model seperti ini? Memang ada rasa percaya, ada juga tidak. Percaya, karena bangunan trust pemberantasan korupsi yang dibuat SBY masih sangat lemah. Tidak percaya, karena kelewat gamblang dan memadukan sumber-sumber yang berdiri sendiri. Apakah begitu mudahnya membuka diri untuk diserang dengan memasang nama pejabat di situs kalau mereka tidak memperhitungkannya? Yang hendak dicari rupanya adalah adanya missing link dari mana SBY begitu banyak mendapat dana waktu kampanye lalu? Makanya GJA mencoba mengaitkannya dengan apa yang dilihatnya di situs, jurnal, dan sumber-sumbernya dan dibuat buku yang heboh ini. Terus terang memang masih lemah argumennya, terutama bila melihat wawancara GJA di TV. Cuma, kajian akademis penting karena buku ini telah membuat heboh perpolitikan di negeri ini.

Pada konteks kepemimpinan, seorang pemimpin yang baik harus membangun kepercayan (trust) dalam kepemimpinan, dan itu harus teimplementasi dalam sebuah sistem dan sistem hukum yang jelas. Kalau sistem bagus dan penerapan hukum sampai ke lini bawah terimplementasi baik, maka jelas gosip apapun akan terlihat murahan. Namun gosip akan menjadi opini dan akhirnya “dianggap” kebenaran kalau bangunan trust di level bawah tidak ada.

Survei kepemimpinan menunjukkan bahwa etika dan visi kepemimpinan harus berjalan bersamaan. Dia laksana sebuah koin mata uang, yang diperlukan kedua sisinya. Visi kepemimpinan SBY dalam hal ini saya akui sudah sangat bagus. Menurut saya dia presiden yang baik yang pernah kita punyai soal kemana bangsa ini akan dibawa. Namun ada sisi etika yang harus dibangun untuk membangun kepercayaan. Tanpa itu orang tidak akan “membeli” visi pemimpin. Sisi etika yang dimaksud menyangkut kejujuran dan menjunjung nilai moral tinggi yang disertai dengan ketaatan kepada hukum.

Andaikata saya diberi peluang bicara dengan Bapak SBY, maka saya mengusulkan buat program anti-korupsi harus dibuat lebih sederhana yaitu dilakukan di level kabupaten, kecamatan dan keluarahan. Misalnya harus ada pengawasan terhadap pungli secara ketat dan tindakan hukum yang maksimal. Yang ada di tingkat bawah selama ini hanya jargon. Misal, memang kalau urus SIM di kantor polisi jelas di situ banyak tertulis tidak boleh pakai calo. Namun coba diteliti dengan baik-baik, apakah benar demikian? Saya tidak komentar, tetapi melihatnya sendiri. Ini hanya satu dari begitu banyak korupsi yang tidak pernah tersentuh. Rasa keadilan sangat terinjak-injak. Perlu dibuat “KPK-KPK” kecil di kota kabupaten. Fokus harus dua, yang korupsi besar ditindaki dan korupsi kecil yang langsung kena ke masyarakat juga penting ditindaki untuk membangun kepercayaan secara besar. Akhirnya, “Waste no more time arguing what a good man should be. Be one” (Marcus Aurelius).